PEKANBARU-Riauterkini-Hari ketiga, Sabtu (22/1/22), selesai sarapan, kami akan mengunjungi Rumah Tahfidz Ja’fariyah, yang letakkan tak terlalu jauh dari rumah Fikri, tempat kami menginap.
Menuju ke sana, kami menyaksikan pemandangan agak istimewa. Apa itu? Tingginya rasa aman. Anda akan melihat sepeda motor bahkan keluaran terbaru yang harganya di atas 30 juta, diparkir begitu saja di pinggir jalan. Tanpa perlu pasang kunci stang. Bahkan kata Muslim, mau ditinggal semalamanpun seperti itu, biasanya tidak akan hilang.
Bandingkan dengan kondisi di Pekanbaru. Jangankan semalaman, ditinggal beli toge sebentar saja, bahkan sudah dikunci stangpun, sepeda motor kita bisa lenyap tak berbekas. Tak jarang pula sepeda motor hilang di tempat parkir. Bahkan di bawah pengawasan kamera CCTV.
Rumah Tahfidz Ja’fariyah berada di bangunan sekolah Madrasah Tsanawiyah Ja’’fariyah. Menumpang. Ustadz Hazali selaku pimpinan yang menyambut kedatangan kami menjelaskan, rumah tahfidz itu berdiri pada September 2021 lalu dan diresmikan langsung oleh Bupati Inhil HM Wardan. Berarti usianya saat kedatangan kami itu baru tiga bulan.
“Meskipun baru berusia tiga bulan, namun sudah mencetak prestasi yang membanggakan. Sebanyak 25 santrinya sudah lulus Juz Amma. Langsung kami buat acara wisudanya dan di saat itulah Pak Bupati berkenan hadir meresmikannya,” katanya.
Di sini, ada lima orang ustadz/ustadzah yang mengajar, dimana seorang di antaranya merupakan hafidz Quran. “Kami buat kebijakan, satu ustadz menangani maksimal 10 santri, tidak boleh lebih, agar hasilnya maksimal,” tegasnya. Karena kebijakan ini, mereka terpaksa menolak murid karena sudah melebihi kuota.
Kini mereka sedang menggalang dana untuk mendirikan bangunan sendiri sehingga tak perlu menumpang lagi di ruang kelas milik MTs Ja’fariyah.
Di kelas ini, Lexie kembali memberikan motivasi kepada para siswa, mengajarkan mereka melatih kerja otak kiri dan otak kanan agar seimbang. Anak-anak yang umumnya usia SMP itu tampak antusias. Demikian pula dengan kuis-kuis yang kami berikan, diikuti dengan penuh semangat.
Usai dari sana, kami menuju Paud Nurul Qolbi di Parit 5. Paud ini berupa rumah panggung berukuran sekitar 8×5 meter persegi. Hanya terdiri dari satu ruangan dan sedikit teras. Didirikan di lahan berupa rawa-rawa dan untuk menuju ke bangunan itu, kami harus melewati jembatan dari batang kelapa. Lalu dilanjutkan dengan batang kayu lainnya hingga sampai ke teras bangunan.
Ustadzah penggagas paud penghafal Al quran ini telah meninggal dunia, sebelum cita-cita mulianya terwujud. Kami datang dan bertemu dengan suami almarhumah, ketua RW dan ustadzah lainnya. Semoga ini menjadi amal jariyah bagi almarhumah dan semua muhsinin yang ambil bagian dalam program ini, aamiin.
Naik Pompong Pengangkut Kelapa
Menjelang siang, tim bergerak ke Desa Kantang Jaya. Desa yang pernah kami kunjungi tahun lalu, seperti Desa Mengkaban.
Ada dua cara untuk mencapai desa itu dari Teluk Pinang. Pertama, pakai mobil sampai titik tertentu lalu dilanjutkan dengan sepeda motor karena memang medannya tidak memungkinkan dilalui mobil. Cara kedua, pakai speedboat. Masalahnya, dana kami tidak cukup untuk menyewa speedboat lagi seperti kemarin.
Lalu?
Muslim mengusulkan kami naik pompong sahaja. Pompong? Iya. Apa bedanya dengan speedboat? Speedboat lebih cepat. Okelah, naik pompong.
Kamipun menuju dermaga pribadi tepat di belakang dapur rumah warga. Menunggu sebentar, lalu dari kejauhan muncul perahu kecil dengan bunyi mesin yang cukup kencang. Setelah melihat wujudnya, tahulah kami yang orang kota ini beda pompong dengan speedboat.
Selin lebih kencang tentu saja, speedboat menyediakan bangku-bangku menumpang di dalamnya, bisa memuat maksimal delapan orang. Ada terpal di atasnya sehingga kita tak akan kepanasan atau kehujanan.
Sementara pompong yang akan membawa kami ini…
Itu adalah perahu bermesin yang tak ada terpal ataupun tempat duduk penumpangnya, karena biasa digunakan untuk membawa kelapa.
Jadi, orang-orang setempat biasa membuat parit di antara kebun-kebun kelapa mereka. Parit yang kecil digunakan untuk mengalirkan kelapa lalu dikumpulkan di ujung parit yang bermuara di parit yang lebih besar. Parit yang lebih besar itu dapat dilalui perahu atau pompong. Kelapa-kelapa ini lalu dinaikkan ke dalam perahu lalu dibawa ke pembeli. Transaksi jual beli kelapa ini bisa berlangsung dari perahu ke perahu saja.
Ada petani yang menjualnya ke pengepul lokal, namun banyak juga yang menjualnya ke pengepul ekspor. Harga jelas berbeda. Lebih mahal.
Untuk memasuki pompong ini, ternyata butuh nyali juga. Pasalnya, ketinggian air sedang rendah. Sementara di dermaga itu tidak ada tangga kayu seperti yang kami lihat di Desa Batang Tumu kemarin.
Kami harus loncat. Iya, loncat dari ketinggian sekitar 1,5 meter. Muslim dan Hilal tak masalah.
Pompong ditambatkan di sela-sela dermaga dan kapal besar yang sedang sandar. Muslim dan Hilal telah menurunkan kardus berisi Al Quran dan karung beras. Sekarang tinggal emak-emak ini yang harus diturunkan. Tapi bagaimana caranya?
Fikri mengambil sebilah papan kayu yang cukup tebal yang dijadikan jembatan antara kapal besar dan bibir dermaga. Jembatan tanpa pengamanan apapun. Tidak ada tali ataupun pelampung. Di sanalah kami akan meniti, lalu setelah tiga atau empat langkah, langsung loncat ke dalam pompong yang berada sekitar 1,5 meter di bawah dermaga.
Perahu bergerak perlahan, seiring arus air sungai. Berayun-ayun. Bilah papan ikut berayun. Semakin menantang.
Lexie maju pertama. Dengan bismillah, ia melangkah di bilah papan itu. Hilal berdiri di atas pompong siap membantu. Tepat di atas pompong, Lexie mengambil posisi duduk di papan itu lalu merosot turun dengan anggun. Ia landing dengan mulus.
Lalu tiba giliranku…
Aku melakukan hal yang sama, sambil berdoa dalam hati, semoga tidak tercebur ke dalam sungai yang dalam itu. Sekali loncat, langsung mendarat di atas haluan pompong. Lalu menyusul Mella.
Setelah semua naik, kami mengambil posisi tempat duduk masing-masing. Hilal duduk di bagian haluan bersama Lexie, saya dan Mella di tengah sementara Muslim di buritan.
Tak ada tempat duduk. Kami melantai. Dari posisiku, tak banyak yang bisa dilihat karena aku tenggelam di dalam perahu.
Pompong ini sangat peka terhadap gerakan penumpangnya, juga riak gelombang. Namun Muslim mengatakan, justru pompong lebih lentur dan tidak mudah terbalik.
Perjalanan ke Kantang Jaya akan memakan waktu selama lebih kurang 30 menit. Memang lebih lama dibandingkan dengan speedboat. Tapi tak apa, tetap saja ini menyenangkan.
Seperti kemarin, kami melalui jalan-jalan tikus di sela-sela pohon bakau dan nipah. Sungguh eksotis.
Di Kantang Jaya, kami dijamu makan siang oleh keluarga orangtua Fikri. Mereka menghidangkan udang galah belado yang ma sya Allah, enak sekali.
Setelah itu, kami menuju TPA Syarif Hidayatullah, bertemu bocah-bocah yang tahun lalu kami jumpai. Di sini, karena waktu kami masih cukup panjang, kami bisa melakukan interaksi dengan mereka, seperti memberi motivasi, mengadakan kuis dan membaca surat-surat pendek.
Mantan Kades Kantang Jaya Syarif Hidayatullah menyambut kami dengan ramah. Ia mendampingi kami hingga acara selesai, bahkan ikut menyemangati anak-anak saat megikuti kuis berhadiah.
Sama seperti di tempat-tempat lain sebelumnya, di sinipun kami membagikan Al Quran dan beras untuk ustadzahnya.
Lalu tibalah saatnya untuk pulang. Naik pompong lagi. Kali ini, kami mengambil posisi ternyaman masing-masing. Hilal dan Muslim duduk di haluan sedang kami para bunda duduk di buritan. Menikmati pemandangan sungai dan suasana sore yang tenang.
Besok kami akan bertolak kembali ke Pekanbaru. Entah kapan kami akan kembali ke sini lagi. Semoga dengan lebih banyak hadiah, lebih banyak manfaat untuk umat ini.
Paginya, setelah berpamitan dengan keluarga Fikri, kami kembali ke Pekanbaru. Kami mampir dulu di TPQ Asy Syifa, Tembilahan yang dibina oleh Ustadzah Ummu Hasuna.
TPQ ini sudah berdiri sejak delapan tahun lalu dan saat ini memilik 62 santri. Banyak santrinya yang menang lomba tahfidz online. Hafalan para santrinyapun sudah lebih dari tiga juz. Tak heran, muridnya datang tak hanya dari sekitar rumah, melainkan juga dari tempat yang agak jauh, dimana santrinya harus diantar orangtua untuk sampai ke sana.
Muridnya sdh bisa ngaji dan banyak hafalan. Sering ikutan lomba tahfiz online. Satu yang khas dengan TPQ ini adalah, rutinnya mereka menggelar i’tikaf di TPQ itu.
“Setiap pekan kami mengadakan i’tikaf,” jelas Ummu Hasuna.
Usai Shalat Zuhur, kami pamit, kembali ke Pekanbaru. Banyak kenangan yang tersimpan dalam memori kami tentang perjalanan kali ini. Besar harapan, kelak bisa kembali. Membuat program yang lebih bermanfaat dan berkesan untuk anak-anak dan memotivasi mereka untuk tetap istiqomah dengan hafalannya.
Dan doakan kami, semoga juga tetap istiqomah. (habis/fitri mayani)
Discussion about this post