KABARLAH.COM, PEKANBARU – Ini kali kedua Relawan Pekanbaru Charity mengunjungi Kabupaten Indragiri Hilir (inhil), Riau. Tepat setahun yang lalu, kami pergi ke sana untuk pertama kalinya mengantarkan buku siroh ke sejumlah Taman Pendidikan Qura. Pengalaman itu sungguh berkesan dan kami ingin kembali.
Maka setelah setahun berlalu, pada Kamis (20/1/22) pagi lalu, lima relawan Pekanbaru Charity kembali bergerak ke Inhil. Pukul 7.30 pagi, semua tim sudah berkumpul di kantor Pekanbaru Charity di Pandau. Kami terdiri dari Lexie Wahyuni selaku ketua ekspedisi, Mella Gisfa (seorang mahasiswi UIR yang sedang menyusun skripsi), Muhammad Muslim (seorang perawat di RSUD Arifin Achmad), Hilal Hazrat (seorang santri Pondok Pesantren Markiz Daarul Quran was Sunnah, Lipat Kain) dan saya.
Kali ini kami tidak membawa buku siroh seperti tahun lalu, melainkan Al Quran. Ada 200-an Al Quran yang akan kami sebar ke tujuh desa di Inhil. Selain itu, ada pula 110 kg beras yang akan dibagikan kepada para ustadz/ustadzah. Beras ini berasal dari gerakan sedekah beras yang diinisiasi oleh Ustadz Luqmanulhakim, sedangkan Al Quran sebagian disumbangkan oleh Ustadz Abdul Somad.
Sama seperti sebelumnya, perjalanan ini cukup panjang. Walau jalan dari Pekanbaru-Inhil relatif bagus, namun ketika menuju Teluk Pinang di Kecamatan Gaung Anak Serka, jalan mulai bergelombang. Sekira pukul 22.00 WIB, kami tiba di rumah Fikri, sepupu Muslim, yang tahun lalu juga merelakan rumahnya kami tempati. Kini Fikri telah menjadi seorang ayah. Bayinya berusia belum genap dua bulan.
Hari kedua, Jumat (21/1/22) pagi, kami bersiap ke Rumah Tahfidz Al Hidayah di Desa Batang Tumu. Desa itu akan ditempuh dengan speedboat. Bila tahun lalu kami menyewa speedboat ambulans, sekarang Bang Abdul Karim yang menjadi nahkoda kami, sudah punya speedboat sendiri.
Beberapa kardus berisi Al quran diturunkan dari dermaga ke dalam speedboat. Juga beras, sejumlah hadiah kecil dari Pekanbaru Charity untuk para santri, dan barang-barang pribadi kami.
Lalu speedboatpun mulai bergerak. Hari itu perairan tampak lebih lengang dibanding tahun lalu. Kami akan menuju Desa Tokolan, yang tahun lalu pernah kami kunjungi. Rumah Tahfiz Al Hidayah berada di dekat itu.
Pemandangan Tokolan sungguh eksotis. Rumah-rumah kayu berdiri di atas tiang-tiang tinggi. Bila air sedang surut seperti saat kami datang, kita harus menengadah untuk melihat rumah-rumah itu.
Speedboat kami lewat tepat di bawah dapur-dapur rumah warga. Jadi tak heran bila pagi itu kami melihat aktivitas warga sedang mencuci, memasak atau anak-anak bermain jumpalitan di dalam sungai yang cukup dalam itu.
Tiba-tiba speedboat berhenti di depan sebuah tangga dari batang kayu yang cukup terjal. Besar tiang-tiangnya kira-kira sebesar lengan orang dewasa. Kami tiga perempuan dalam rombongan ini sempat terdiam. Cukup beresiko mendaki anak tangga yang jaraknya tidak dekat itu dengan gaun pergi pengajian seperti ini. Iya, kami salah kostum.
Tapi sudahlah, bismillah saja…
Maka setelah paket Al Quran dan beras dinaikkan oleh Hilal dan Muslim dari perahu ke dermaga pribadi di ujung dapur itu, kamipun satu persatu merayap naik. Saya yang pertama. Walau gamang luar biasa, tapi saya beranikan diri. Muslim menunggu di atas, memegang tangan saya dengan kuat agar tidak jatuh tercebur ke air. Setelah itu, menyusul Mela lalu Lexie.
Kami kemudian masuk ke ruang tengah rumah yang disulap menjadi rumah tahfiz itu. Tuan rumah minta maaf karena kami harus masuk lewat dapurnya. Tentu saja itu bukan masalah buat kami.
Lalu acarapun dimulai. Dijelaskan, Rumah Tahfiz Al Hidayah berdiri sejak 2019 dan kini telah punya murid sekitar 70 orang dari berbagai usia.
Dulunya rumah tahfidz ini dirintis oleh Ustadz Yusrizal Idris. Kemudian diteruskan oleh anaknya Ustadz Rozi Badri yang juga menjabat sebagai Sekretaris Desa Batang Tumu, Kecamatan Mandah.
Ustadz Rozi Badri sangat berterima kasih atas bantuan itu. Ia juga menjelaskan, hingga saat ini rumah tahfidz itu belum punya bangunan sendiri, sehingga menumpang dulu di rumah orangtuanya.
Ayah Ustadz Rozi Badri, yaitu Ustadz Yusrizal Idris yang sudah sepuh namun terlihat masih sehat dan bugar, memang telah lama dikenal sebagai guru mengaji. Murid-muridnya sering menjadi utusan kecamatan, kabupaten bahkan provinsi dalam ajang MTQ. Tak heran muridnya banyak. Sudah teruji.
Kalau tadi kami naik ke darat lewat dapur rumah orang, sekarang kami kembali ke speedboat melalui dermaga resmi Tokolan. Desa sedang sepi sekali hari itu, karena bertepatan dengan pelaksanaan Shalat Jumat. Puskesmas, toko dan rumah-rumah penduduk, tampak lengang.
Kami berjalan perlahan menikmati pemandangan ini. Jalanannya dari semen hingga ke dermaga dan lebarnya hanya sekitar dua meter. Di kiri kanan jalan itu rumah penduduk tersusun dengan rapi. Mereka membangun rumah di atas tiang-tiang kayu pilihan, yang tahan oleh rendaman air bertahun-tahun. Kebanyakan rumah itu memanjang ke belakang, yang berakhir di atas permukaan sungai. Perahu-perahu ditambatkan di bawah dapur itu.
Meskipun terlihat sederhana, namun sebagian mereka bisa dikatakan hidup cukup sejahtera. Mereka juga punya alat-alat elektronik seperti orang-orang di kota seperti televisi, kulkas, mesin cuci dan sebagainya.
Perjalanan berikutnya adalah menuju Desa Mengkaban, tak jauh dari Batang Tumu. Desa Mengkaban adalah kampung Muslim, salah seorang relawan Pekanbaru Charity. Begitu kami tiba, kami langsung disuguhi makan siang yang nikmat oleh keluarga Muslim. Setelah beristirahat sejenak, kami menuju Rumah Tahfidz Al Mujahidin yang dikelola oleh Ustadzah Ainon.
Di sini, Ustadzdah Ainon dan para ibu lainnya tampak antusias menyambut kami. Desa Mengkaban tahun lalu sudah kami kunjungi. Jadi kali ini adalah perjalanan nostalgia bagi kami.
Ustadzah Ainon memeluk kami erat-erat saat kami baru saja menginjakkan kaki di darat. Demikian pula saat kami pergi. Di saung tempat ia mengajar anak-anak, masih ada banner yang kami tinggalkan setahun yang lalu. Banner itu berisi panduan untuk menjadi anak sholeh dan cinta buku.
Kami masuk ke saung dan seperti sebelumnya, Lexie memberikan anak-anak motivasi belajar Al Quran, kiat-kiat supaya berhasil mencapai cita-cita. Kami juga membuat kuis berhadiah untuk anak-anak. Semua gembira semua bersuka.
Setelah membagikan Al Quran dari UAS dan beras dari Ustadz Luqmanulhakim, sekira pukul empat sore kamipun beranjak pergi. Masih ada satu desa lagi hari ini yang harus kami kunjungi, yaitu Desa Tanjung Jaya.
Muslim dan Nahkoda Abdul Karim mengingatkan kami untuk bergegas, karena ketinggian permukaan air di jalur-jalur yang akan kami lalui, mungkin akan menyulitkan perahu itu melaju dengan normal.
Begitu semua kru naik ke perahu, nahkoda langsung tancap gas. Speedboat itu melaju kencang. Membelah sungai-sungai yang masih sesepi tadi pagi.
Seperti tahun lalu, nahkoda kami memotong jalan ke jalan-jalan tikus di sela-sela pohon nipah dan bakau. Terkadang ia kencang, terkadang ia melambat. Sekitar setengah jam kemudian, kami sampai di titik perhentian ketiga, Desa Tanjung Jaya.
Perahu kami merapat ke dermaga. Para lelaki menurunkan kardus berisi Al Quran dan yang lainnya. Lalu melalui jalan kayu yang berderak di beberapa titik, berlubang dan jarang-jarang, kami dipandu ke Rumah Tahfidz Quran Al Ikhlas yang dibina oleh Ustadz Andi. Ia merupakan anak dari Ustadz Yusrizal Idris yang membuka Rumah Tahfidz di Desa Batang Tumu, titik pertama kunjungan kami tadi pagi.
Rumah Tahfidz Al Ikhlas saat itu sedang dibangun. Lantai dan tiangnya sudah berdiri, namun belum ada dinding dan atapnya. Maka kamipun diterima di rumah salah seorang warga yang menyediakan rumahnya sebagai rumah tahfidz hingga bangunan resminya selesai.
Kami menyampaikan titipan Al Quran para muhsinin yang menyumbang lewat Pekanbaru Charity dan program sejenis yang digerakkan oleh Ustadz Abdul Somad. Tak lupa juga memberikan beras dari Ustadz Luqmanul Hakim.
Menyesal sekali, kami tak bisa berlama-lama sana, tidak bisa berinteraksi lama dengan para santri dan membuat kuis-kuis berhadiah, karena Pak Abdul Karim sang nahkoda, sudah batuk-batuk di tempat duduknya, memberi tanda. Maka kamipun bergegas.
Sungai benar-benar sunyi waktu itu. Pukul 18.00 WIB, kami masih di dermaga Tokolan, mengisi bahan bakar. Di barat, matahari sedang beranjak terbenam. Pemandangan kala itu sungguh memesona. Subhanallah. Kami mengabadikannya dengan kamera hp masing-masing. Suara lantunan Ayat Suci Al Quran dari menara masjid di Tokolan terdengar bersahut-sahutan dengan cuitan burung-burung walet.
Kamipun melanjutkan perjalanan. Hanya suara mesin perahu kami yang terdengar. Sungai tampak tenang. Di kejauhan, sekawanan bangau telah hinggap di ranting-ranting bakau, beristirahat. Di langit burung-burung walet yang memang banyak di sana, terbang bergerombol. Langit merona merah, cantik sekali. Senja yang damai.
Kami mendarat kembali di Teluk Pinang saat anak-anak telah masuk ke rumah-rumah tahfiz untuk belajar mengaji. Tanda Shalat Maghrib berjamaah di masjid telah usai.
Suara mereka mengaji terdengar sampai ke jalanan. Sekilas kami melihat, anak-anak kecil itu, generasi Islam itu, sedang duduk di lantai kayu dengan rapi dengan Al Quran di depan badan masing-masing. Bisa jadi, satu di antara mereka, kelak akan menjadi orang hebat yang memberikan sumbangsih besar untuk agama ini dengan negeri Indonesia tercinta ini, siapa yang tahu.. (bersambung/fitri mayani)
Discussion about this post