KABARLAH.COM, Pekanbaru – Dunia yang menggoda iman, dunia, dalam pandangan Islam, bukanlah tujuan, tetapi jembatan menuju akhirat. Namun, di akhir zaman, manusia akan terbalik arah: mereka menjadikan dunia sebagai kiblat dan harta sebagai tuhan. Inilah konteks besar dari sabda Nabi SAW:
“Hampir saja Sungai Eufrat menyingkapkan harta berupa gunung emas. Maka siapa saja yang hadir di sana, janganlah mengambil sedikit pun darinya.”
(HR. Muslim no. 2894)
Hadits ini termasuk dalam kategori ash-shahih al-masyruḥ, yakni hadis sahih yang disertai peringatan keras agar umat Islam berhati-hati dari fitnah besar menjelang Kiamat. Syekh Dr. ‘Umar Sulaiman al-Asyqar menempatkannya dalam bab “Kisah Gaib Nyata di Akhir Zaman”, karena bersifat futuristik namun pasti terjadi, sebagaimana diberitakan oleh Nabi yang tidak pernah berbicara dari hawa nafsu (QS. An-Najm: 3–4).
Makna Zahir Hadits
Gunung emas yang disebutkan Rasulullah ﷺ secara lahiriah dipahami sebagai harta karun nyata yang akan muncul di dasar Sungai Eufrat, salah satu sungai besar di Timur Tengah yang kini mengalir melalui Turki, Suriah, dan Irak.
Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan:
“Hadits ini menunjukkan bahwa Eufrat akan surut airnya hingga tampak dasar sungai, dan di sana terdapat harta karun yang dahulu tertimbun.”
Artinya, fenomena ini adalah kejadian fisik, bukan simbolik. Para ahli hadits menilai tanda-tanda ke arah ini sudah mulai tampak: surutnya debit air Eufrat akibat proyek bendungan raksasa modern bisa menjadi bagian dari skenario takdir Allah. Namun waktu terjadinya peristiwa “gunung emas” ini masih dalam ilmu ghaib yang hanya diketahui oleh-Nya.
Makna Batin dan Tafsir
Adapun para ulama tasawuf menafsirkan makna batin hadits ini sebagai fitnah dunia yang membutakan hati. Gunung emas bukan sekadar logam, tetapi lambang kekuasaan, jabatan, dan syahwat duniawi yang membuat manusia berperang satu sama lain.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani menyatakan dalam al-Fath ar-Rabbani:
“Setiap kali dunia tampak seperti gunung emas, di situ syaitan menanam pedangnya. Siapa yang menunduk karena tamak, ia akan terpenggal oleh nafsunya sendiri.”
Maka, perang di tepi Eufrat bukan hanya perang fisik, tetapi cermin dari perang batin manusia melawan hawa nafsu dan cinta dunia.
Pendekatan Tafsir
Pertama. Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari menegaskan bahwa larangan Nabi SAW, “janganlah mengambil sedikit pun” adalah bentuk kehati-hatian terhadap fitnah. Beliau berkata:
“Fitnah dunia lebih berbahaya dari fitnah Dajjal, karena ia melanda setiap generasi.”
Kedua. Ibn Katsir dalam an-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim menyebut bahwa peristiwa ini termasuk tanda dekatnya keluarnya Dajjal. Ia berkata:
“Gunung emas itu menjadi sebab pertumpahan darah besar-besaran di antara manusia, hingga hampir tidak ada yang selamat.”
Ketiga. Syekh Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam Fiqh al-Awlawiyyat menekankan sisi moral hadits ini:
“Gunung emas adalah metafora dari sistem ekonomi kapitalistik yang membuat manusia saling memusnahkan. Larangan Nabi berarti ajakan agar umat Islam membangun ekonomi berkeadilan, bukan berbasis kerakusan.”
Faidah dan Pelajaran
Pertama. Fitnah Harta Adalah Fitnah Akhir Zaman
Nabi SAW bersabda:
“Sesungguhnya bagi setiap umat ada fitnah, dan fitnah bagi umatku adalah harta.”
(HR. Tirmidzi, hasan sahih).
Artinya, ujian terbesar bagi umat Nabi Muhammad bukan pada pedang atau kekuasaan, melainkan harta. Ia dapat menjadi rahmat jika diinfakkan, atau menjadi laknat jika disembah.
Kedua. Larangan Ikut dalam Perang Duniawi
Hadits ini menegaskan hukum: tidak boleh ikut perang karena dunia. Ulama fiqih menafsirkan bahwa siapa yang berperang untuk harta, kekuasaan, atau gengsi — bukan karena Allah — maka ia mati dalam keadaan jahiliyah. (HR. Muslim)
Ketiga. Peringatan akan Tanda Kiamat
Munculnya gunung emas adalah tanda besar mendekatnya Kiamat, sebagaimana disebutkan bersama keluarnya Dajjal dan munculnya Ya’juj-Ma’juj. Ini mengingatkan bahwa dunia menuju ujungnya, bukan kemakmurannya.
Sisi Ruhani: Gunung Emas dalam Hati
Dalam tafsir batin, gunung emas bisa muncul di setiap hati manusia, ketika ia terlalu mencintai dunia hingga melupakan Allah. Di situlah pertempuran sejati berlangsung: antara nur iman dan kabut hawa nafsu.
Imam al-Ghazali berkata dalam Ihya’ Ulum al-Din:
“Cinta dunia adalah akar dari setiap dosa. Ia seperti gunung emas di dada manusia, yang mengundang ribuan syaitan untuk menambangnya.”
Jihad melawan cinta dunia adalah jihad yang tidak pernah berhenti. Seorang mukmin sejati bukan yang meninggalkan dunia, tapi menundukkan dunia di tangannya, bukan di hatinya.
Hukum dan Hikmah
Pertama. Hukum Menyikapi Harta: Amanah, Bukan Tujuan
Islam mengakui kepemilikan harta, tetapi mewajibkan amanah. Allah berfirman:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan dunia, tetapi amal saleh yang kekal lebih baik di sisi Tuhanmu.”
(QS. Al-Kahfi [18]: 46)
Kedua. Hikmah Sosial-Ekonomi
Gunung emas bisa dimaknai sebagai simbol krisis moral ekonomi global. Ketika manusia menjadikan emas, uang, dan teknologi sebagai pusat hidup, maka kehancuran sosial tak terhindarkan. Islam menawarkan solusi: zakat, sedekah, keadilan, dan kepemilikan yang proporsional.
Ketiga. Zuhud dan Keseimbangan
Zuhud bukan berarti miskin, tapi tidak diperbudak dunia. Seperti kata Imam Ahmad bin Hanbal:
“Zuhud bukan tidak memiliki harta, tetapi harta tidak menguasai hati.”
Menjaga Hati di Tengah Fitnah
Fitnah gunung emas adalah cermin akhir zaman, dunia yang tampak bersinar tapi berujung pada kehancuran iman. Maka, keselamatan bukan pada siapa yang kaya, tapi siapa yang mampu berkata: “Cukuplah Allah bagiku.”
Rasulullah SAW mengingatkan:
“Sungguh, dunia itu manis dan hijau, dan Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya untuk melihat bagaimana kalian beramal.”
(HR. Muslim)
Maka, jadilah mukmin yang memegang dunia di tangan, bukan di hati. Bila dunia muncul seperti gunung emas di depan matamu, tundukkan kepalamu dalam sujud, bukan dalam kerakusan. Karena emas yang sejati bukan yang berkilau di bumi, melainkan iman yang bersinar di hati. Allahu ‘Alam.
Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab



