KABARLAH.COM – Baru-baru ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly menobatkan seorang penyanyi cilik bernama Farel Prayoga sebagai Duta Kekayaan Intelektual Pelajar Bidang Seni dan Budaya tahun 2022.
Penghargaan diberikan dalam rangkaian kegiatan malam syukuran peringatan HUT Kemerdekaan RI Ke-77 Kemenkumham (18/8/2022). Sepintas acara dimaksud tampak lumrah. Namun kemudian menuai silang pendapat di tengah masyarakat. Perkaranya ada yang dinilai kurang tepat.
Kami dalam kesempatan ini bukan dalam posisi mempermasalahkan sang anak. Sebagai informasi, Farel berasal dari sebuah desa di Jawa Timur, viral di media sosial setelah menyanyikan lagu “Ojo Dibandingke”. Bocah yang duduk di kelas 6 SD tersebut sukses mencuri perhatian publik saat diundang untuk tampil mendendangkan lagu pemungkasnya di Istana Negara (17/8/2022).
Saat penampilan, para undangan termasuk menteri ikut bergoyang mendengar nyanyian Farel. Termasuk ibu negara pun turut berdiri dan berjoget kecil di samping Presiden.
Patut diakui dari segi suara sang bocah termasuk bagus dan merdu. Namun dipermasalahkan adalah betapa gegabah dan blunder-nya langkah negara (baca: Pemerintah).
Tak sedikit kalangan menyayangkan penghargaan di atas. Sekali lagi, atensi bukan kepada sang penyanyi cilik.
Bagaimanapun anak bangsa bebas mengekspresikan diri dan bakat dimiliki, selagi dalam koridor positif. Akan tetapi cara pemerintah dirasa sangat berlebihan. Atau kata orang sekarang, lebay. Di media sosial riuh suara netizen mengomentari sikap pemerintah yang sering ikut arus massa. Bukannya sejalan, malah ujungnya kontraproduktif dengan kepentingan bangsa.
Mungkin masih ingat tahun 2017 pernah viral anak perempuan bernama Afi Nihaya karena tulisannya begitu memukau. Sampai diundang khusus ke Istana Negara bahkan berpidato di hadapan Presiden Jokowi soal toleransi.
Namun terungkap hasil karyanya plagiat. Sempat membela diri, akhirnya si anak mengakui kesalahan setelah di-bully di Sosmed. Sekarang pola serupa berulang: gemar mempolitisasi sesuatu yang viral di tengah masyarakat tanpa mengkaji akibatnya. Sementara konsekuensinya tak bisa dianggap enteng.
Diawali mempertanyakan kepantasan. Masing-masing ada saat dan tempat yang tepat. Lantas apakah pantas peringatan HUT Kemerdekaan RI di Istana Negara diisi nyanyian yang sama sekali tak bernuansa kebangsaan? Bukankah semestinya momen sakral diisi kontemplasi dan refleksi, dengan begitu menjadi sarana pembelajaran sejarah bangsa bagi generasi.
Kemerdekaan diperoleh bangsa ini juga bukan atas suka cita tapi duka cita. Para pejuang gugur bersimbah darah dan berkorban harta, jiwa dan raga. Sementara pemimpin dan pejabat kini malah joget diiringi musik koplo. Semakin kabur cita-cita kemerdekaan yakni pembangunan karakter manusia bangsa.
Blunder?
Selanjutnya mempertanyakan dalih Menkumham memberi penghargaan, bahwa sang bocah di usia 12 tahun mempopulerkan lagu-lagu campur sari berlirik bahasa Jawa dan sosok yang menginspirasi pelajar untuk menghormati, menghargai budaya tradisional dengan mengenalkan bahasa jawa melalui lagu dan seni, juga dianggap terlalu memaksa.
Bagaimana mungkin anak kecil menyanyikan lagu yang dari segi lirik bukan untuk usia anak-anak malah disanjung setinggi-tingginya? Kami yakin dalam konteks pelestarian budaya, ada pelajar melakukan langkah lebih progresif mempopulerkan kesenian daerah.
Secara umum langkah pemerintah juga dinilai kurang baik bagi dunia pendidikan. Terlebih di luar sana banyak para pelajar berprestasi tapi minim perhatian. Contoh kayak Salsabilla Putri Reivalita seorang siswi yang 2 kali meraih juara Kompetisi Matematika tingkat internasional.
Ironisnya saat perlombaan harus mengeluarkan dana sendiri. Bahkan kembali ke tanah air tanpa ucapan apapun dari pemerintah. Begitujuga seorang siswi SDN bernama Najwa Ameera Kurniawan peraih medali emas di ajang Topaz Olimpiade Nasional tahun 2019 dan terakhir medali perak pada kompetisi Thailand International Mathematical Olympiad (TIMO).
Sama kasus, sang siswi dan keluarga juga pakai biaya pribadi. Mirisnya alasan kenapa tak di-support pemerintah baik itu pusat hingga daerah terkendala birokrasi. Karena teknis aturan di pemerintahan begitu kaku dan terkesan jadul memandang kompetisi pelajar.
Misal dalam banyak kasus, kalau penyelenggara olimpiade atau kompetisi oleh pihak ketiga (swasta) atau bukan Olimpiade Sains Nasional (OSN) atau kegiatan tidak berkoordinasi dengan Kemendikbud, maka jangan harap dibiayai negara. Bagi kami Komisi 5 DPRD Riau kendala tadi menjadi catatan. Selain kompetisi bidang pelajaran umum, juga cukup banyak pelajar dan santri Indonesia torehkan prestasi di bidang lain, seperti menjuarai perlombaan hafidz dan MTQ tingkat dunia.
Riau juga tak sepi kisah pelajar berprestasi. Sebut diantaranya siswa asal Pekanbaru meraih medali emas di ajang International Conference of Young Scientists (ICYS) di Rumania pada tahun 2016, medali perak dalam kategori Physics di Ajang Asia Pacific Conference of Young Scientists (APCYS) 2016 India, sembilan siswa Pekanbaru meraih medali emas, perak dan perunggu dalam International Teenagers Mathematics Olympiad (ITMO) 2019 di India, siswa MAN 2 Pekanbaru meraih medali emas dan perak dalam World Innovation Competition and Exhibition di Putra Jaya di Malaysia hingga diganjar penghargaan oleh Association Of Biritish Inventors & Innovator, siswa menyabet medali perak di ajang The International Mathematics and Science Olympiad (IMSO) dan medali emas The International Junior Math Olympiad (IMJO) di Dubai Desember 2021, serta teranyar siswi MTsN Pekanbaru juara satu MTQ Internasional Tijan Annur Qatar 2022.
Sebenarnya pelajar Riau berprestasi di level internasional terbilang banyak. Tapi pemerintah cenderung tunggu bola.
Kalau sekolah tak melapor maka tak terdata. Kisah mereka sebuah ironi. Sudahlah ada yang tak dapat pembiayaan, minim apresiasi pula. Kalau seorang penyanyi cilik diundang ke Istana dan dapat penghargaan istimewa, maka pelajar berprestasi sangat pantas dapat perlakuan serupa.
Kalau tunggu viral baru diundang tentu sesat jalan berpikirnya. Mustahil juga kayaknya prestasi disebut di atas bisa populer di dunia maya, yang lebih didominasi konten jago nyanyi dan joget. Padahal status juara kompetisi internasional mewakili negara dan mengharumkan nama bangsa.
Berangkat dari pemaparan dapat disimpulkan bahwa sikap dan langkah Pemerintah sangat menentukan. Jangan sampai perlakuan tak adil memicu kecemburuan. Ujungnya akan mendegradasi bangsa. Apalagi menyinggung pendidikan sebagai kunci keberlanjutan peradaban. Kembali ke kasus disinggung di atas, sudah sepantasnya tolak ukur siswa mengacu kepada dedikasi terhadap dunia pendidikan. Adapun bakat dan seni boleh dikembangkan, namun bukan berarti mengenyampingkan peran utamanya sebagai pelajar.
Langkah Pemerintah sampai melabeli Duta Kekayaan Intelektual Pelajar Bidang Seni dan Budaya kepada seorang anak usia sekolah dikhawatirkan bisa berdampak negatif. Baik itu bagi mental siswa bersangkutan dan pelajar lain. Disamping membuat para pelajar hilang orientasi akan kewajiban, juga bakal tertanam pola pikir menilai sesuatu serba instan. Gak viral gak akan terkenal.
Sementara para pelajar yang meraih prestasi dan penghargaan menjalani semua tahapan melalui proses, sabar dan tekun serta memakan waktu tak sebentar. Apabila yang dilestarikan pemahaman salah, bisa-bisa bangsa kehilangan arah.
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI 5 DPRD PROVINSI RIAU
Discussion about this post