KABARLAH.COM, Jakarta– Astronom melihat adanya potensi perbedaan awal Ramadan tahun ini. Perbedaan kriteria yang digunakan untuk penentuan menjadi penyebabnya.Begini penjelasannya.
Prof Dr Thomas Djamaluddin, MSc, ahli astronomi dan astrofisika dari Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, tahun ini adalah pertama kalinya setelah enam tahun tidak ada perbedaan untuk menentukan awal puasa.
“Potensi perbedaan itu hanya terjadi apabila posisi Bulan berada di bawah atau di antara kriteria-kriteria yang digunakan di Indonesia dalam penentuan hilal,” kata Prof Djamal saat live Instagram ‘Penentuan Ramadan dan Hari Raya Menurut Astronomi’ di akun Instagram @pussainsa_lapan, Rabu (23/3/2022) sore.
Adapun kriteria umum yang digunakan di Indonesia dalam penentuan awal Ramadan dan Syawal adalah:
Kriteria Wujudul Hilal (Bulan terbenam sesudah Matahari dan ijtimak terjadi sebelum maghrib) yang digunakan kalender Muhammadiyah
Kriteria MABIMS, terutama parameter tinggi Bulan minimal 2 derajat yang digunakan di kalender taqwim standar Pemerintah dan kalender Nahdlatul Ulama.
Kriteria LAPAN (2010) yang sama dengan kriteria Rekomendasi Jakarta 2017 (RJ), yaitu beda tinggi Bulan-Matahari minimal 4 derajat (= tinggi Bulan 3 derajat) dan elongasi Bulan minimal 6,4 derajat di kawasan barat Asia Tenggara yang digunakan kalender Persis.
Namun untuk Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah 1443, kalender Persis menggunakan kriteria MABIMS yang digunakan taqwin standar Pemerintah. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, Muhammadiyah sudah memutuskan 1 Ramadhan 1443 jatuh pada tanggal 2 April 2022.
Namun berdasarkan kriteria MABIMS, hilal terlalu rendah untuk diamati. Umumnya di wilayah Indonesia tinggi Bulan kurang dari 2 derajat. Itu artinya, rukyatul hilal (pengamatan hilal) pada saat maghrib 1 April berpotensi tidak terlihat.
“Kalau pun ada yang melaporkan menyaksikan, itu sangat meragukan sehingga berpotensi ditolak saat sidang isbat. Sehingga berdasarkan rukyat, 1 Ramadhan 1443 kemungkinan besar pada 3 April 2022,” terangnya.
Prediksi Awal Puasa Tahun-tahun Berikutnya
Potensi perbedaan ini sudah disampaikan Djamal sejak 2016..Saat itu, Djamal yang menjabat sebagai Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (sekarang Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional) menyebutkan, hingga 2021, awal puasa dan Syawal berpotensi dirayakan bersama.
Di tahun 2016 saat itu, tidak ada perbedaan waktu awal Ramadan di Indonesia. Baik pemerintah, ormas Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah menjalankan ibadah puasa mulai tanggal 6 Juni 2016, dan prediksi bahwa keseragaman itu bakal terjadi hingga lima tahun ke depan terbukti benar.
Nah, setelah tahun 2022, apakah potensi perbedaan awal puasa dan Syawal tahun-tahun berikutnya juga sudah bisa diprediksi sejak sekarang?
“Saya belum menghitung untuk tahun-tahun berikutnya. Tetapi yang jelas tahun 1443 H/2022 dan 1444 H/2023 akan terjadi perbedaan kalau ormas-ormas belum mengubah kriteria mereka,” kata Djamal.
“Tidak ada periode tertentu. (Perbedaan) bergantung pada posisi Bulan dan dinamika ormas-ormas Islam dalam menerapkan kriteria baru,” sambungnya.
Djamal sudah sejak dulu mengusulkan agar terjadi dialog antara ormas dan pemerintah. Tujuannya, untuk membuat sebuah mekanisme penyeragaman terkait penentuan awal Ramadan dan Lebaran.
Ada tiga poin yang dibahas, yakni pertama menentukan otoritas tunggal. Menurutnya, perlu ada satu institusi khusus yang bisa diikuti keputusannya secara bersama.
Kedua, perlu ada kriteria tunggal dalam penentuan derajat Bulan. Baik Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama bisa berdialog menyepakati kriteria tersebut dengan mengajak serta para ahli astronomi.
Ketiga, dia mengusulkan agar ada batas wilayah dan batas keberlakuan. Artinya, ada ketentuan mengenai wilayah mana saja penentuan ini diberlakukan. Apakah mengikuti secara global atau wilayah tertentu.
“Pemerintah mengupayakan ada satu sistem tunggal sehingga keterbukaan semua pihak bisa membuat satu kalender yang mapan: ada otoritas tunggal, kriteria tunggal, dan batas tanggal yang disepakati,” kata Djamal.
Dia berharap kriteria yang baru akan membuka jalan untuk mencapai penetapan kriteria tunggal tersebut yang akan dijadikan rujukan semua pihak dan mempersatukan umat.
“Kalau sekarang baru sebatas tanggal, tapi otoritasnya masih beragam. Pemerintah punya kalender baku tapi ormas punya kriteria sendiri-sendiri. Bisa jadi tahun-tahun berikutnya semua ormas Islam bisa bersepakat pada kriteria tunggal sehingga bisa seragam,” tutupnya.
Discussion about this post