BerandaBeritaPertamina Kontrak Blok Rokan Sistem Gross Split, Ini Penjelasan Ahli Peminyakan

Pertamina Kontrak Blok Rokan Sistem Gross Split, Ini Penjelasan Ahli Peminyakan

spot_img

KABARLAH.COM, Pekanbaru – PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) telah mengakhiri hak kelolanya di Blok Rokan sebelum HUT RI (8/8) lalu, dan kini PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) resmi mengambil alih setelah hampir satu abad atau tepatnya 97 tahun Chevron mengelola Blok Rokan di Riau.

Salah satu yang menarik untuk dibahas dalam proses peralihan Wilayah Kerja (WK) Blok Rokan dari PT Chevron Pacific Indonesia kepada PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) adalah perbedaan sistem kontrak antara pemerintah dengan Chevron yang skema kontraknya menggunakan sistem Cost Recovery, sedangkan dengan Pertamina dengan sistem Gross Split.

Lalu apa yang menjadi kelemahan dari skema Cost Recovery, sehingga pemerintah memutuskan untuk memilih skema Gross Split untuk mewujudkan energi yang berkeadilan di Indonesia khususnya Blok Rokan?

Pakar perminyakan dari Riau, Ahmiyul Rauf menjelaskan bahwa sistem Cost Recovery sebenarnya cocok untuk daerah-daerah yang resiko bisnisnya tinggi, sehingga biaya apapun dalam beroperasi, investor tidak takut untuk mengeluarkan karena yang akan menutupi biaya tersebut adalah pemerintah.

“Jadi walaupun biaya untuk operasi dikeluarkan dulu oleh investor, dan berapapun biaya operasinya itu nanti ditanggung juga oleh pemerintah, misalnya 30% dari penghasilan di potong untuk biaya operasi, kemudian yang 70% dibagi (pemerintah dan investor), pembagian yang 70% itulah nanti yang dihitung kalau split misalnya 80% pemerintah dan 20% investor. Itu namanya profit sharing, profit itu yang dibagi. Jadi cost recovery yang dibagi profitnya,” papar Ahmiyul saat di temui di kediamannya, Jumat (20/8).

Ahmiyul melanjutkan paparannya terkait kelemahan Cost Recovery dari sisi pemerintah. Menurutnya pemerintah harus bekerja mengerahkan orang-orang terbaiknya untuk mempelajari dan mengevaluasi sekaligus menyetujui klaim biaya operasi dari operator, itulah sebabnya dibutuhkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Namun, lanjutnya lagi, yang menjadi persoalan adalah sejauh mana orang-orang SKK bisa menguasai seluk beluk operasi, karena memang sangat rumit dan mendetail, sehingga bisa saja terjadi pihak SKK tidak bisa sepenuhnya menverifikasi biaya yang diklaim tersebut.

“Ya banyak praktek karena targetnya menyuarakan suara pemerintah, ya kadang-kadang ditidak-tidakkan saja pada awalnya, tapi pada akhirnya diiyakan juga (kemauan investor). Jadi pemerintah berpotensi dirugikan, seolah-olah biayanya banyak,” ujarnya.

Jika kontrak bagi hasil dengan skema cost recovery biaya operasi (cost) menjadi tanggungan pemerintah pada ahirnya, berbeda dengan kontrak bagi hasil menggunakan skema Gross Split, dimana biaya operasi menjadi tanggung jawab kontraktor sepenuhnya. Sehingga kontraktor akan memikirkan bagaimana agar biaya operasi bisa seefisien mungkin agar keuntungan semakin banyak.

“Gross split hitung-hitungnya boleh saja pemerintah untung lebih banyak tapi investor tidak rugi, karena dari sisi operator biaya-biaya yang dulu dikatakan banyak ketika cost recovery, biaya itu bisa saja tidak diperlukan lagi, dan penghematan dari sisi operasi tadi juga dinikmati oleh investor,” tuturnya.

Akibatnya, masih kata Ahmiyul, “kalau gross split ini, perusahaan akan menghemat semaksimal mungkin cost. Sehingga biaya-biaya yang dulunya dimasukkan sebagai biaya, sekarang kalau perlu tidak dikerjakan lagi.”

Pemaparan ahli perminyakan dari Riau diatas sejalan dengan penjelasan yang disampaikan oleh Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arcandra Tahar.

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

WAJIB DIBACA

spot_img