KABRLAH.COM. Banyak sejarah emas bercerita bahwa ulama-ulama besar di zaman dulu mengabdiakan usianya untuk menulis bahkan jika bicara logika usia yang Allah titipkan kepada mereka berbanding terbalik dengan karya yang meraka hasilkan kitab-kitab klasik uluma terdahulu menjadi bukti bahwa mereka terlahir hanya hanya untuk menulis.Ibnu Katsir (1301-1372 M) dengan karya fenomenal Tafsir Ibnu Katsir baik ringkasan maupun edisi lengkap yang setebal 10 jilid, Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi (631-676 H) terdiri dari 17 kitab, 265 bab dan 1897 hadits ,Ibnu Hadjar Al-Asqolani (773-852 H) dengan Bulughul Maraam yang memuat 1.371 buah hadis.Imam Bukhari (194-256 H) dengan Shahih Bukhari yang menghabiskan waktu 16 tahun untuk menyusun Shahih Bukhari dan menghasilkan 2.602 hadis dalam kitabnya (9.802 dengan perulangan). Shahih Muslim, Al Lu’lu wal Marjan (kumpulan hadist yang disepakati Imam Bukhari dan Imam Muslim, Imam Al-Ghazali (1058-1111 M) dengan Ihya Ulumuddin dan sebagainya. Banyak sekali jumlahnya. Imam Ath-Thabari ( 224-310 H) yang terkenal sebagai ulama yang sangat banyak menghasilkan karya. Imam Ath-Thabari, dalam sehari beliau menulis 40 lembar. Seumur hidup, beliau berhasil menulis 584.000 lembar naskah.
Karya beliau yang paling terkenal adalah Tafsir Ath-Thabari dan Tarikh Ath-Thabari (judul aslinya Tarikh ar-Rusul wal Muluk). Tarikh Ath Thabari sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan jumlah buku sebanyak 40 jilid. Ada juga Imam Jalaluddin as-Suyuthi(1445-1505 M), yang berhasil menyusun 600 karya tulis dari berbagai disiplin ilmu. Sampai-sampai beliau diberi julukan Ibnu Kutub. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain Tafsir Jalalain (ditulis bersama gurunya, Jalaluddin al-Mahalli), Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Al-Bāb an-Nuqul fi Asbāb an-Nuzul dan sebagainya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Imam Jalaluddin As-Suyuthi memiliki semacam sertifikat atau ijazah sebanyak 150 yang didapatkan dari 150 guru. Pantas kan, jika beliau sangat cerdas dan produktif dalam menulis. Tak kalah hebat adalah Ibnul Qayyim (691–751 H) yang juga super duper produktif, lebih dari 596 buku. Dalam setahun,
Ini baru sedikit dari deretan panjang para ulama dengan karya-karyanya yang sangat banyak serta kandungan luar biasa.
Jika seluruh buku yang disusun para ulama sejak berabad-abad silam diterjemahkan dan dicetak ulang, mungkin butuh perpustakaan yang ukurannya berkali-kali luas lapangan bola untuk menampungnya.
Sungguh luar biasa produktif para ulama-ulama zaman dahulu dalam melahirkan buku-buku berkualitas yang terus bermanfaat sepanjang masa yang hingga kini buku-buku mereka menjadi rujukan kita yang fenomenal.
Menulis memang tradisi para ulama, khususnya ulama-ulama terdahulu, yang buku-bukunya bisa kita baca saat ini. Di zaman sekarang ini sangat jarang kita temukan seorang yang mengabdikan ilmunya untuk menulis dikarenakan sumber referensi yang terbatas dan bahkan sudah banyak terkontaminasi dengan tulisan-tulisan liberal yang justeru semakin mempersulit keadaan saat ini.
Jika diperhatikan lebih jauh alasan ulama-ulama terdahulu untuk tetap produktif menulis adalah karena keikhlasan di dalam hati mereka untuk menyampaikan ilmu yang mereka miliki kedalam sebuah tulisan karena pengetahuan dan ilmu mereka yang sangat tinggi. Para ulama memiliki semangat belajar luar biasa. Mereka terbiasa merantau hingga jarak ratusan bahkan ribuan kilometer untuk bertemu para guru dan belajar langsung dari mereka. Imam Syafi’i (150 H-204 H).
Dalam usia 13 tahun, beliau pergi ke Madinah untuk berguru dengan Imam Malik (93–179 H). Setelah itu, sekitar 2 tahun kemudian, beliau pergi ke Irak untuk berguru pada Imam Hanafi (80 -148 H) . Jarak Gaza ke Madinah adalah sekitar 923 KM, sedangkan jarak Madinah ke Irak sekitar 1500 km. Padahal, zaman itu belum ada kendaraan modern.
Transportasi paling hanya unta, kuda, atau malah berjalan kaki. Semangat luar biasa untuk menuntut ilmu membuat mereka berani menyingkirkan segala rintangan. Padahal, saat itu usia Imam Syafi’i masih sangat muda. Imam Syafi’i tidak menyingkirkan dunia remaja dan cinta hanya untuk sibuk menuntut ilmu tak lain dan tak bukan hanyalah untuk mencari ridho Allah SWT, bandingkan dengan remaja saat ini yang sangat sedikit fokus untuk menuntut ilmu dan lebih memilih menghabiskan masa muda dengan hura-hura dan percintaan untuk menghabiskan masa muda mereka.
Imam Syafi’i pernah berkata : “Ilmu ibarat hewan buruan,dan tulisan ibarat tali pengikatnya.Oleh karena itu ikatlah hewan buruanmu dengan tali yg kuat.Sungguh tolol jika kau berburu kijang,setelah berhasil kau tangkap kau biarkan saja dia tanpa di ikat.”Begitu jg dgn orang yg kluar dari rumahnya untuk mencari ilmu tapi dia tidak mencatat ilmu yg dia dengar. Maka sungguh bodoh dan merugi.
Jika kalian ingin mendapatkan ilmu maka hafalkanlah ilmu itu dan ikatlah, jika saat itu tidak ada padamu buku/pena, maka tulislah ilmu itu dgn jarimu di telapak tanganmu. Agar ilmu tidak bertebaran ke sana kemari, para ulama itu merangkainya dalam buku-buku yang akhirnya menjadi karya legendaris itu. Betapa banyak intelektual kita bergelar profesor atau doktor, tapi sangat minim dalam karya.
Ar Risalah dan Al Umm, ditulis oleh Imam Syafii pada abad ke-8, dan hingga sekarang, mazhab Syafii dianut oleh ratusan juta bahkan milyaran umat Islam di dunia, termasuk Indonesia.
Jangan kira orang-orang shalih masa lalu itu tak bekerja untuk berpenghasilan.
Para Nabi, selain berdakwah, mereka juga bekerja. Nabi Zakariya adalah seorang tukang kayu. Nabi Idris seorang penjahit, dan Nabi Muhammad serta sebagian besar sahabat berprofesi sebagai pedagang. Para ulama, seperti Imam Abu Hanifah juga seorang pedagang, sebelum akhirnya memutuskan fokus menekuni ilmu agama dan menyerahkan dagangannya untuk diurus orang lain, tentu dengan sistem bagi hasil.Imam Ahmad bin Hanbal, di sela-sela aktivitas keilmuannya yang padat, beliau tidak segan menekuni pekerjaan apapun yang penting baik dan halal. Beliau pernah berdagang pakaian, mengangkut barang, bahkan memungut gandum sisa panen.
Sekarang waktunya menulis usiamu di tinta keabadian, menulis mengikat makna agar lebih dipahami, kita bicara tulisan yang mengandung pesan yang dalam untuk pembaca agar karya kita tidak menjadi sampah dalam tumpukan zaman, setidaknya ada warisan yang akan kita tinggalkan untuk keluarga kelak dan setiap tulisan yang memberi manfaat pasti akan bernilai pahala disisi Allah, niatkan ikhlas dengan menharap ridho Allah SWT dan kesampingkan keuntungan dunia yang didapat dari tulisan kita, tak ada yang lebih indah daripada keberkahan dari setiap apa yang kita tulis karena sesungguhnya semua usaha yang mengharap ridho Allah SWT Insya Allah akan memudahkan kita mendapatkan keberkahan di dunia tentunya, kita belajar dari Imam Syafi’i tentang kegigihannya mencari Ilmu, kita belajar dari Imam Bukhari yang berjalan ribuan kilo meter hanya untuk sebuah hadits, kita belajar dari Imam At-Thabaari yang menginfakkan usianya untuk menulis, maka jika mereka yang kita jadikan patokan dan tolak ukur sebuah kesuksesan karya, maka Allah akan mudahkan akal pikiran kita dalam berkarya..amin
Allahu Musta’an
Discussion about this post