KABARLAH.COM – “Pertolongan Allah sangat dekat—maka segera kita laksanakan agar dimampukan menolong negeri ini” (Surah Al-Balad)
Ada kalimat yang terdengar seperti seruan singkat, tetapi sesungguhnya ia adalah peta jalan ruhani dan peta kerja peradaban: “Pertolongan Allah sangat dekat—maka segera kita laksanakan agar dimampukan menolong negeri ini.” Ketika kalimat ini ditimbang dengan Surah Al-Balad (QS 90), ia bukan sekadar optimisme; ia adalah teologi tindakan: Allah dekat, tetapi kedekatan itu menuntut langkah. Allah menolong, tetapi pertolongan itu berjalan melalui “jalan terjal” yang bersifat nyata—bukan hanya doa yang diucapkan, melainkan amal yang dilakukan.
Surah Al-Balad sejak awal menegakkan realisme iman: hidup bukan taman tanpa luka. Allah berfirman bahwa manusia diciptakan dalam kabad—dalam susah payah, kepayahan, dan beban-beban yang melelahkan. Maka, beratnya perjuangan bukan tanda Allah menjauh; ia justru bagian dari desain dunia. Di sinilah letak kedewasaan spiritual: orang beriman tidak mengukur kedekatan Allah dari “ringannya jalan”, melainkan dari taufik untuk tetap lurus di tengah beratnya jalan. Jika kita menunggu kondisi ideal baru bergerak, kita akan menunda selamanya. Sebab dunia memang kabad.
Kalimat “pertolongan Allah sangat dekat” (secara populis) adalah obat bagi jiwa yang mudah padam. Ia mengingatkan bahwa Allah tidak menutup pintu, tidak membiarkan hamba-Nya sendirian, dan tidak menelantarkan gerak yang benar. Namun, “dekat” bukan berarti “tanpa biaya”. Sering kali pertolongan Allah datang bukan dengan menghapus kesulitan, tetapi dengan menguatkan punggung agar sanggup memikulnya; bukan dengan memendekkan pendakian, tetapi dengan menyalakan tentang keberanian untuk mendakinya. Allah dekat melalui ilmu yang menuntun, teman shalih yang meneguhkan, ide yang dibukakan, pintu yang tak disangka terbuka—dan terutama melalui keteguhan batin yang membuat seseorang tidak runtuh.
Lalu frasa “maka segera kita laksanakan” adalah tamparan bagi mental menunggu. Al-Balad menggugat manusia yang suka merasa mampu, merasa “tak ada yang mengawasi,” lalu menghabiskan energi pada kebanggaan diri. Surah ini seakan berkata: bila engkau ingin keselamatan dan ingin menjadi rahmat, jangan terjebak pada ego; tempuhlah al-‘aqabah. Dan Al-Qur’an bertanya tajam: “Maka mengapa dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?” Pertanyaan ini bukan untuk menambah rasa bersalah, tetapi untuk membongkar kebiasaan batin yang suka “pilih mudah”: mudah bicara, sulit berkorban; mudah mengkritik, sulit melayani; mudah menilai, sulit mengulurkan tangan.
Di titik ini, makna akademiknya jelas: Al-Balad tidak membiarkan “perbaikan negeri” menjadi slogan. Ia mengubahnya menjadi program moral-sosial yang sangat konkret. Allah menjelaskan apa itu ‘aqabah: membebaskan beban manusia, memberi makan saat kelaparan, menyantuni yatim yang dekat, menolong miskin yang sangat papa—lalu menutupnya dengan fondasi gerakan: iman, saling menasihati dalam sabar, dan saling menasihati dalam kasih sayang. Ini penting: Al-Qur’an mengikat peradaban dengan dua pilar yang sering dipisahkan manusia—spiritualitas dan intervensi sosial. Tanpa spiritualitas, pelayanan berubah menjadi proyek ego. Tanpa pelayanan, spiritualitas berubah menjadi kesalehan yang tidak membumi.
Maka frasa “agar dimampukan menolong negeri ini” bukan sekadar retorika nasionalisme religius. Dalam bahasa Al-Balad, menolong negeri berarti menolong manusia dari kelaparan, ketertindasan, keterlantaran, dan keputusasaan—dengan kerja yang sabar dan hati yang penuh rahmah. Di sini kita mengerti: negeri tidak semata “tanah dan batas”, tetapi jaringan manusia yang hidup di dalamnya. Jika rakyat lapar, negeri sakit. Jika keluarga rapuh, negeri lemah. Jika anak-anak tercerabut dari pendidikan dan adab, negeri kehilangan masa depan. Maka “menolong negeri” adalah kerja yang menyentuh akar.
Secara filosofis, ungkapan ini membalik cara berpikir kita tentang pertolongan. Pertolongan Allah bukan hanya hasil yang turun setelah semua sempurna, tetapi proses pembentukan manusia. Allah menolong dengan cara menjadikan kita sanggup menolong. Di situlah “pertolongan dekat” menjadi rahasia: ia hadir ketika kita melampaui batas ego dan memasuki wilayah pengorbanan. Al-Balad menutup jalannya dengan “sabar” dan “marhamah”: sebab peradaban yang tidak sabar akan mudah brutal, dan perjuangan yang tidak berkasih akan mudah zalim.
Jika ungkapan ini dijadikan slogan gerakan, maka ukurnya bukan seberapa indah kalimatnya, tetapi seberapa nyata “aqabah” dijalankan: adakah pembebasan beban? adakah pangan bagi yang lapar? adakah perlindungan bagi yatim dan miskin? adakah sistem kerja yang amanah? adakah budaya sabar dan kasih sayang yang hidup? Jika jawaban-jawaban ini ada, maka kita tidak sekadar berkata “pertolongan Allah dekat”—kita sedang membuka pintu pertolongan itu.
Pada akhirnya, Al-Balad mengajari kita sebuah keberanian halus: jangan minta negeri berubah jika kita belum siap menempuh tebing moral. Sebab tebing itulah yang mengubah manusia. Dan ketika manusia berubah—di hati, di akhlak, di ilmu, di kerja—negeri ikut berubah. Di sanalah kalimat ini menemukan maknanya yang paling dalam:
Pertolongan Allah dekat, ketika kita berani segera melaksanakan ‘aqabah’—dan dari tangan-tangan itulah Allah memampukan negeri ini tertolong.
Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.



