BerandaInspirasiNasehatTadabbur QS Al Hadid: 25, “Kitab, Mizan, dan Besi: Arsitektur Keadilan yang...

Tadabbur QS Al Hadid: 25, “Kitab, Mizan, dan Besi: Arsitektur Keadilan yang Menyelamatkan”

spot_img

KABARLAH.COM – لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنٰتِ وَاَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتٰبَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِۚ وَاَنْزَلْنَا الْحَدِيْدَ فِيْهِ بَأْسٌ شَدِيْدٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗ وَرُسُلَهٗ بِالْغَيْبِۗ اِنَّ اللّٰهَ قَوِيٌّ عَزِيْزٌࣖ ۝٢٥
laqad arsalnâ rusulanâ bil-bayyinâti wa anzalnâ ma‘ahumul-kitâba wal-mîzâna liyaqûman-nâsu bil-qisth, wa anzalnal-ḫadîda fîhi ba’sun syadîduw wa manâfi‘u lin-nâsi wa liya‘lamallâhu may yanshuruhû wa rusulahû bil-ghaîb, innallâha qawiyyun ‘azîz

Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami menurunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil. Kami menurunkan besi yang mempunyai kekuatan hebat dan berbagai manfaat bagi manusia agar Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya walaupun (Allah) tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.

Ada ayat yang jika dibaca pelan, ia terasa seperti “blueprint” peradaban—bukan sekadar nasihat moral, tetapi rancangan lengkap: bagaimana kebenaran turun, bagaimana keadilan ditegakkan, dan bagaimana kekuatan diposisikan. QS. Al-Ḥadīd: 25 berbicara tentang tiga perangkat yang menyertai para rasul: bayyināt, kitāb, dan mīzān, lalu ditutup dengan satu unsur yang sering disalahpahami: ḥadīd (besi). Tujuannya terang dan tidak romantik: “liyaqūman-nāsu bil-qisṭ”—agar manusia menegakkan keadilan.

Di sinilah Al-Qur’an membedakan dirinya dari wacana yang hanya pandai mengutuk kezhaliman, tetapi tidak membangunya sistem untuk mengakhirinya. Keadilan dalam ayat ini bukan jargon; ia adalah misi kenabian.

Dan yang paling menarik: Allah tidak berkata “agar negara adil”, tetapi “agar manusia menegakkan keadilan.” Artinya, keadilan bukan hanya urusan institusi; ia adalah tanggung jawab kolektif yang dimulai dari jiwa, keluarga, komunitas, sampai tata sosial.

Pertama: bayyināt—kebenaran harus jelas. Bayyināt adalah bukti yang terang, hujjah yang mematahkan syubhat, kejernihan dalil yang membuat orang tidak berjalan di atas kabut. Secara populis, ini seperti Allah berkata: “Jangan jadi umat yang bergerak karena rumor.” Berapa banyak konflik, fitnah, dan permusuhan lahir bukan dari kekurangan semangat, tetapi dari kekurangan bukti.

Dalam dunia yang bising, bayyināt adalah adab: memeriksa sebelum menyebar, menimbang sebelum menuduh, bertanya sebelum menghakimi. Secara ruhiyah, bayyināt berarti hati yang jernih menyukai yang terang; hati yang sakit justru nyaman dengan yang gelap karena gelap memberi ruang untuk membenarkan hawa nafsu.

Kedua: kitāb—kebenaran harus punya kompas nilai. Kitab adalah wahyu, pedoman yang menundukkan selera, gengsi, dan emosi. Inilah yang membuat gerakan kenabian tidak berubah menjadi sekadar gelombang kemarahan. Kita sering melihat orang marah pada ketidakadilan, tetapi marahnya tidak dituntun nilai; akhirnya, ia memerangi kezhaliman dengan cara zalim. Kitab datang untuk mengatur arah: mana yang halal, mana yang haram; mana yang adil, mana yang aniaya; mana yang maslahat, mana yang merusak.

Dalam bahasa akademik, kitab adalah “normative framework”—kerangka norma. Tanpa norma, energi sosial menjadi liar. Dan tanpa wahyu, norma mudah dibeli oleh kepentingan.

Ketiga: mīzān—kebenaran harus punya ukuran. Mizan adalah neraca: standar objektif yang membedakan benar–salah, hak–batil, layak–zalim. Kita sering bicara “keadilan”, tetapi keadilan tanpa mizan akan menjadi selera: adil menurut siapa? adil untuk siapa? adil sampai kapan? Mizan membuat keadilan terukur. Dalam bahasa ruhani, mizan adalah “self-justice”: menimbang diri sebelum menimbang orang lain.

Banyak orang menuntut keadilan di luar, tetapi ia sendiri berat sebelah di rumahnya: tidak adil pada pasangan, anak, pekerja, atau saudara. Ayat ini seolah menegur: jangan berteriak keadilan di jalan, tetapi merusak mizan di ruang paling dekat.

Lalu ayat ini menyebut unsur yang sering membuat orang salah paham: “wa anzalnal-ḥadīd”—Kami turunkan besi; di dalamnya ada ba’sun syadīd (kekuatan hebat) dan manāfi‘ (manfaat luas). Di sinilah Al-Qur’an realistis. Keadilan bukan hanya teori; ia perlu alat, teknologi, logistik, sistem, dan kadang ketegasan penegakan.

Besi bukan simbol kebengisan, tetapi simbol kekuatan tertib: kemampuan melindungi yang lemah, menghentikan agresi, menegakkan aturan, membangun peradaban, dan menyediakan manfaat material bagi manusia.

Tanpa “besi”, keadilan sering menjadi doa yang mudah dihancurkan oleh para penindas yang punya daya. Namun Al-Qur’an juga memberi batas: besi harus tunduk pada kitab dan mizan. Jika besi lepas dari kitab, ia menjadi tirani. Jika besi lepas dari mizan, ia menjadi alat balas dendam.

Di titik ini, ayat tersebut menjadi sangat filosofis: manusia butuh tiga hal sekaligus—kebenaran (kitab), ukuran (mizan), dan kekuatan (hadid). Bila hanya ada kitab tanpa mizan, agama menjadi simbol tanpa keadilan. Bila ada mizan tanpa kitab, ukuran bisa menjadi relativisme yang berubah-ubah. Bila ada hadid tanpa kitab dan mizan, kekuatan menjadi berhala.

Karena itu, Allah menutup ayat dengan ujian: agar diketahui siapa yang menolong Allah dan rasul-Nya bil-ghayb—tanpa menunggu sorotan. Di sinilah spiritualitasnya: pembelaan pada kebenaran tidak boleh bergantung pada panggung; ia harus lahir dari iman yang sunyi.

Maka tadabbur ayat ini mengubah pertanyaan hidup kita. Bukan hanya: “Apakah aku beriman?” tetapi: apakah aku menegakkan qisṭ—keadilan—dengan bukti, dengan kompas wahyu, dengan neraca yang jujur, dan dengan ketegasan yang beradab? Dan amalan paling nyata dimulai dari yang paling dekat: cek fakta sebelum menyebar (bayyināt), taat pada nilai wahyu dalam keputusan (kitāb), adil pada orang terdekat meski berat (mīzān), dan gunakan “besi” dalam bentuk skill, otoritas, dan daya untuk melindungi yang lemah—bukan menang sendiri (ḥadīd).

Inilah ayat yang mengajarkan: Islam bukan agama slogan. Islam adalah agama standar dan perlindungan, agar keadilan tidak berhenti sebagai wacana—melainkan berdiri sebagai kehidupan.

Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

WAJIB DIBACA

spot_img