KABARLAH.COM, Pekanbaru – Daya daya tampung SMA/SMK negeri di Provinsi Riau untuk tahun ajaran 2024-2025 dipastikan tidak sanggup menampung seluruh tamatan SMP sederajat. Secara persentase, daya tampung SMA/SMK negeri berkisar 76,53 persen atau sebanyak 92.965 siswa. Rinciannya, SMA sebanyak 60.515 siswa dengan 1.681 ruang kelas dan SMK sebanyak 32.450 siswa dengan 901 ruang kelas. Adapun kemampuan Rombongan Belajar (Rombel) 2.582 kelas. Mengutip wawancara sejumlah media Riau dengan Plt Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau Roni Rakhmat (10/6), diperkirakan tamatan SMP sederajat mencapai 121.475 siswa. Guna menyiasati kekurangan daya tampung, Disdik kembali menyiapkan dana Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA) Afirmasi. Anggarannya mencapai Rp3,9 miliar. Dana ditujukan kepada 2.500 calon siswa tidak mampu tetap bersekolah meski tidak di sekolah negeri. ‘’Jadi yang tidak tertampung di sekolah negeri, tetap bisa sekolah di swasta. Karena sekolah swasta juga dapat bantuan dana BOSDA dari Pemprov Riau,’’ Cakapnya. Sebagaimana diketahui Disdik sudah jalin kerjasama ke beberapa sekolah swasta di Riau.
Sekedar informasi, jalur Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini tak akan jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Regulasi tetap mengacu ke Permendikbud No 1 Tahun 2021. Hanya saja dilakukan penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi kekinian. Antara lain seperti jalur zonasi atau jarak dari sekolah ke rumah, jalur afirmasi atau siswa miskin jalur perpindahan orang tua dan jalur prestasi. Mengenai tahapan, PPDB tingkat SMA/SMK di Riau berlangsung 21 Juni mendatang. Diawali tahapan pra pendaftaran dimana peserta didik mengirim dokumen-dokumen persyaratan PPDB secara daring/online. Kemudian 24-29 Juni, peserta didik yang sudah mendaftar bisa memilih sekolah diinginkan. Khusus peserta didik yang mendaftar di SMK, selain memilih sekolah peserta didik juga memilih jurusan yang diinginkan. Setelah memilih sekolah, tahapan berlanjut tanggal 30 Juni yakni proses rekonsiliasi data lalu terakhir 1 Juli pengumuman penetapan hasil seleksi PPDB Riau tahun 2024 untuk tingkat SMA dan SMK negeri di Provinsi Riau.
Kendati Pemprov sudah menyiapkan langkah-langkah responsif, namun seumpama pemadam kebakaran, sifatnya hanya sesaat. Terlebih bicara BOSDA Afirmasi, supaya siswa bersekolah di SMA/SMK swasta memperoleh bantuan dari Negara tak sedikit persyaratan harus dipenuhi. Paling utama terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) atau Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) dan mengantongi SKTM. Artinya siswa mesti masuk kategori “tidak mampu”. Makin menguatkan prasangka di tengah publik seolah penerimaan di sekolah negeri sekarang lebih mengutamakan calon siswa dari kalangan keluarga ekonomi lebih berada. Padahal konstitusi Negara sudah menggariskan bahwa pendidikan kewajiban Negara, bukan swasta. Menyinggung kriteria tidak mampu, keadaan bisa memburuk melihat kondisi perekonomian. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap bahwa biaya pendidikan selalu mengalami kenaikan 10 persen hingga 15 persen setiap tahunnya. Sementara kenaikan pendapatan rata-rata orangtua dalam satu tahun belum tentu dapat mengejar tingginya peningkatan biaya pendidikan. Berkaca pada keadaan, maka siswa dari keluarga tidak mampu bakal bertambah.
Penguatan
Sudah bukan rahasia umum lagi sejak diterapkan di tahun 2017, pelaksanaan PPDB terutama sistem zonasi terus menuai masalah. Masa-masa PPDB bak horor yang rutin hadir saban tahun. Dihantui jual beli kursi. Saking sarat masalah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai memasukan agenda PPDB dalam daftar atensi. Praktik pun melibatkan banyak aktor. Mulai oknum orangtua siswa yang memaksakan keinginan agar anaknya diterima di sekolah unggul, dimanfaatkan oleh pihak sekolah hingga level di atasnya untuk cari cuan. Sebenarnya sistem zonasi bagus, jika diterapkan secara baik dan benar. Problem muncul manakala diganggu penyimpangan dan praktik yang merugikan. Jual beli bangku, merekayasa sertifikat prestasi hingga intervensi melibatkan pejabat. Tindakan negatif pada dasarnya hal lazim. Toh dunia ada sisi baik dan buruk. Di sinilah perlunya penguatan sistem. Tidak sedikit warga dirugikan akibat PPDB yang bermasalah. Banyak siswa yang rumahnya dekat ke satu sekolah tapi tidak diterima. Alasannya kuota sudah penuh. Akhirnya dapat sekolah lebih jauh. Padahal kalau diselidiki, kecil kemungkinan satu RW/kelurahan banyak anak yang tingkat pendidikannya sama. Di sini berbagai modus terkuak, semisal titip-menitip nama anak di Kartu Keluarga yang dekat ke sekolah favorit dan lain-lain.
Lantas bagaimana mengakhiri ini? Cara sederhana jelas penguatan sistem. Menyasar aspek teknis, seperti menyediakan aplikasi dan layanan penginputan data ramah pengguna, jaringan internet yang stabil dan antisipasi potensi kecurangan PPDB zonasi lainnya. Terakhir namun paling penting yaitu pemerataan sekolah dan kualitas sekolah. Pemerataan mutu pendidikan diyakini efektif mencegah dan meminimalisir kecurangan PPDB zonasi. Bukan saja menghemat energi bangsa yang terkuras rutinitas tahunan PPBD yang kerap bikin heboh, tetapi juga menyelamatkan agenda Indonesia Emas 2045. Pemerintah Daerah khususnya Pemprov Riau harus punya peta jalan pemerataan mutu pendidikan dimaksud. Sehingga terarah pembenahan, target pembangunan fasilitas dan penambahan jumlah sekolah unggul serta peningkatan kompetensi guru setiap tahunnya. Kami selaku pihak legislatif menyayangkan progres penambahan Ruang Kelas Baru (RKB) dan bangunan sekolah SMA/SMK masih belum optimal. Apalagi selama masa pandemi, alokasi dan pembangunan fasilitas sekolah terkena rasionalisasi. Semestinya ketertinggalan dapat dikompensasi lewat pengalokasian anggaran lebih besar. Kesampingkan dulu proyek-proyek mercusuar atau ekstrinsik yang dirasa tidak urgen. Selagi tanpa perubahan pendekatan dan prioritas kebijakan penganggaran, yakinlah kecurangan terus terjadi. Sistem PPDB sekarang kompetisi memperebutkan kursi di sekolah. Mengutak-atik jalur-jalur (PPDB) zonasi, prestasi, afirmasi dan mutasi tanpa solusi mengatasi bangku (daya tampung) yang kurang, ujungnya ibarat labirin yang bisa menjebak dalam kebingungan.
Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU