BerandaInspirasiNasehatTadabbur QS Al Anfal (8):1,Harta Rampasan Sebagai Amanah, Persatuan Sebagai Ibadah, Ketaatan...

Tadabbur QS Al Anfal (8):1,Harta Rampasan Sebagai Amanah, Persatuan Sebagai Ibadah, Ketaatan Sebagai Pagar Jiwa

spot_img

KABARLAH.COM – يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَنفَالِ ۖ قُلِ الْأَنفَالُ لِلَّهِ وَالرَّسُولِ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ ۖ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

Ada ayat yang seolah turun untuk menertibkan “setelah kemenangan”. Karena sering kali, ujian paling halus tidak datang saat kita kalah, tetapi saat kita menang. Saat kalah, manusia mudah merendah; saat menang, manusia mudah menuntut. QS Al-Anfāl: 1 memotret momen kritis itu. Orang bertanya tentang al-anfāl—rampasan, surplus, “kelebihan” yang muncul setelah perjuangan. Lalu Allah menjawab dengan kalimat yang memotong akar sengketa: “Katakanlah: al-anfāl itu milik Allah dan Rasul.” Seakan Allah berfirman: jangan jadikan hasil sebagai pusat pertengkaran; pusatkan kembali hati pada Rabb yang memberi hasil.

Dalam konteks sejarah, ayat ini terkait peristiwa Badar, ketika sebagian sahabat berselisih tentang pembagian ghanimah. Tetapi Al-Qur’an tidak menjadikannya sekadar “hukum distribusi”. Yang pertama dibenahi bukan angka, melainkan arah jiwa. Karena jika hati rusak, seadil apa pun pembagian, sengketa tetap menyala. Maka wahyu datang sebagai terapi: mengembalikan otoritas kepada Allah dan Rasul, lalu memerintahkan tiga hal yang menjadi fondasi komunitas beriman: takwa, islah, dan taat.

Perhatikan urutan perintahnya. Setelah menetapkan prinsip kepemilikan dan otoritas (“milik Allah dan Rasul”), Allah tidak berkata: “hitung sekian persen untuk ini dan itu.” Allah berkata: “Bertakwalah kepada Allah.” Artinya, sebelum berbicara hak, bicaralah takut kepada Allah. Sebelum menuntut, tundukkan nafs. Takwa adalah rem pertama ketika emosi naik. Ia menahan lisan dari menyakitkan, menahan tangan dari merampas, menahan hati dari iri. Takwa mengubah pertanyaan: dari “bagian saya mana?” menjadi “apa yang Allah ridai dari sikap saya?”

Lalu datang perintah yang mengejutkan karena ia “bukan ekonomi”, tetapi “akhlak”: “Perbaikilah hubungan di antara kalian (aṣliḥū dzāta bainikum).” Seolah Al-Qur’an mengajari: persaudaraan lebih mahal daripada harta. Harta bisa dicari lagi, reputasi bisa dipulihkan, tetapi hati yang pecah sering melahirkan retakan panjang: saling curiga, saling menjauh, saling menuduh niat. Dan ketika jamaah retak, kemenangan apa pun menjadi rapuh. Maka islah bukan sekadar “baik-baik”, melainkan ibadah sosial yang menjaga umat dari runtuh dari dalam.

Baru setelah takwa dan islah, Allah menegaskan: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar beriman.” Inilah standar iman yang dewasa: ketaatan ketika kepentingan pribadi diuji. Banyak orang mudah taat ketika tidak ada yang dikorbankan. Tetapi ayat ini menempatkan ketaatan sebagai pagar jiwa—agar keputusan tidak diambil oleh suara paling keras, kelompok paling besar, atau orang paling berpengaruh, melainkan oleh syariat dan otoritas yang adil. Di titik ini, iman bukan teori; iman menjadi etika pengelolaan konflik.

Secara akademik, para ulama tafsir menjelaskan al-anfāl sebagai ghanimah atau “kelebihan” (nafl) yang menjadi sengketa. Frasa “lillāhi war-rasūl” menegaskan bahwa kepemilikan hakiki kembali kepada Allah, dan pembagian operasional berjalan melalui Rasul sesuai wahyu dan hikmah kepemimpinan. Ini memberikan prinsip tata kelola: konflik harta diselesaikan dengan rujukan syariat, bukan dengan tarik-menarik nafs. Karena itu, ayat ini merupakan pendidikan sosial: Allah mengikat iman dengan indikator publik yang bisa dilihat—takwa, islah, dan taat—sebagai bukti iman yang hidup.

Dari sisi filosofis, ayat ini menyingkap “metafisika konflik”: manusia sering pecah bukan karena kekurangan dalil, tetapi karena perebutan sumber daya. Harta, jabatan, pengaruh, akses—sering menjadi “tuhan kecil” yang disembah diam-diam. Ketika pusatnya ego, harta menjadi bahan bakar permusuhan. Tetapi ketika pusatnya Allah, harta menjadi alat maslahat. Maka “milik Allah dan Rasul” adalah terapi terhadap ilusi kepemilikan: yang kita miliki sesungguhnya adalah amanah, bukan milik mutlak. Amanah menuntut adab, bukan tuntutan; amanah menuntut syukur, bukan kesombongan; amanah menuntut keadilan, bukan fanatisme.

Makna batin (isyārī–ruhiyah) memperluas cermin ayat ini ke kehidupan kita hari ini. “Anfāl” tidak selalu berupa rampasan perang. Ia bisa berupa surplus: rezeki mendadak, proyek berhasil, warisan, jabatan, popularitas, bahkan ilmu dan pengaruh. Semua “kelebihan” itu menguji: apakah hati makin tunduk atau makin mabuk. Ayat ini melatih kita berkata di dalam: “Ini amanahku, bukan kemuliaanku.” Sebab sering kali, yang merusak bukan dosa besar, melainkan rasa “berhak” yang tidak disadari.

Takwa dalam makna batin adalah kemampuan menahan diri tepat saat nafs memanas. Islah dalam makna batin adalah keberanian memotong rantai kebencian: meminta maaf duluan, meluruskan prasangka, menutup pintu ghibah, dan menahan diri dari membongkar aib saudara. Nabi ﷺ menguatkan ini dengan terapi sosial yang tajam: jangan saling hasad, jangan saling membenci, jangan saling memutus, jadilah hamba Allah bersaudara. Ukuran iman memang tampak pada bagaimana kita memperlakukan saudara, bukan hanya pada bagaimana kita mengklaim “benar”.

Dalam perspektif tarbiyah, ayat ini seperti kurikulum pembinaan: kemenangan → ujian harta → diselamatkan dengan takwa dan perbaikan relasi. Di jalur tasawuf-akhlak, pesan utamanya jelas: nafs adalah musuh paling halus; ia bisa menyusup melalui perkara yang halal. Karena itu, tazkiyah bukan tambahan opsional—ia jantung keselamatan. Dan dalam bingkai kemaslahatan yang sering ditekankan ulama Sunni kontemporer seperti Ramadhan al-Būṭī, syariat hadir bukan hanya untuk menjaga ritual, tetapi untuk menjaga persaudaraan dan mencegah kerusakan sosial.

Jika kita ingin menjadikan ayat ini sebagai amal, maka empat langkah ringkasnya sangat praktis. Pertama, ketika ada “harta bersama”—warisan, proyek, donasi, kemenangan—mulailah dengan takwa: luruskan niat, bersihkan hati. Kedua, jadikan islah sebagai target: bila perlu mengalah pada sebagian hak demi menjaga hati dan jamaah, itu sering lebih mahal di sisi Allah daripada “menang hitungan”. Ketiga, taatilah aturan yang adil: rujuk Qur’an–Sunnah dan musyawarah yang jujur; jangan menuhankan “kelompokku”. Keempat, ukur iman bukan dari slogan, tetapi dari kemampuan menang tanpa merusak persaudaraan.

QS Al-Anfāl: 1 pada akhirnya mengajarkan satu kemuliaan: kemenangan yang paling tinggi adalah ketika kita mampu mengendalikan nafs setelah kemenangan. Harta boleh datang, tetapi hati jangan pecah. Surplus boleh bertambah, tetapi takwa harus lebih dulu memimpin. Karena Allah tidak hanya menguji kita dengan kesulitan, Allah juga menguji kita dengan keberhasilan—dan hanya orang beriman yang lulus ketika ia mampu tetap bersaudara.

Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

WAJIB DIBACA

spot_img