BerandaInspirasiNasehatTadabbur QS Al Fath (48): 10, Bai‘at sebagai Akad Iman: Tangan Allah...

Tadabbur QS Al Fath (48): 10, Bai‘at sebagai Akad Iman: Tangan Allah di atas Tangan Mereka

spot_img

KABARLAH.COM – “إِنَّ ٱلَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ ٱللَّهَ يَدُ ٱللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَىٰ نَفْسِهِۦ ۖ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِمَا عَٰهَدَ عَلَيْهُ ٱللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

Innallażīna yubāyi’ụnaka innamā yubāyi’ụnallāh, yadullāhi fauqa aidīhim, fa man nakaṡa fa innamā yangkuṡu ‘alā nafsih, wa man aufā bimā ‘āhada ‘alaihullāha fa sayu`tīhi ajran ‘aẓīmā

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar”

Ada momen dalam hidup ketika manusia tidak lagi sekadar “setuju” dalam hati, tetapi mengikat dirinya dalam sebuah akad. QS. Al-Fatḥ: 10 mengajak kita menatap akad paling agung dalam sejarah umat: bai‘at para sahabat kepada Nabi ﷺ—yang di mata langit bukan sekadar “sumpah setia kepada pemimpin”, melainkan janji kepada Allah. Ayat ini membangun kesadaran bahwa iman bukan hanya rasa, bukan hanya slogan, bukan hanya identitas; iman adalah komitmen yang menuntut kesetiaan.

Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang berbai‘at kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka berbai‘at kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Maka siapa yang melanggar, sesungguhnya ia melanggar atas dirinya sendiri. Dan siapa yang memenuhi apa yang ia janjikan kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” Dalam satu ayat, Allah mengajarkan tiga hal: hakikat bai‘at, bahaya mengkhianati, dan kemuliaan menepati.

Bai‘at: bukan kontrak sosial, tapi akad iman

Ayat ini menegakkan sebuah kaidah yang menggetarkan: ketika orang beriman berjanji setia kepada Rasulullah ﷺ dalam ketaatan dan perjuangan, itu bukan kontrak biasa—itu akad dengan Allah. Mengapa? Karena Nabi ﷺ tidak meminta loyalitas untuk dirinya. Beliau bukan “raja yang menagih kesetiaan”, melainkan Rasul yang mengikat umat pada kebenaran yang Allah turunkan. Maka bai‘at kepada beliau hakikatnya bai‘at kepada Allah—sebab isi bai‘at adalah taat kepada perintah Allah, berjalan di jalan Allah, dan menanggung konsekuensinya dengan ridha.

Di sinilah letak keindahan “innamā” dalam ayat ini: ia membatasi dan menegaskan. Seolah Allah berkata, “Jangan salah paham: yang kalian pegang tangan itu Muhammad, tetapi yang kalian ikat janji itu Allah.” Ini mengangkat bai‘at dari level politik menjadi level ibadah; dari level organisasi menjadi level ruhani; dari level formalitas menjadi level amanah.

“Tangan Allah di atas tangan mereka”: murāqabah dan pertolongan

Kalimat “yadullāh fawqa aydīhim” memberi rasa yang dalam: Allah menyaksikan, menguatkan, menaungi, dan mengukuhkan bai‘at itu. Dalam manhaj Ahlus Sunnah, kita menetapkan apa yang Allah tetapkan tanpa menyerupakan Allah dengan makhluk dan tanpa membayangkan bagaimana. Secara makna, banyak ulama menjelaskan ini sebagai isyarat kekuasaan dan pertolongan Allah—bahwa bai‘at itu tidak berdiri di atas “kekuatan manusia”, melainkan di bawah pengawasan dan dukungan Rabb.

Secara batin, ini melahirkan murāqabah: saat lisan berjanji, saat tangan berjabat, saat hati mengucap “siap”, ada penglihatan Allah yang menaungi. Maka seorang mukmin tidak berani bermain-main dengan komitmen. Sebab komitmen itu bukan sekadar dinilai manusia, tetapi ditimbang Allah.

Dan inilah salah satu penyakit zaman: banyak orang mudah berjanji karena ia mengira janji itu hanya urusan citra. Ia lupa bahwa janji yang diucapkan atas nama kebenaran adalah janji yang akan dimintai pertanggungjawaban. Ayat ini memotong kelicinan rohani: “Jangan jadikan agama sebagai alat retorika; jadikan agama sebagai akad hidup.”

“Siapa yang nakats(a): ia merobek dirinya sendiri”

Ayat ini memberi peringatan yang sangat adil: “Siapa yang mengkhianati, ia mengkhianati atas dirinya sendiri.” Allah tidak mengatakan “ia merugikan Rasul”, atau “ia merugikan jamaah” terlebih dahulu, meski itu bisa terjadi. Allah langsung menuju inti: pengkhianatan itu pertama-tama menghancurkan pelakunya.

Secara psikologis, mengkhianati janji adalah memecah jiwa. Manusia yang berjanji lalu mengingkari, perlahan kehilangan rasa aman dalam dirinya: ia tahu ia bisa mengkhianati; dan siapa yang bisa mengkhianati, akan hidup dalam ketakutan bahwa ia pun bisa dikhianati. Secara ruhani, pengkhianatan menumpulkan hati: doa menjadi berat, ibadah kehilangan rasa, dan barakah berkurang. Ia mungkin tetap berjalan, tetapi langkahnya tidak lagi utuh; ia terbagi antara yang benar dan yang diinginkan nafsu.

Dalam tazkiyah, “nakth” sering terjadi dengan cara yang halus: bukan selalu keluar dari kebenaran secara terang-terangan, tetapi merobek niat. Dulu berjanji karena Allah, lalu berjalan karena pujian. Dulu setia pada prinsip, lalu setia pada kepentingan. Dulu siap menanggung konsekuensi, lalu mencari alasan untuk lari. Inilah pengkhianatan yang paling licin: tampak “masih di dalam barisan”, tetapi hati sudah berpaling.

“Siapa yang wafa’: pahala besar dan ketenangan besar”

Sebaliknya, Allah menjanjikan “ajr ‘aẓīm” bagi yang menepati. Pahala besar tentu di akhirat—tetapi ada “pahala sekarang” yang sering diabaikan: ketenangan orang yang utuh. Orang yang menepati janji tidak bermuka dua. Ia tidak perlu menyusun cerita. Ia tidak perlu berputar-putar membela diri. Ia ringan karena jujur; ia stabil karena istiqamah.

Ayat ini mengajari kita bahwa kemuliaan manusia bukan sekadar punya iman, tetapi punya wafā’—kesetiaan pada konsekuensi iman. Sebab peradaban tidak dibangun oleh orang yang “pandai bicara”, melainkan oleh orang yang “bisa dipercaya”. Dan kepercayaan lahir dari satu hal: kesetiaan pada janji.

Bai‘at hari ini: akad batin yang ditunaikan lewat amanah kecil

Bai‘at terbesar hari ini tidak selalu berupa jabat tangan di bawah pohon. Bai‘at hari ini sering berupa akad batin yang sederhana namun menentukan:
“Ya Allah, aku setia pada yang halal meski pelan.”
“Ya Allah, aku akan jujur meski rugi.”
“Ya Allah, aku tidak menjual agama demi gengsi dan sorotan.”

Lalu akad itu diuji bukan pada panggung besar, tetapi pada amanah kecil: menepati waktu, menjaga janji, tidak memelintir fakta, tidak mengkhianati titipan, tidak bermain dua wajah, tidak memanfaatkan agama untuk memukul lawan. Ayat ini seakan berkata: jika engkau kuat di amanah kecil, engkau sedang menepati akad besar.

Akhiran: tangan manusia berjabat, Allah yang menilai

QS. 48:10 mengikat langit dan bumi: tangan manusia berjabat, tetapi Allah menilai; lisan berjanji, tetapi Allah menyaksikan; langkah berkomitmen, tetapi Allah yang menguatkan. Karena itu, doa paling tepat setelah tadabbur ayat ini adalah doa orang yang takut jatuh pada “nakth” dan rindu pada “wafā’”:

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْ أَهْلِ الْوَفَاءِ
“Ya Allah, jadikan kami أهل الوفاء—orang-orang yang menepati janji.”

Sebab di hadapan Allah, bukan seberapa lantang kita berkata “kami siap”, tetapi seberapa jujur kita bertahan saat janji itu menuntut pengorbanan.

Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

WAJIB DIBACA

spot_img