BerandaKabar TokohItikad Penuhi Kebutuhan Papan

Itikad Penuhi Kebutuhan Papan

spot_img

KABARLAH.COM, Pekanbaru – Beberapa waktu lalu Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Provinsi Riau bersama Pihak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau -dihadiri Biro Hukum Sekretariat Daerah dan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan- melakukan pembahasan usulan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) Provinsi Riau Tahun 2024-2043. Aturan turunan bentuk bentuk implementasi Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 12/2014 yang memberi kewenangan ke Pemerintah Daerah (Pemda) menyusun rencana di tingkat tapak. Tentu banyak asa dibalik kehadiran Ranperda diajukan oleh Pemprov tersebut. Paling pokok sebagai pedoman dan acuan penyusunan kebijakan penyelenggaraan pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) sesuai kondisi dan kebutuhan daerah serta mendorong pemenuhan kebutuhan PKP terintegrasi dan sistematis. Bicara rumah termasuk barometer kesejahteraan masyarakat. Disamping kebutuhan primer kayak sandang dan pangan, papan juga menempati skala prioritas. Sebagaimana amanah Pasal 28H Undang Undang Dasar (UUD) 1945 bahwa “Setiap orang berhak bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat…”.

Karena amanah konstitusi, sudah sepatutnya diusahakan. Setakad ini pencapaian belum optimal. Mengacu ke Data Susenas, angka backlog kepemilikan rumah di Indonesia tahun 2023 masih sebesar 13,56 persen atau sebanyak 9.905.820 rumah tangga. Walau turun dibanding tahun 2020, tetapi tetap memprihatinkan. Terlebih realita lapangan bisa saja lebih besar daripada angka atas kertas. Sekedar informasi, Kementerian PUPR mengartikan backlog yakni jumlah kebutuhan perumahan yang mesti dipenuhi di suatu kawasan atau wilayah tertentu. Dalam perspektif properti, backlog bermakna kondisi kesenjangan antara total hunian terbangun dengan jumlah rumah dibutuhkan masyarakat, termasuk angka rumah tidak layak huni. Keadaan semakin genting melihat demografi penduduk. Menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR, Iwan Suprijanto saat acara Gala Dinner Peringatan HUT REI ke 52 bertema “Propertinomic Untuk Indonesia Maju” di Nusa Tenggara Timur (27/4/2024), meroketnya harga rumah mempengaruhi daya jangkau kaum milenial. Populasi rentang usia tadi segmentasinya begitu luas dan tersebar di setiap kelas sosial. Jumlah mereka diperkirakan bisa mencapai sekitar 60 persen dari total populasi penduduk. Mirisnya, naiknya harga papan tak diiringi pendapatan. Sebagian besar bergaji UMR. Secara nominal tidak jauh berbeda dibanding beberapa dekade lalu. Jangankan terpikir memiliki rumah, alokasi pendapatan bisa-bisa habis penuhi kebutuhan pokok lain.

Keseriusan

Mengatasi backlog butuh keseriusan dan pendekatan terintegrasi dan menyeluruh. Kalau tidak ditangani serius akibatnya bisa fatal. Bertambahnya jumlah orang yang tak punya tempat tinggal atau tinggal di perumahan tidak layak. Krisis perumahan turut membawa dampak sosial dan ekonomi. Semisal masalah kesehatan, ketidakstabilan sosial dan terhambatnya pertumbuhan ekonomi nasional. Ke depan pencarian rumah bakal meningkat. Menimbang Indonesia memasuki bonus demografi. Maka pemenuhan perumahan PR inti. Persoalan kian kompleks asbab kemampuan membayar uang muka rumah. Apalagi lebih dari 50 persen kekurangan rumah di Indonesia berasal dari kelompok masyarakat berpenghasilan tidak tetap. Memang Pemerintah terus mengupayakan. Berdasarkan RPJMN 2020-2024, Pemerintah telah mencanangkan transformasi penanganan perumahan dan permukiman. Berfokus kepada metode slum upgrading, penataan permukiman kumuh dan ilegal dan penyediaan perumahan dan permukiman baru. Diantaranya program Satu Juta Rumah (PSR) berupa penyediaan rumah dan permukiman layak huni, aman dan terjangkau secara inklusif dan bertahap. Teruntuk tahun 2024, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khusus sektor perumahan rakyat/Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sebesar Rp 28,25 triliun. Diproyeksikan sebanyak 70 persen rumah tangga akan menempati hunian layak, baik melalui intervensi langsung maupun tidak langsung Pemerintah. Di level daerah, Pemprov Riau juga sudah mengalokasikan anggaran Rp 54,5 miliar guna membangun 707 Rumah Layak Huni (RLH) bagi keluarga miskin se-Riau. Berbentuk Bantuan Keuangan Khusus (BKK). Besarannya berbeda-beda setiap daerah atau disesuaikan jumlah RLH yang dibangun di masing-masing kabupaten/kota. Adapun pencairan bantuan RLH tergantung usulan masing-masing kabupaten/kota.

Balik ke Ranperda merupakan faktor kunci agenda pemenuhan perumahan. Mengacu ke sudut pandang Perkim diawali pertama, Perencanaan yang baik. Supaya langkah-langkah dapat tertata dan terpetakan. Perencanaan perumahan bukan jangka pendek, namun jangka panjang. Mengingat efeknya demikian masif. Selain membantu masyarakat memiliki rumah, multiplier effect-nya mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Kembali mengutip pernyataan Dirjen Perumahan Kemen PUPR, proyek perumahan mampu menggerakkan hingga 185 subsektor industri, seperti: material bahan bangunan, transportasi, jasa pembiayaan, furniture, perdagangan makanan dan seterusnya. Kedua, Investasi. Pemerintah dituntut komitmen mengalokasikan anggaran memadai membangun perumahan terjangkau. Ketiga, Kemitraan. Pemerintah tak bisa sendiri. Selaku regulator dan pengambil kebijakan mesti berkolaborasi. Dengan pengembang dan stakeholder demi mengakselerasi pengadaan rumah, serta melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengembangan. Pemberdayaan penting untuk memastikan perumahan dibangun sesuai kebutuhan. Sering ditemukan kasus, lokasi perumahan diusahakan Pemerintah kurang mempertimbangkan lokasi. Alhasil sudah dibangun sepi peminat bahkan terbengkalai. Inilah kenapa aspek keempat mesti dipenuhi: Pengembangan berkelanjutan. Perumahan mempertimbangkan dampak lingkungan dan pertumbuhan berkelanjutan. Salah satunya pendekatan Smart Growth. Mengkombinasikan pembangunan infrastruktur transportasi, perumahan dan sektor usaha. Sehingga mendukung mobilitas pekerja. Pendayagunaan lahan sekitar simpul transportasi publik sangat membantu masyarakat berpenghasilan rendah dan mobilitas tinggi.

Akhir tulisan, paradigma penyediaan rumah harus berorientasi membantu kesejahteraan masyarakat. Bukan malah membebani. Ribut-ribut iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) paska Presiden Joko Widodo meneken PP 21/2024 seharusnya tak terjadi. Pangkal perkaranya serupa lima tahun lalu, kala Pemerintah mewajibkan peserta Tapera dari kelompok pekerja berpenghasilan sama atau lebih dari upah minimum membayar iuran bulanan sebesar 3 persen dari pendapatan. Wajar kiranya Buruh menolak pendapatannya dipangkas demi penyediaan rumah yang idealnya tugas negara. Konsep “gotong-royong” ditawarkan Tapera sepintas terdengar mulia. Akan tetapi di sisi lain Pemerintah salah langkah menangani defisit perumahan. Ketersediaan pembiayaan bukan solusi utama atasi defisit perumahan. Nyatanya, ratusan triliun rupiah yang telah digelontorkan ke beragam bentuk anggaran subsidi pembiayaan perumahan selama ini justru tak signifikan menekan backlog. Sebagai negara berazas Pancasila semestinya malu dengan Korea Utara (Korut). Diberitakan, Pemerintah Korut menuntaskan 50 ribu hunian sejak tahun 2021 dan ditargetkan rampung 2026. Hebatnya proyek tanpa memungut iuran dari gaji warga layaknya program Tapera. Sungguh paradoks.

Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA BAPEMPERDA DPRD PROVINSI RIAU

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

WAJIB DIBACA

spot_img