BerandaOpinionKepemimpinan Bangsawan Sejati: Ruh Ilahi untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat

Kepemimpinan Bangsawan Sejati: Ruh Ilahi untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat

spot_img

KABARLAH.COM – Bangsa yang besar berdiri di atas dua pilar: simbol dan ruh. Simbol memberi bentuk, tetapi ruhlah yang memberi kehidupan. Leluhur kita telah mengajarkan bahwa menata negara bukan sekadar menyusun aturan, undang-undang, atau strategi politik, melainkan menjalankan sebuah amanah ilahiyah—wahyu keprabon—yang menurunkan cahaya kepemimpinan bagi seorang pemimpin.

Al-Qur’an menegaskan bahwa kekuasaan bukanlah milik manusia, melainkan titipan Allah ﷻ:

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاءُ
“Katakanlah: Wahai Allah, Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari siapa yang Engkau kehendaki.”
(QS. Āli ‘Imrān [3]: 26)

Ayat ini mengingatkan bahwa seorang pemimpin tidak boleh merasa berkuasa karena dirinya, tetapi karena amanah yang dititipkan oleh Allah. Itulah ruh yang menjadikan kepemimpinan sebuah tanggung jawab, bukan kebanggaan kosong.

Mahkota sebagai Cahaya Amanah

Dulu, mahkota seorang raja bukan sekadar hiasan. Ia adalah tanda bahwa pemimpin telah ditempa oleh kesabaran, kejernihan, dan keberanian menegakkan kebenaran. Dalam batin, mahkota adalah cahaya hati yang menuntun seorang pemimpin agar tidak berpaling dari keadilan. Rasulullah ﷺ menegaskan dalam hadits:

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian.”
(HR. Muslim)

Hadits ini menegaskan, pemimpin sejati bukan yang ditakuti karena kekuasaannya, tetapi yang dicintai karena keadilannya. Dialah bangsawan sejati—bangsawan jiwa, bukan sekadar bangsawan darah.

Ketahanan Sejati: Ruh, Bukan Sekadar Simbol

Kini, banyak warisan luhur itu tinggal sebagai simbol. Lembaga-lembaga negara memang masih merawatnya dalam bentuk narasi, namun sering berhenti di kulit. Civil resilience dijadikan jargon modern, tetapi ruh spiritual yang menghidupinya memudar.

Padahal, ketahanan sejati bangsa tidak cukup hanya dengan ekonomi yang kuat atau militer yang perkasa. Ia berakar pada iman, akhlak, dan kasih sayang yang menumbuhkan keberanian bersama. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.”
(HR. Abu Dawud)

Seorang pemimpin yang melayani rakyatnya dengan keikhlasan akan menumbuhkan ketahanan sosial yang tak tergoyahkan. Itulah makna batin dari civil resilience—ketahanan yang lahir dari cinta, keadilan, dan iman, bukan sekadar strategi teknis.

Pesan Hikmah untuk Pemimpin

Imam al-Ghazālī pernah berkata:

“Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama adalah pondasi, sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Apa yang tidak memiliki pondasi akan runtuh, dan apa yang tidak memiliki penjaga akan hilang.”

Pesan ini menegaskan: kekuasaan tanpa ruh ilahi hanyalah kulit tanpa isi. Begitu pula agama tanpa perlindungan kekuasaan akan terpinggirkan. Seorang pemimpin sejati harus memadukan keduanya: kekuasaan yang kokoh sekaligus ruh yang hidup.

Bangkitnya Bangsawan Sejati

Wahai para pemimpin, bangsa ini menanti hadirnya kepemimpinan bangsawan sejati—bukan bangsawan karena darah, melainkan bangsawan karena jiwa. Dialah yang berani menolak menjadikan rakyat sekadar angka statistik, melainkan melihat mereka sebagai amanah Allah yang harus dijaga martabatnya. Dialah yang memimpin bukan untuk menguasai, tetapi untuk melayani.

Jika ruh itu hidup dalam kepemimpinan, maka rakyat akan melihat keteladanan, bukan sekadar mendengar janji. Mereka akan merasakan keadilan, bukan hanya membaca peraturan. Dan bangsa ini akan berdiri dengan gagah, dipimpin bukan oleh simbol kosong, melainkan oleh ruh yang bercahaya.

Maka, marilah kita tegakkan kembali kepemimpinan bangsawan sejati—kepemimpinan yang memuliakan rakyat, menegakkan keadilan, dan menghadirkan kesejahteraan. Hanya dengan itu, simbol-simbol kebesaran bangsa akan kembali bersinar, bukan sebagai bayangan masa lalu, melainkan sebagai cahaya masa depan.

Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

WAJIB DIBACA

spot_img