BerandaInspirasiNasehatAmanah, Adil, Rukun, Menjaga Alam, Jalan Keberkahan Negeri

Amanah, Adil, Rukun, Menjaga Alam, Jalan Keberkahan Negeri

spot_img

KABARLAH.COM, Pekanbaru – Ada ayat-ayat yang bila dibaca dalam sunyi, ia menyalakan lampu di dalam dada; bila dibaca dalam hiruk-pikuk sosial, ia menjadi kompas bagi sebuah negeri. Rangkaian amanat ini—amanah, adil, rukun, musyawarah, gotong royong, menjaga alam, dan kepemimpinan sebagai pertanggungjawaban—bukan sekadar “program moral”, melainkan struktur ruhani yang membentuk peradaban.

“Negeri itu kuat kalau bisa dipercaya”

Kalau kita sederhanakan, inti tadabbur ini begini: kejujuran itu pondasi, keadilan itu tiang, persatuan itu napas. Bila pondasi retak, rumah goyang. Bila tiang miring, rumah runtuh. Bila napas sesak, rumah hidupnya tak tenang.

QS. An-Nisā’ 4:58 memerintahkan agar amanah ditunaikan kepada yang berhak. Dalam bahasa rakyat: jangan maling amanah, jangan memutar-mutar kepercayaan. Amanah itu bukan hanya soal uang, tetapi juga ucapan, jabatan, dan keputusan. Lalu QS. Al-Mā’idah 5:8 menegaskan adil itu lebih dekat kepada takwa. Dalam bahasa sederhana: kalau sudah berkuasa, jangan zalim; kalau berbeda, jangan memusuhi. Persatuan (QS. Āli ‘Imrān 3:103) bukan berarti semua sama, tetapi semua terikat oleh satu tali: adab, kasih sayang, dan tujuan mulia. Dan ketika masalah muncul, Al-Qur’an tidak menyuruh kita meledak-ledak; ia mengarahkan ke musyawarah (QS. Asy-Syūrā 42:38): duduk, dengar, timbang, ambil keputusan dengan maslahat.

Di atas semuanya, Al-Qur’an mengingatkan: jangan merusak bumi (QS. Al-A‘rāf 7:56). Dalam bahasa populis: kalau kita rakus, anak-cucu yang menangis. Terakhir, hadits Bukhari-Muslim mengunci tanggung jawab: setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban. Artinya: tidak ada jabatan yang bebas hisab.

Etika Qur’ani sebagai “arsitektur tata kelola”

Jika dibaca secara akademik, nilai-nilai ini adalah kerangka governance: trust, justice, cohesion, deliberation, social capital, sustainability, accountability. Amanah (4:58) adalah fondasi legitimasi dan kepercayaan publik—tanpa amanah, sistem berubah menjadi transaksi gelap. Keadilan (5:8) adalah mekanisme stabilisasi: mengurangi ketimpangan, mencegah konflik, menutup ruang kebencian struktural. Persatuan (3:103) adalah modal kohesi sosial: memperkecil biaya konflik, memperbesar energi kolaborasi. Musyawarah (42:38) adalah metode pengambilan keputusan kolektif yang beradab—bukan sekadar suara mayoritas, melainkan proses pertimbangan yang melahirkan kepemilikan bersama atas keputusan.

Ta‘āwun (5:2) menjadi basis gotong royong—social capital—yang mempercepat pemulihan ketika terjadi krisis. Larangan merusak bumi (7:56) adalah prinsip keberlanjutan: alam bukan objek eksploitasi, tetapi amanah yang harus dijaga agar pembangunan tidak menjadi bunuh diri ekologis. Dan hadits pertanggungjawaban menegaskan akuntabilitas personal: pemimpin tidak hanya diawasi manusia, tetapi juga disiapkan untuk audit Ilahi.

Maka “program” dalam dokumen Anda bukan tempelan, tetapi turunan metodologis dari nilai-nilai tersebut: integritas 30 hari (internalisasi amanah), forum musyawarah bulanan (institusionalisasi syūrā), satu rumah satu amal sosial (penguatan ta‘āwun), audit dana (kejujuran muamalah—spirit QS. 17:35), sekolah adab publik dan anti-fitnah (QS. 49:6 dan 49:11–12), ketahanan pangan (pelajaran manajemen krisis dari kisah Yusuf), “sasi modern” (model keberlanjutan yang sejalan dengan laranganpp kerusakan), ekonomi gotong royong (pemerataan—spirit QS. 59:7), keamanan berbasis warga (islah—QS. 49:9–10), dan dashboard evaluasi (muhasabah—spirit QS. 59:18).

Dari “jiwa” ke “sistem”, dari “ruh” ke “sejarah”

Secara filosofis, amanat ini mengajarkan bahwa peradaban lahir dari keadaan batin yang menjadi budaya, lalu menjadi sistem. Amanah adalah keadaan jiwa yang jernih: hati tidak bercabang antara yang benar dan yang menguntungkan. Keadilan adalah keseimbangan: menempatkan sesuatu pada tempatnya—hak pada pemiliknya, hukuman pada pelanggaran, kasih sayang pada yang lemah. Persatuan adalah kesadaran eksistensial: kita berbeda wujud, tetapi satu nasib; kita bervariasi jalan, tetapi satu rumah. Musyawarah adalah pengakuan bahwa kebenaran sosial sering lahir dari pertemuan akal yang rendah hati—bukan dari ego yang menang sendiri. Gotong royong adalah cinta yang bergerak: kasih yang turun menjadi kerja.

Menjaga alam adalah tadabbur paling nyata: bumi bukan hanya tempat berdiri, tetapi “ayat” yang harus dibaca. Ketika manusia kufur nikmat, ia tidak sekadar berdosa secara pribadi; ia merusak harmoni kosmik: air tercemar, tanah lelah, udara sakit. Maka larangan merusak bumi bukan moral tambahan; ia inti dari amanah kekhalifahan. Dan kepemimpinan sebagai pertanggungjawaban adalah puncak filsafat amanah: manusia bukan pemilik mutlak; ia pengelola sementara yang kelak ditanya.

“Keberkahan adalah buah dari adab”

Keberkahan negeri tidak jatuh dari langit tanpa sebab. Ia datang ketika nilai Qur’ani menjadi perilaku, perilaku menjadi budaya, budaya menjadi sistem. Program IPOLEKSOSBUD HANKAM dalam bingkai amanat leluhur—yang selaras dengan Islam—adalah upaya menjembatani ruh dan realitas: dari masjid ke pasar, dari keluarga ke kebijakan, dari niat ke tata kelola. Maka tadabbur ini berujung pada satu doa sekaligus tekad:
Ya Allah, jadikan kami amanah, adil, rukun; ajari kami bermusyawarah dan saling menolong; jauhkan kami dari merusak bumi; dan kuatkan pemimpin-pemimpin kami untuk takut kepada-Mu sebelum mereka ditanya di hadapan-Mu. Aamiin.

Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

WAJIB DIBACA

spot_img