KABARLAH.COM – “اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ ١٨
yâ ayyuhalladzîna âmanuttaqullâha waltandhur nafsum mâ qaddamat lighad, wattaqullâh, innallâha khabîrum bimâ ta‘malûn.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”
Ada ayat yang bunyinya seperti nasihat, tetapi sebenarnya ia adalah peta hidup. QS. Al-Ḥasyr (59): 18 memanggil orang beriman bukan untuk sekadar merasa religius, melainkan untuk menjadi manusia yang sadar arah: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang ia persiapkan untuk esok. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.”
Jika dunia adalah perjalanan, ayat ini adalah perintah untuk berhenti sejenak—membuka peta—lalu memastikan kita tidak berjalan cepat ke arah yang salah.
“Wahai orang beriman”: iman bukan status, tetapi kesadaran
Panggilan “yā ayyuhalladzīna āmanū” bukan sekadar sapaan, tetapi semacam pengingat identitas batin: iman itu komitmen, bukan label. Banyak orang merasa aman karena nama, komunitas, atau kebiasaan—padahal iman yang benar selalu melahirkan dua hal: takwa dan muhasabah. Takwa menata relasi kita dengan Allah; muhasabah menata relasi kita dengan diri sendiri. Tanpa dua ini, iman mudah berubah menjadi “perasaan aman” yang tidak menghasilkan perubahan.
Dalam bahasa populis: ayat ini seperti Allah menahan bahu kita sambil berkata, “Jangan hidup seperti orang yang berjalan sambil tidur.” Ada yang bergerak sibuk, tetapi tidak pernah mengecek tujuan. Ada yang rajin, tetapi tidak pernah mengaudit niat. Ada yang beramal, tetapi tidak pernah menilai: amal ini benar-benar “terkirim” atau hanya berputar di dunia?
“Bertakwalah… bertakwalah”: dua kali, dua gerak
Secara akademik, pengulangan “ittaqullāh” bukan sekadar gaya bahasa; ia menegaskan bahwa takwa bukan satu langkah, tetapi dua gerak yang saling mengunci. Banyak ulama menafsirkan: takwa pertama mengarah pada pembersihan masa lalu (taubat, menutup dosa, memperbaiki yang rusak), sedangkan takwa kedua mengarah pada penjagaan masa depan (menutup pintu maksiat, menjaga batas, istiqamah). Ini seperti seseorang yang membersihkan rumah (masa lalu) lalu memasang pagar dan kunci (masa depan).
Dua takwa ini penting karena manusia sering hanya memilih salah satunya: ada yang menyesal berkali-kali tetapi tidak membuat sistem pencegahan; ada pula yang disiplin tampak luar tetapi memendam dosa-dosa lama tanpa taubat. Al-Qur’an mengajari keseimbangan: bersihkan dan jaga.
“Lighad”: akhirat disebut “esok” agar terasa dekat
Kata kunci ayat ini adalah “لِغَدٍ”—untuk esok. Secara tafsir, “ghad” adalah Hari Kiamat dan perjumpaan dengan Allah. Tetapi mengapa disebut “esok”? Ini bukan pilihan kata biasa. Ini cara Al-Qur’an meruntuhkan ilusi jarak. Manusia menunda karena mengira akhirat “nanti sekali.” Al-Qur’an menyebutnya “esok” agar jiwa merasakan kedekatan: kematian bisa datang kapan saja, dan ‘esok’ bisa lebih dekat daripada rencana kita.
Di sinilah ayat ini menjadi filosofis: manusia selalu hidup di masa kini, tetapi arah hidupnya ditentukan oleh masa depan yang ia yakini. Orang yang yakin “esok” (akhirat) nyata akan mengatur “hari ini” dengan serius. Sebaliknya, orang yang mengaburkan “esok” akan menjalani “hari ini” tanpa batas.
Muhasabah: metode Qur’ani untuk melawan “lupa diri”
Kalimat “waltanẓur nafsun…” mengajarkan metode: setiap jiwa harus memeriksa apa yang ia kirim. Ini bukan sekadar introspeksi psikologis; ini audit spiritual. Dalam bahasa sederhana: hidup ini seperti layanan pengiriman. Setiap amal adalah paket. Ada paket shalat yang dijaga, ada paket amanah yang ditunaikan, ada paket sedekah yang sunyi, ada paket lisan yang ditahan, dan—na‘ūdzu billāh—ada paket dosa yang dibungkus alasan. Ayat ini mengajak kita menengok daftar kiriman: “Hari ini aku mengirim apa?”
Dan penutup ayat menjadi pagar moral: “Allah khabīr.” Allah bukan hanya tahu “yang terlihat”; Allah tahu detail, niat, motif, dan kelicikan batin. Ini meruntuhkan dua penyakit besar:
riya’: beramal untuk pandangan manusia,
taswīf: menunda taubat dengan alasan “nanti.”
Makna batin: akhirat harus “hadir” di keputusan harian
Secara ruhani, ayat ini adalah resep melawan tragedi eksistensial: lupa Allah → lupa tujuan → lupa diri. Ayat sesudahnya mengunci: jangan seperti orang yang lupa Allah, lalu Allah jadikan mereka lupa diri. Lupa diri di sini bukan amnesia biasa, melainkan hilangnya kesadaran tentang siapa kita, untuk apa hidup, dan ke mana pulang. Orang bisa berpendidikan tinggi, tetapi lupa diri; bisa sukses, tetapi lupa diri; bisa aktif, tetapi lupa diri. Karena ia tidak pernah memeriksa “bekal untuk esok”.
Maka muhasabah bukan pesimisme. Muhasabah adalah akal sehat. Ia seperti kompas: membuat kita tidak tersesat oleh kesibukan yang tampak baik, tetapi kosong dari keikhlasan.
Jembatan tarbiyah: iman yang operasional
Dalam corak tarbiyah seperti yang sering ditekankan oleh Syekh Sa‘īd Ḥawwā, ayat ini bisa dibaca sebagai “program pembinaan”: takwa harus menjadi operasional—terukur dalam disiplin ibadah, akhlak, dan pengendalian nafs. Sedangkan dalam napas tasawwuf Sunni (selaras dengan orientasi Syekh ‘Abdul Ḥalīm Maḥmūd), ayat ini adalah pintu “asrār al-‘ibādāt”: amal bukan sekadar bentuk, tetapi sarana penyucian. Dan dalam garis tazkiyah berdisiplin yang sering ditekankan oleh Syekh Ramadhān al-Būṭī, muhasabah harus diikat pada ilmu dan adab: taubat yang benar, akhlak yang nyata, amal yang bersih dari kebohongan batin.
Akhiran: jadikan muhasabah sebagai budaya, bukan momen darurat
Ayat ini tidak menunggu kita jatuh dulu baru sadar. Ia mengajarkan budaya: setiap hari cek bekal. Karena yang merusak bukan hanya dosa besar, tetapi dosa kecil yang dibiarkan, dan amal baik yang dibocorkan niatnya.
Praktik singkat (3 langkah):
- Malam: tulis 1 dosa yang ditutup taubat + 1 amal pengganti.
- Pagi: niatkan 1 target takwa yang konkret (shalat tepat waktu / tahan lisan / amanah).
- Siang: kirim 1 “paket nyata” (sedekah kecil/menolong tanpa nama).
Jika ayat ini terasa tegas, itu rahmat: karena Allah sedang mengajari orang beriman cara hidup yang tidak tertipu oleh “hari ini”—karena ia sedang menyiapkan “esok” mulai sekarang.
Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.



