BerandaInspirasiNasehatTadabbur QS Sad (38): 20,Kekuatan yang Dijaga, Hikmah yang Menuntun, Ucapan yang...

Tadabbur QS Sad (38): 20,Kekuatan yang Dijaga, Hikmah yang Menuntun, Ucapan yang Memutus

spot_img

KABARLAH.COM, Pekanbaru – Allah berfirman tentang Nabi Dāwūd ‘alaihissalām:

وَشَدَدْنَا مُلْكَهُ وَآتَيْنَاهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْلَ الْخِطَابِ
Wa syadadnā mulkahū wa ātaynāhul-ḥikmata wa faṣlal-khiṭāb
“Kami kuatkan kerajaannya; Kami berikan hikmah; dan kemampuan faṣl al-khiṭāb.”

Ayat ini pendek, tetapi seperti “tiga pilar” kepemimpinan Qur’ani. Ia berbicara tentang negara, tetapi juga berbicara tentang jiwa. Ia memuji Dāwūd dengan karunia besar, lalu (dalam rangkaian ayat setelahnya) menggiring pembaca pada pesan sunyi: karunia yang paling mulia adalah yang paling berat amanahnya. Karena kekuasaan bisa menjadi pintu syukur—atau pintu jatuh, bila nafs mendapat ruang.

Populis: Tiga hadiah, tiga tanggung jawab

Pertama, “Kami kuatkan kerajaannya.” Dalam bahasa umat: Allah menguatkan wibawa, stabilitas, keamanan, dan daya tata kelola. Kerajaan kuat bukan semata luas wilayah, tetapi kuat melindungi rakyat dari ketakutan dan ketidakpastian.

Kedua, “Kami berikan hikmah.” Hikmah bukan hanya kecerdasan; ia gabungan ilmu, kejernihan hati, dan ketepatan menaruh sesuatu pada tempatnya. Dalam tafsir, “hikmah” ditafsirkan beragam: ada yang memaknainya kenabian, ilmu, dan keadilan—intinya kompetensi moral-intelektual untuk memimpin.

Ketiga, “faṣl al-khiṭāb.” Ini frasa yang terasa “diplomatik”: kemampuan memisahkan yang campur-aduk menjadi jelas; menutup pintu manipulasi; memutus perkara dengan tegas namun adil. Dalam sebagian penjelasan tafsir, ia terkait kemampuan menyelesaikan sengketa dan membuat keputusan yang rapi.

Pesannya sederhana tapi tajam: kekuatan tanpa hikmah melahirkan keras; hikmah tanpa ketegasan melahirkan ragu; yang Qur’ani ialah kekuatan yang dipandu hikmah dan diwujudkan dalam keputusan yang adil.

Akademik: Fondasi fiqh peradilan dan tata kelola

Dari sisi akademik, ayat ini dapat dibaca sebagai ringkasan dua disiplin besar: fiqh al-qaḍā’ (etika peradilan) dan siyāsah syar‘iyyah (tata kelola bernilai syariat). “Mulk” yang dikokohkan adalah legitimasi dan kemampuan menjalankan fungsi negara; “hikmah” adalah kapasitas epistemik—ilmu, wawasan, dan kebijaksanaan; sedangkan “faṣl al-khiṭāb” adalah kapasitas prosedural—kemampuan menutup perkara dengan standar kebenaran.

Menariknya, sebagian literatur tafsir menyinggung bahwa Dāwūd memiliki kemampuan orasi yang kuat, termasuk tradisi “ammā ba‘d” dalam khutbah; namun penekanan yang lebih luas tetap pada kemampuan menyelesaikan sengketa dan memutus perkara.

Di sini Qur’an mengajari sesuatu yang sering hilang dari politik modern: keputusan bukan sekadar “cepat”, tetapi “sahih”—berbasis ilmu, bebas dari hawa, dan punya pertanggungjawaban moral.

Batin: Kerajaan yang paling sulit adalah kerajaan atas diri

Pada lapisan batin, ayat ini seperti cermin tazkiyah bagi siapa pun yang diberi kuasa—di rumah, di lembaga, di mimbar, di negara.

“Syadadnā mulkahū” bisa dibaca sebagai: Allah menguatkan “kerajaan batin”—keteguhan jiwa, kemampuan mengendalikan impuls, dan daya tahan dari godaan.

“Ātaynāhul-ḥikmah” menjadi cahaya yang menundukkan ego: pemimpin tidak lagi dikemudikan gengsi, tetapi dikemudikan kebenaran.

“Faṣl al-khiṭāb” pada tingkat hati adalah kemampuan memilah: mana suara nafs, mana tuntunan haq; mana emosi sesaat, mana keputusan adil.

Bila batin tidak dilatih, “faṣl” berubah menjadi “fasl”: memutus orang, memutus silaturahim, memutus hak. Karena itu, Qur’an sering memasangkan pujian kepemimpinan dengan peringatan agar tidak mengikuti hawa (dalam rangkaian kisah Dāwūd setelahnya). Intinya: ketegasan yang paling mulia adalah ketegasan terhadap diri sendiri sebelum tegas kepada orang lain.

Filosofis: Etika kekuasaan untuk ruang publik global

Secara filosofis, ayat ini membangun “trinitas” etika publik:

Pertama. Power (kekuatan): negara/komunitas butuh daya menegakkan keamanan dan ketertiban.

Kedua. Wisdom (hikmah): agar power tidak jadi tirani, ia harus dipandu ilmu dan kebeningan moral.

Ketiga. Decisive judgment (faṣl al-khiṭāb): agar hikmah tidak menjadi wacana, ia harus menjelma putusan yang jelas, prosedural, dan adil.

Dalam bahasa diplomasi internasional, ini adalah latihan clarity, procedural justice, restrained power: jernih menyatakan isu, adil menimbang bukti, dan tegas tanpa kebrutalan.

Dalil hadits sahih: Dāwūd kuat karena ibadah, dan hakim adil tetap berpahala

Dua hadits sahih memberi “penopang sunnah” bagi ayat ini.

Pertama, profil ibadah Dāwūd: Nabi ﷺ menyebut puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Dāwūd (selang-seling), dan shalat malamnya penuh disiplin. Ini menegaskan: kerajaan yang kuat bersumber dari batin yang taat, bukan dari otot kekuasaan semata.

Kedua, prinsip peradilan: bila hakim berijtihad sungguh-sungguh lalu benar, ia mendapat dua pahala; bila keliru, satu pahala. Ini memberi etika penting: keputusan publik harus lahir dari ijtihad yang jujur, bukan dari kepentingan yang licik.

Sentuhan ulama kontemporer: tarbiyah, ruhiyah, dan kehati-hatian sumber

Dalam tradisi kontemporer, tafsir Sa‘īd Ḥawwā dikenal memadukan munāsabah, tarbiyah, dan kecenderungan spiritual—membaca Al-Qur’an untuk membangun manusia, bukan sekadar menambah informasi. Itu sejalan dengan ayat ini: kepemimpinan adalah proyek pembentukan insan adil.

Akhiran : QS 38:20 mengajari kita bahwa kepemimpinan bukan soal “punya kuasa”, tetapi punya kendali diri; bukan soal “pandai bicara”, tetapi mampu memutus dengan adil.

Kekuasaan yang paling indah adalah yang menguatkan manusia, hikmah yang paling mulia adalah yang menundukkan ego, dan faṣl al-khiṭāb yang paling Qur’ani adalah ucapan yang menutup pintu zalim—seraya membuka pintu maslahat.

Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

WAJIB DIBACA

spot_img