KABARLAH.COM, Pekanbaru – Surah al-Ikhlāṣ adalah jantung tauhid; sebuah deklarasi pendek tetapi menyeluruh tentang siapa Allah dan bagaimana seorang hamba seharusnya menata ulang pusat hidupnya. Ketika ia dibaca, seolah pembaca sedang berdiri di hadapan cermin teologis yang memurnikan akal, menenangkan hati, dan menata orientasi hidup.
Inilah surat yang oleh para ulama—dari Ibn Kathīr, al-Ṭabarī, hingga para mujaddid kontemporer seperti Sa‘īd Ḥawwā, Abdul Halim Mahmud, dan Dr. Ramadhan al-Būṭī—disebut sebagai “surat fondasi eksistensi seorang mukmin.”
Tadabbur berikut adalah opini reflektif yang memadukan gaya filosofis, akademik, dan populis, tanpa kehilangan kedalaman ruhani dan kesadaran tasawuf Sunni.
- “Qul huwa Allāhu Aḥad” — Deklarasi Identitas Tuhan & Identitas Ruhani
Pada tataran akademik, ayat ini adalah pengumuman teologis yang menegasikan segala sekutu, konsep ketuhanan antropomorfis, atau dualisme. Aḥad dalam bahasa Arab bukan sekadar “satu angka,” tetapi “kesatuan mutlak yang tidak terbagi.” Imam al-Bāghawī menegaskan bahwa ayat ini turun sebagai jawaban terhadap orang-orang yang bertanya tentang sifat Tuhan.
Maka Allah memerintahkan Nabi ﷺ: “Katakan!”—ini bukan informasi netral, tetapi pengakuan teologis yang harus diumumkan.
Dari perspektif filosofis-sufi, sebagaimana dinyatakan al-Qusyairī, Aḥad adalah Realitas Tunggal tempat seluruh wujud berpijak. Dunia ini beraneka rupa, namun sumbernya satu. Semua perubahan berakar dari Yang Maha tetap.
Dalam gaya populis: ayat ini mengajak kita kembali ke pusat hidup. Kita sibuk, tercerai-berai, terseret ambisi dan ketakutan. Tetapi Aḥad berkata: “Kembalilah. Hanya satu pusat hidupmu: Allah.” Inilah pembebasan eksistensial—dari banyak ketergantungan menuju satu-satunya sandaran.
Sa‘īd Ḥawwā menyebutnya sebagai tauhid identitas: jika Allah itu satu, maka hati pun harus satu, tidak terpecah antara dunia dan Allah.
- “Allāhuṣ-Ṣamad” — Ketergantungan Semesta & Ketenangan Batin
Ayat ini adalah inti teologi rububiyyah. Ibn ‘Abbās menafsirkan Ash-Shamad sebagai “Sayyid yang sempurna dalam segala sifat dan tempat bergantung segala makhluk.” Secara akademik, ayat ini menetapkan ketidaktergantungan Allah dan totalitas kebutuhan makhluk kepada-Nya (QS 35:15).
Secara filosofis, Ash-Shamad menegaskan ontologi hubungan wujud: segala yang terbatas pasti bergantung kepada Yang tak terbatas. Sebab-sebab yang kita lihat hanyalah tirai dari Sebab Pertama. Ini membebaskan akal dari ilusi otonomi.
Dalam bahasa populis: ayat ini berkata, “Kamu tidak sendirian.” Saat rezeki sempit, hati cemas, atau hidup tampak tak menentu, Allah berkata: “Akulah tempat bergantung.” Bukan manusia, bukan harta, bukan jabatan. Semuanya hanyalah perantara.
Syekh Abdul Halim Mahmud menyebut Ash-Shamad sebagai latihan tajrīd—pengosongan hati dari segala sandaran selain Allah. Hati menjadi kokoh seperti gunung, karena yang ditumpu bukan makhluk, tetapi Pencipta makhluk.
- “Lam yalid wa lam yūlad” — Kemurnian Teologis & Kebebasan dari Mitologis
Ayat ini adalah pilar tanzīh (pensucian Allah) dari segala bentuk penyerupaan. Dalam tradisi akademik Asy‘ariyah-Maturidiyah, ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak terikat ruang, waktu, proses biologis, atau dinamika sebab-akibat. Ia bukan bapak dari siapa pun, bukan anak dari siapa pun—sebuah pernyataan yang membebaskan Allah dari konsepsi ketuhanan budaya.
Ramadhan al-Būṭī mengatakan bahwa ayat ini tidak hanya membantah akidah sesat, tetapi juga membebaskan manusia dari ta‘alluq—ketergantungan berlebih pada sebab. Sebab-sebab tidak melahirkan hasil; hanya Allah yang menciptakan.
Secara filosofis, ayat ini menetapkan keabadian murni: Allah tidak didahului ketiadaan dan tidak mungkin mengalami perubahan esensial. Dialah Wujud Yang Qadim.
Dalam bahasa populis: ayat ini mengingatkan kita bahwa Allah bukan makhluk super, tetapi Tuhan yang benar-benar sempurna. Ia tidak lelah, tidak tergantung, tidak butuh diwarisi, dan tidak diwariskan. Kita diajar untuk membersihkan gambaran keliru tentang Allah yang sering dipengaruhi imajinasi manusia.
- “Wa lam yakun lahu kufuwan aḥad” — Puncak Tauhid: Tidak Ada yang Menyamai-Nya
Ibn Kathīr menyebut ayat ini sebagai “penutup agung tauhid”. Secara akademik, ia adalah dalil tegas bagi prinsip laysa kamitslihi syai’ (QS 42:11). Allah sempurna secara mutlak dalam Dzat, sifat, kehendak, dan perbuatan. Tidak ada makhluk yang sejajar.
Secara filosofis, kesadaran tentang ketidaksetaraan Allah melahirkan al-fanā’—lenyapnya ego dan kebergantungan batin terhadap makhluk. Ketika hati menyadari bahwa hanya Allah yang mutlak, ia bebas dari ketakutan pada makhluk, bebas dari iri, bebas dari ambisi merusak.
Dalam bahasa populis: ayat ini berkata, “Jangan samakan Allah dengan apa pun.”
Tidak ada cinta sebesar cinta-Nya, tidak ada perlindungan seperti perlindungan-Nya, tidak ada tempat kembali selain kepada-Nya. Masalah dunia hanya bayangan; Allah adalah cahaya hakiki.
Menurut Al-Qur’an Tadabbur dan Amal , Al-Ikhlāṣ membawa tiga pesan praktis:
- Tauhid identitas → jadilah pribadi yang jujur, ikhlas, dan sederhana.
- Pengokohan hati → gantungkan masa depan hanya kepada Allah.
- Purifikasi akidah → hindari mitos, khurafat, dan gambaran keliru tentang Tuhan.
Dr. HALO-N dalam Al-Fatḥu Nawā menekankan bahwa:
Aḥad adalah simpul kesadaran spiritual.
Ash-Shamad adalah ketenangan tertinggi.
Lam yalid… adalah purifikasi mental.
Walam yakun… adalah puncak suluk: fana’ dari selain Allah.
Intisari Tadabbur
Surah Al-Ikhlāṣ bukan sekadar definisi tentang Allah; ia adalah peta perjalanan batin.
Ia mengajarkan bahwa:
Hidup harus punya pusat: Allah Yang Esa.
Ketenangan datang ketika kita bergantung pada Yang Mahasempurna.
Akal harus bersih dari gambaran keliru tentang Tuhan.
Hati harus bebas dari menyamakan Allah dengan apa pun.
Inilah surat yang membangun tauhid di kepala, membersihkan hati, dan menguatkan jiwa.
Ia tidak panjang, tetapi kedalamannya tak habis ditadabburi sepanjang umur manusia.
Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab



