KABARLAH.COM, Pekanbaru – Setiap tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Melansir situs resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, tahun 2024 mengusung tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Pemenuhan hak anak merupakan amanah konstitusi. Sebagaimana tercantum pada pasal 28B ayat (2) Undang Undang Dasar (UUD) RI 1945, bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam perjalanannya, sejumlah peraturan terkait sudah dibentuk. Teranyar UU 4/2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan, yang ditekan Presiden Joko Widodo (Jokowi) awal bulan ini. Dilansir dari laman Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg), UU tersebut memfasilitasi hak ibu pasca melahirkan, hak memperoleh pendampingan suami serta hak tumbuh kembang anak. Sekedar informasi, UU KIA memuat sembilan bab dan 46 pasal merupakan inisiatif DPR-RI yang mulai digodok sejak 30 Juni 2022. Modal berharga menuju Indonesia Emas 2045. Dihadapan awak media, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga berkata “UU KIA akan menguatkan pelaksanaan kebijakan dan program fase seribu hari pertama kehidupan, menjadikannya lebih sinergis dan komprehensif”.
Menindaklanjuti UU, Kementerian PPPA akan menyusun peraturan turunan antara lain: tiga Peraturan Pemerintah dan satu Peraturan Presiden. Kami selaku pihak pengelenggara pemerintahan daerah menyambut baik UU KIA. Tentu nantinya semoga diperkuat ke daerah lewat Peraturan Daerah (Perda). Untuk itulah diatur kewenangan daerah dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kehadiran regulasi yang proaktif perihal anak amat urgen. Karena wujud komitmen negara memberi perlindungan dan pemenuhan hak bagi para ibu dan anak-anak Indonesia. Bicara anak, paradigma dipakai mesti komprehensif. Dimulai sejak ibu mengandung, melahirkan, menyusui hingga merawat dan mendidik. Fase-fase dimaksud tidak bisa dijalani sendiri oleh ibu. Butuh perhatian, dukungan dan sinergi berbagai pihak mencakup suami, keluarga, komunitas dan dunia usaha dimana orangtuanya si anak bekerja. Sebab lingkungan sangat penting bagi tumbuh kembang anak. Apalagi mereka generasi penerus. Ketika hak mereka ditunaikan, tercapai cita-cita negara. Bila diabaikan, berlaku sebaliknya. Pastinya, semua orangtua ingin keturunannya menjalani kehidupan lebih baik.
Momentum
HAN momentum tepat untuk mengevaluasi dan memproyeksikan apa yang sudah dilakukan dan sejauhmana stakeholder atau elemen masyarakat mempromosikan kepedulian dan menunaikan hak-hak anak. Tak sekedar di lisan namun diiringi aksi nyata. Bicara aturan yang telah dibentuk berkaitan pemenuhan hak anak, apapun itu, besar harapan kiranya dapat berbicara banyak di tataran realita. Apalagi kasus-kasus meliputi anak trennya terus meningkat. Selain tindak kekerasan menimpa anak, kriminalitas melibatkan pelaku di bawah umur juga bertambah. Belum genap tahun 2024 sudah ribuan kasus terungkap. Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) mencatat, rentang Januari-Juni 2024 terdapat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak dengan 5.552 korban anak perempuan dan 1.930 korban anak laki-laki, di mana kasus kekerasan seksual menempati urutan pertama dari jumlah korban terbanyak sejak tahun 2019 sampai tahun 2024. Mirisnya rumah tangga atau orang terdekat penyumbang terbesar, yakni: orangtua dan keluarga/saudara berikut teman dan guru. Di luar itu, adapula oknum penegak hukum. Paling hangat dan bikin heboh tewasnya seorang berusia 13 di Kota Padang, Sumatera Barat awal Juni lalu. Mengutip hasil investigasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, AM diduga disiksa oknum anggota Sabhara Kepolisian Daerah (Polda) Sumbar saat melakukan patroli pada Minggu subuh. Pada hari itu, polisi menangkap sejumlah anak yang diduga akan tawuran. Tentu saja Riau tak luput dari temuan kekerasan kepada anak.
Kesimpulannya kejahatan ke anak kian ganas. Terlebih semakin intensnya terpapar smartphone asbab pemakaian gadget saat menjalani pembelajaran daring (online) selama pandemi. Kendati satu sisi teknologi berdampak positif, namun sisi negatif jauh lebih berbahaya. Lembaga sosial Amerika Serikat bernama We Are Social membeberkan, Indonesia peringkat ketiga negara pemain game online terbanyak di dunia. Lebih 90 persen pengguna internet Indonesia pemain game online. Bahkan rentang usia 6-12 tahun. Kekhawatiran muncul manakala timbul kecanduan. Sebuah studi menunjukkan, anak-anak candu game online rentan terpapar konten bernuansa kekerasan dan pornografi serta beresiko terjerat predator seksual yang kerap memakai game online sebagai perantara. Banyak sudah kejahatan seksual menyerang anak di dunia maya. Pelaku membangun kedekatan, kepercayaan dan hubungan emosional dengan anak yang disasar. Baru-baru ini pihak Kepolisian Daerah (Polda) Riau berhasil membongkar kasus video porno menyasar puluhan anak-anak wanita di Pekanbaru. Pelaku memakai akun palsu menjebak korbannya kemudian meminta untuk dikirim video asusila. Para korban rata-rata berusia 11 tahun ke Bawah.
Kolaborasi
Perhatian dan kepedulian terhadap anak menentukan masa depan bangsa. Ketika anak-anak dibiarkan tanpa proteksi, maka sama saja mengakhiri generasi sebelum mencapai masa keemasannya. Cita-cita menggapai Indonesia Emas 2045 terancam. Meski akhirnya mereka beranjak dewasa, namun tumbuh dalam keadaan tidak ideal. Implikasi kehilangan perhatian orang terdekat, komunitas dan lingkungan sekitar serta absennya negara. Akibatnya kehilangan orientasi. Jadi lost generation yang dikhawatirkan bukan saja akibat malnutrisi atau kondisi gizi buruk, juga kehampaan “asupan” nilai yang membentuk mentalitas dan moralitas. Bila malnutrisi menyebabkan terganggu perkembangan fisik, maka kekerasan dan kejahatan dari lingkungan berdampak besar pada kejiwaan anak. Oleh karena itu, kedua hal di atas butuh atensi sama. Tinggal sekarang bagaimana masing-masing menjalankan peran sesuai kapasitasnya. Dimulai dari Pemerintah. Boleh dibilang selama ini penanganan terkendala faktor sektoral antar instansi pemerintahan. Kebijakan dan regulasi di instansi kerap jalan sendiri-sendiri. Membuat koordinasi tidak optimal. Contoh paling nyata seperti persoalan data dan informasi kekerasan anak belum terintegrasi. Masing-masing instansi punya mekanisme dan desain. Selanjutnya, kesungguhan melaksanakan aturan ke tingkat tapak termasuk aspek ekonomi. Sehingga para orangtua dapat memenuni kebutuhan pangan, pendidikan dan kesehatan anaknya. Melihat pemberitaan belakangan cukup ironis. Di media sosial, netizen riuh merespon isu pemangkasan anggaran makan bergizi gratis menjadi Rp7500/anak. Malah ada membandingkan dengan anggaran makanan narapidana korupsi. Kalau benar adanya sungguh memilukan.
Terakhir dan paling penting peran lingkungan. Dalam hal ini keluarga dan lingkungan terdekat serta komunitas masyarakat dan swasta. Dalam konteks perlidungan, ketika komunitas sadar dan mawas ke lingkungannya niscaya akan membuat pelaku kejahatan menyasar anak berpikir dua kali. Toh CCTVnya warga. Mencuatnya kasus kekerasan ke anak, apapun itu bentuknya, dipicu absennya modal sosial yang selama ini bersemayam di tengah kita. Diakui atau tidak, keadaan sekarang jauh berbeda dibanding masa lalu. Saking kuatnya kepedulian, satu desa atau kelurahan bisa tahu si A anak siapa dan si B anak siapa. Sekarang cenderung individual. Begitupula halnya menyinggung tingginya angka kriminalitas usia anak-anak. Boleh jadi efek minimnya koreksi sosial. Dahulu kalau kita nakal, warga sekitar ikut menegur atau melaporkan tindak-tanduk kita ke orangtua. Boleh dibilang perilaku anak terpantau. Kini tak sama. Banyak penyebab terjadinya perubahan. Terkadang dilematis. Menasehati anak orang terbukti salah berujung masalah. Jangankan tetangga, guru saja mendisiplinkan bisa berujung sanksi dan hukuman. Dari pemaparan tergambar bahwa kepedulian negara dan soliditas masyarakat kunci utama pemenuhan hak anak. Selagi kolaborasi tidak terwujud selama itupula problematika sama terus berulang.
Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU