BerandaInspirasiNasehatTadabbur QS Al-An'am (6) 108, Diplomasi Lisan: Menjaga Nama Allah, Menjaga Pintu...

Tadabbur QS Al-An’am (6) 108, Diplomasi Lisan: Menjaga Nama Allah, Menjaga Pintu Hidayah

spot_img

KABARLAH.COM, Pekanbaru – Ada ayat yang tampak “sederhana” tetapi sesungguhnya ia adalah konstitusi etika komunikasi bagi umat yang hidup di tengah perbedaan:

“Janganlah kamu memaki sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu…” (QS 6:108).

Bagi saya, ini bukan sekadar larangan teknis. Ini adalah cara Al-Qur’an memuliakan tauhid sekaligus mengajarkan kebijaksanaan sosial: tauhid tidak dibela dengan bahasa yang mematikan kemungkinan orang mendengar.

Makna Populis: Jangan Menang di Mulut, Kalah di Tujuan

Ayat ini menegur gaya beragama yang gemar “membalas” dengan kata-kata tajam. Ada orang merasa sedang membela Allah ketika menghina simbol agama lain. Padahal Al-Qur’an berkata: hentikan—karena efeknya bukan hidayah, melainkan balasan makian kepada Allah “secara permusuhan” dan “tanpa ilmu.”

Bahasanya tegas: bukan karena berhala itu terhormat, tapi karena cara yang salah menimbulkan mudarat yang lebih besar. Ini adab dakwah yang sangat relevan hari ini, ketika satu kalimat di media sosial bisa menyulut kemarahan lintas kota dan lintas negara.

Dan ujung ayat seperti “diagnosa psikologis”: “Demikianlah Kami jadikan setiap umat memandang baik amal mereka.” Artinya, manusia sering membela keyakinannya bukan dengan ilmu, tapi dengan identitas dan emosi—maka menghina hanya membuat orang semakin mengeras.

Makna Akademik: Kaidah Sadd adz-Dzarā’i dan Manajemen Fitnah

Dalam tradisi tafsir Sunni, ayat ini sering dibaca sebagai contoh sadd adz-dzarā’i (menutup jalan yang mengantar pada kerusakan): sesuatu yang mungkin “terasa benar” (mencela kebatilan) menjadi terlarang bila membuka pintu kerusakan yang lebih berat (makian terhadap Allah dan meluasnya permusuhan).

Riwayat yang dinukil dari Ibn ‘Abbās menggambarkan tensinya: kaum musyrik mengancam, “Jika kamu tidak berhenti mencela tuhan-tuhan kami, kami akan mencela Tuhanmu,” lalu turun larangan ini.

Ibn Kathīr juga menegaskan alasan larangan: agar tidak menjadi sebab mereka memaki Allah “secara agresif tanpa ilmu,” sehingga tujuan syariat—menjaga kehormatan agama dan mencegah fitnah—tetap terpelihara.

Di level akademik, ayat ini mengajari policy dakwah: ukur akibat. Kebenaran yang disampaikan tanpa memperhitungkan akibat sosial bisa berubah menjadi sebab bertambahnya kebencian.

Makna Filosofis: Etika Publik dan Psikologi Permusuhan

Secara filosofis, QS 6:108 menyatakan: kebenaran bukan hanya “apa” yang disampaikan, tetapi juga “bagaimana” ia disampaikan. Penghinaan memicu spiral of hostility: lawan bicara berhenti mencari kebenaran, lalu masuk mode mempertahankan identitas. Di titik itu, dialog mati—yang hidup hanya “kubu” dan “harga diri.”

Karena itu Al-Qur’an menguatkan jalur alternatif: hikmah dan debat yang terbaik (QS 16:125), berdialog dengan Ahlul Kitab secara paling baik (QS 29:46), dan prinsip etika puncak: balas keburukan dengan cara yang lebih baik sampai musuh bisa berubah menjadi kawan dekat (QS 41:34).

Ini adalah filsafat akhlak Qur’ani: bukan pasif, tetapi aktif mengubah suhu konflik.

Makna Batin: perjuangan Menjaga Hati dari “Berhala” Ego

Di lapisan batin, ayat ini seperti berkata:
“Jangan jadikan tauhid di lisanmu dibela dengan cara yang merusak tauhid di hatimu.”

Sebab memaki sering lahir dari dua penyakit halus: ghadab (amarah) dan ‘ujub (merasa suci). Saat itu, yang dibela bukan Allah—melainkan ego kita yang ingin menang. Maka Allah menyebut fenomena “amal dihias”: jiwa pandai mengemas amarah menjadi “pembelaan agama.”

Di sinilah hadits Nabi ﷺ menjadi roh ayat:
“Kelembutan tidak ada pada sesuatu kecuali menghiasinya; dan tidak dicabut dari sesuatu kecuali membuatnya buruk.” (HR. Muslim).
Artinya, rifq bukan aksesori; ia adalah kendaraan hidayah.

Sentuhan Ulama Kontemporer: Tarbiyah, Maslahah, dan Ruhiyah

Dari corak tarbiyah-haraki, Syekh Sa‘īd Ḥawwā dalam Al-Asās fī at-Tafsīr menempatkan adab ayat-ayat seperti ini sebagai bagian dari menjaga maslahat dakwah dan menutup pintu mafsadah yang memadamkan peluang hidayah—bahkan ia mengutip/menautkan pembahasan Ibn Kathīr terkait ayat ini.

Dalam kerangka maqāṣid dan maslahah, pemikiran Syekh Ramadhān al-Būṭī tentang batasan maslahah agar tetap selaras dengan syariat memberi landasan etis: menghindari mudarat yang lebih besar adalah bagian dari keberagamaan yang bertanggung jawab. (Ini pendekatan kaidah—bukan klaim bahwa beliau menafsirkan ayat ini persis dengan redaksi tertentu.)

Sementara Syekh Abdul Ḥalīm Maḥmūd—tokoh Al-Azhar yang dikenal dengan dakwah moderasi dan kedalaman tazkiyah—mewakili pesan bahwa kekuatan Islam bukan pada kerasnya kata, tetapi pada kualitas hati dan akhlak dalam menyampaikan kebenaran.

Dan menariknya, kitab Al-Qur’ān: Tadabbur wa ‘Amal (Al-Minhaj Center) memang dirancang agar pembaca sampai pada “butir amal”: kosa kata, cuplikan tafsir mu‘tabar, lalu pelajaran praktis untuk dihidupkan. Ayat 6:108, dalam format seperti itu, secara alami menjadi “amal lisan”: memilih diksi, merawat tujuan, dan mencegah api konflik.

Jika mengambil “intisari” dari sudut pandang Halo-N, letakkan sebagai bahan banding, bukan pondasi utama—sementara pegangan Ahlus Sunnah tetap: tafsir mu‘tabar, kaidah ulum al-Qur’an, dan Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an.

Penutup: Kalimat Diplomasi yang Siap Dipakai

QS 6:108 mengajarkan bahwa martabat iman tampak pada martabat bahasa: berbeda keyakinan bukan alasan untuk merendahkan; sebab penghinaan hanya melahirkan penghinaan, menutup pintu hidayah, dan mengubah agama menjadi permusuhan.

Jika ini dibawa oleh Pak Sofyan dalam panggung lintas agama dan diplomasi internasional, pesannya jelas: Islam punya prinsip pencegahan konflik berbasis wahyu—mengundang dengan hikmah, menahan provokasi, dan menjaga kehormatan Tuhan melalui kehormatan lisan.

Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

WAJIB DIBACA

spot_img