PEKANBARU – Pengamat politik dari Universitas Riau, Dr. Tito Handoko, S.IP., M.Si menganalisa terkait korupsi politik yang sudah terjadi beberapa kali di Provinsi Riau.
Korupsi politik, kata Tito, tidak berbeda dengan korupsi biasa yang sama-sama dilakukan oleh individu maupun kelompok yang memiliki peluang dari jabatannya untuk mengambil ataupun menerima uang yang bukan haknya. Namun, korupsi politik memiliki perbedaan dengan korupsi lainnya dari aspek pelaku.
Dimana, korupsi politik dilakukan oleh elit-elit partai politik yang memiliki kekuasaan dalam pemerintahan maupun lembaga negara dan pengertian korupsi politik ditekankan secara subversif dari kepentingan umum dengan kepentingan pribadi.
Kasus korupsi yang melibatkan para pejabat publik yang berasal dari partai politik seolah menegaskan bahwa partai politik menjadi sumber “korupsi”.
Bentuk-bentuk korupsi yang dilakukan oleh perwakilan partai politik sangat beragam, mulai dengan modus penyuapan, pemerasan terhadap sektor-sektor strategis, merugikan keuangan negara, memperdagangkan pengaruh, serta penyalahgunaan wewenang dan menyalahgunakan atau memainkan anggaran setiap program-program pembangunan.
“Seperti Kasus korupsi yang menjerat 3 orang Gubernur Riau pada masa lalu juga hampir sama dengan modus perilaku korupsi pada umumnya di Indonesia. Arus informasi anggaran yang terpusat di lingkaran eksekutif (Gubernur) menjadi celah untuk mengatur dan mendistribusikan berbagai program dan kegiatan kepada para kroni/koleganya termasuk memastikan program/kegiatan yang diusulkan oleh para kroni/kolega masuk menjadi anggaran prioritas dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),” papar Tito.
Secara spesifik, sambung Tito, usulan itu akan dikawal dan memastikan para kroni/kolega itu akan mendapatkan kegiatan sebagaimana dimaksud.
Tersangkutnya para Gubernur Riau dalam pusaran korupsi menyebabkan Riau masuk sebagai daerah rawan korupsi dan dinyatakan sebagai salah satu daerah binaan Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2016, bersama lima provinsi lainnya.
Ini membuktikan rendahnya komitmen daerah dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi.
Tito menjelaskan, seperti kasus Annas Maamun. Dimana Annas Maamun mengawali karir politiknya sebagai Anggota DPRD Kabupaten Bengkalis sejak pemilu 1997. Pada pemilu 1999, Annas Maamun kembali terpilih dan berhasil meraih jabatan Ketua DPRD Kabupaten Bengkalis.
Ketika Kabupaten Bengkalis mengalami pemekaran wilayah dan Rokan Hilir menjadi kabupaten sendiri, terlepas dari Kabupaten Bengkalis, Annas Maamun berhasil mengekalkan kedudukannya, meraih posisi Ketua DPRD Rokan Hilir tahun 2000 sampai 2006.
Pada pemilihan kepala daerah Rokan Hilir tahun 2006, Annas Maamun ikut dan berhasil menjadi Bupati Rokan Hilir tahun 2006-2011. Tahun 2011 dia kembali memenangkan pemilihan Bupati Rokan Hilir untuk masa jabatan kedua, tahun 2011 sampai 2016.
Tidak sampai berakhir masa jabatan periode kedua sebagai Bupati Rokan Hilir, Annas Maamun bertarung pada pemilihan Gubernur Riau tahun 2013 dan berhasil memenangkannya. Maka sejak 19 Februari 2014, Annas Maamun adalah Gubernur Riau untuk masa jabatan tahun 2014-2019.
Namun tragisnya pada 25 September 2014 atau baru menjabat 7 bulan 6 hari sebagai Gubernur Riau ke-12, Annas Maamun ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tuduhan menerima suap atau gratifikasi dan ditahan untuk menjalani proses hukum.
“Sejak menjabat sebagai Bupati Rohil hingga terpilih sebagai Gubernur Riau, Annas Maamun dikenal sebagai pemimpin yang eksentrik dengan gaya bahasa yang ringan “ala uyang rokan” namun tegas dari gaya kepemimpinan. Annas Maamun juga dikenal sebagai pemimpin yang royal, dalam aktifitas kampanye ia tak segan-segan menggelontorkan uang untuk mendapatkan dukungan publik,” kata Tito.
Konsekuensi royalitas itu tentu pada upaya untuk mengembalikan modal kampanye yang telah dikeluarkan. Sehingga kebijakan-kebijakan Annas Maamun ketika menjadi Bupati maupun Gubernur sering kontroversial, misalnya soal pengangkatan anak dan menantu menjadi pejabat eselon di Pemprov Riau, maupun soal kebijakan anggaran.
Selanjutnya, kebijakan transaksional yang merupakan kebijakan yang ditempuh oleh pejabat birokrasi dengan menukarkan keputusan birokrasi yang menjadi kewenangannya dengan kepentingan, baik pribadi maupun kelompok atau golongan, baik materi maupun non-materi pun dilakukan Anas Maamun.
Manfaat dari kebijakan transaksional tersebut digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kepentingan diri sendiri maupun digunakan untuk kepentingan kelompok atau golongan. Kondisi demikian ditengarai sebagai dampak dari pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah. Perubahan pola pemerintahan yang tersentralisasi menjadi terdesentralisasi dengan adanya otonomi daerah telah menggeser praktik korupsi yang dahulu hanya didominasi oleh pemerintah pusat kini menjadi marak terjadi di daerah.
“Jika merujuk pada teori korupsi yang dikemukakan Klitgaard, maka sejak otonomi daerah dilaksanakan di Indonesia, posisi seorang gubernur – apalagi di daerah yang baru mengalami perkembangan, seperti Provinsi Riau, merupakan figur pemimpin yang memonopoli semua kekuatan, baik politik maupun ekonomi. Di tangan gubernur, seluruh proyek-proyek di pemerintahan yang dilelang, ditentukan pemenangnya. Posisi seorang gubernur yang secara politik memang merupakan posisi tertinggi di pemerintahan sebuah provinsi adalah posisi dengan pengawasan yang sangat minim oleh aparat pengawasan. Hal ini disebabkan karena bidang-bidang pemerintahan yang bertugas dalam pengawasan, seperti inspektorat, secara struktural berada di bawah Kepala Daerah. Berkaitan dengan itu, tidak heran jika kebijakan-kebijakan yang diterbitkan oleh Gubernur sebagai pemegang otoritas tertinggi di daerah diwarnai kebijakan transaksional antara Gubernur dan para koleganya,” cakap Tito lagi.
Lebih jauh, Tito mengatakan, Korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara pada level pusat maupun daerah mencerminkan bahwa proses politik yang ada baik pada rekrutmen maupun promosi belum mengarah pada substansi etik dan norma serta miskin integritas.
Para pejabat publik yang terlibat kasus korupsi sulit melepaskan diri dari tekanan kepentingan ekonomi yang datang dari kelompok pendukung sehingga politik balas budi menjadi tidak terelakkan.
“Pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah pasca Orde Baru nyatanya turut menggeser perilaku korupsi dari pusat ke daerah, kondisi ini semakin menegaskan bahwa monopolistic kewenangan pada satu orang memperbesar peluang terjadinya korupsi,” cakapnya lagi.
“Korupsi politik akan terus mewarai roda pemerintahan di Indonesia umumnya dan Riau khususnya sebagai akibat mahalnya biaya politik dan sulitnya seorang pejabat publik melepaskan diri dari kontrol partai dan tekanan kelompok kepentingan orang-orang di sekelilingnya. Monopolistic kekuasaan di tangan Gubernur/Kepala Daerah juga akan berdampak pada lemahnya pertanggungjawaban (akuntabilitas) publik sehingga potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme akan semakin mengemuka,” tukasnya.
Discussion about this post