KABARLAH.COM – Idul Fitri datang setelah seorang muslim menyempurnakan puasa selama Ramadhan sebagai bentuk tunduk patuh pada Allah. Berkumpul pada hari itu dengan penuh rasa syukur, bertasbih, takbir, tahmid. Itulah Idul Fitri.
Maka Ruh pertama Idul Fitri adalah bahwa hidup seorang mukmin dilandasi dengan mengagungkan, mentauhidkan, membesarkan Allah. Melandasi cara berpikir hingga akhlaqnya. Maka tak patut mengagungkan selainNya, berlebihan memandang harta, jabatan dan kekuasaan. Tak ada sombong. Berjalan di muka bumi dengan keselamatan bagi saudaranya, dan bagi alam semesta. Jiwa pengagungannya selaras dan harmoni dengan takbir alam semesta raya.
“Tidakkah kau lihat, semua yang ada di langit dan di bumi bersujud kepada Allah, juga matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, hewan-hewan melata dan kebanyakan manusia” (Al-Hajj :18)
Membesarkan dan mengagungkanNya sekaligus menyadari betapa kecil dan faqirnya diri. Itulah diantara tujuan i’tikaf. Sekaligus mengatakan pada dunia, wahai dunia, engkau pun kecil. Aku siap putus dengan mu. Aku siap meninggalkanmu. Itulah i’tikaf. Mengokohkan ikatan hanya untuk Allah Ta’ala. Maka bersimpuhlah wahai manusia, wahai penguasa, wahai raja, sujudlah, dan tunduklah pada hukum-hukum Allah. Tak kah kalian mengambil pelajaran?
Ruh kedua adalah bahwa kegembiraan idul fitri didasari rasa syukur. Bergembira karena Allah menjadikan kita mampu menggunakan setiap karunia-Nya dalam ketaatan dan amal-amal ibadah.
Allah telah memilih, memberi keutamaan, fadhilah dan kasih sayang pada kita. Apalah kita. Kemampuan puasa sebulan penuh, sholat, i’tikaf, semata karena Allah yang menggerakkan. Bisa baca lembaran Al-Qur’an juga karenaNya. Tanpa hidayah-Nya, entah jadi makhluk apa kita ini. Bahkan infaq zakat bukankah karena Allah yang memberikannya pada kita. Termasuk diberikannya kita suami, isteri, anak-anak, dan keluarga. Maka hidupkan suasana syukur saat idul fitri.
“Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58)
Ketahuilah, orang yang berbahagia itu bukanlah orang yang bisa berjumpa hari raya, memperindah lahiriyahnya dengan pakaian baru, memenuhi isi perut dengan berbagai macam makanan dan mengumbar lisannya dengan bersenda-gurau. Akan tetapi, orang itu dikatakan bahagia bila Allah menerima puasa, shalatnya dan menghapus semua dosanya.
Ruh ketiga adalah jiwa pemberi. Tak ada muslim yang berani meninggalkan zakat fithrah, agar semua bergembira, tak ada yang kelaparan. Setelah jiwa pemurah tumbuh berkembang di Ramadhan. Pasca ramadhan, setiap muslim sadar bahwa ia hidup karena pemberian Allah. Memberi adalah hakikat hidup. Tak memberi berarti mati, binasa. Satu sama lain bagai satu tubuh, sakit satu, yang lain merasakan sakit. Ini ciri masyarakat muslim yg kompak dan solid.
Ruh keempat adalah komitmen mendukung perjuangan Islam, penerus risalah dakwah Rasulullah. Kenanglah sejarah pertama kali idul fitri. Mereka masih terluka berdarah sepulang dari Perang Badar. Bahkan Rasulullah bersandar pada tubuh Bilal saat menyampaikan khutbah id.
Maka pasca Id, tak boleh lagi ada muslim yang lebih membela tokoh ataupun kelompok yang berideologi selain Islam, agar kita tak mengkhianati perjuangan dakwah Rasulullah.
Oleh Ustadz Zulkarnain Umar
Discussion about this post