BerandaInspirasiNasehatTadabbur QS AT-Tahrim:6, "Saat Ayat Menarik Kerah Baju Kita”

Tadabbur QS AT-Tahrim:6, “Saat Ayat Menarik Kerah Baju Kita”

spot_img

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ. عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Yā ayyuhallażīna āmanụ qū anfusakum wa ahlīkum nāraw wa qụduhan-nāsu wal-ḥijāratu ‘alaihā malāikatun gilāẓun syidādul lā ya'ṣụnallāha mā amarahum wa yaf'alụna mā yumarụn

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Ada ayat-ayat Qur’an yang kita baca sambil lewat, ada pula yang seperti menarik kerah baju kita dan berkata, “Berhenti. Dengar aku baik-baik.” QS. At-Taḥrīm: 6 adalah salah satunya.
“Quu anfusakum wa ahlīkum nārā…” — jaga dirimu dan keluargamu dari neraka.

Di sinilah tadabbur diuji: apakah Al-Qur’an hanya jadi bacaan merdu, atau benar-benar menjadi cermin yang membuat kita gelisah, merenung, lalu mengubah arah hidup.

Secara akademik, para mufassir sudah menjelaskan ayat ini dengan sangat sistematis: panggilan kepada orang beriman, kewajiban melindungi diri dan keluarga, realitas neraka, dan profil malaikat penjaga yang “lā ya‘ṣūnallāh”. Di atas kertas, semua rapi. Tapi tadabbur tidak berhenti di kertas; ia baru sah ketika menetes ke cara kita memandang diri, keluarga, dan tanggung jawab sosial.

Secara filosofis, ayat ini sedang mengajukan pertanyaan paling mendasar tentang manusia: siapa yang memimpin hidupmu? “Quu anfusakum” bukan sekadar “awas, nanti masuk neraka”, tetapi seruan untuk membangun “pemerintahan batin”. Siapa rajanya: hati yang tertaut kepada Allah, atau nafsu yang sibuk mengejar citra dan kenikmatan? Jika batin dibiarkan anarkis, maka keluarga dan masyarakat hanya soal waktu menuju kekacauan. Neraka di akhirat hanyalah puncak dari neraka kecil yang sudah lama dinyalakan dalam relasi, pilihan, dan kebiasaan.

Di sinilah tadabbur menyentuh dimensi akademik dan filosofis sekaligus. Akademik mengajarkan: neraka itu hakiki, malaikat itu benar-benar ada, ayat ini punya konteks dan hukum. Filsafat mengajak kita bertanya: apa artinya semua itu bagi struktur hidupku sekarang? Tadabbur menjadi jembatan antara teks dan realitas batin. Kita tidak cukup tahu bahwa malaikat “ghilāẓ syidād”; kita perlu bertanya, “Kenapa di rumahku aturan Allah terasa lunak dan tawar, sementara malaikat justru sangat tegas dalam ketaatan?”

Pendekatan populis dibutuhkan agar semua ini tidak mengambang di langit teori. Bahasa sederhananya begini: ayat ini seperti orang tua yang berkata, “Hei, jangan tunggu rumahmu terbakar dulu baru cari air.” Neraka bukan hanya di akhirat; neraka bisa berupa rumah yang penuh teriakan, kebohongan, kekerasan, dan dosa yang dinormalisasi. Tadabbur berarti berani mengakui, “Mungkin selama ini aku sibuk membangun rumah yang nyaman di dunia, tapi lupa memastikan apakah penghuninya selamat menuju rumah abadi di akhirat.”

Tadabbur yang populis bukan berarti dangkal. Justru tantangannya: menjahit kedalaman ulasan ulama menjadi kata-kata yang bisa dipahami oleh ayah pekerja, ibu rumah tangga, anak muda kampus, sampai buruh pabrik. “Quu anfusakum” bisa diterjemahkan menjadi obrolan sederhana di meja makan: “Hari ini, apa satu hal kecil yang bisa kita lakukan supaya rumah ini lebih dekat ke surga dan makin jauh dari api?” Satu ayat, satu tadabbur, satu aksi. Sesederhana mematikan tontonan yang haram, mengganti dengan tilawah singkat bersama. Tapi dari langkah-langkah kecil itulah sebuah “sistem keamanan spiritual” keluarga dibangun.

Dari sisi spiritualitas, tadabbur atas ayat ini menelanjangi kita. Kita dipaksa jujur: lebih takut mana — gagal di hadapan standar sosial, atau gagal menjaga amanah keluarga di hadapan Allah? Banyak orang rela kursus parenting, manajemen keuangan keluarga, atau kelas pengembangan diri, tetapi enggan meluangkan waktu lima menit membaca satu ayat lalu merenung bersama. Padahal, di situlah ruh tarbiyah Qur’ani bekerja: bukan pada rentetan teori rumit, tetapi pada momen-momen hening ketika ayat bertanya, “Apa yang hari ini kau lakukan agar api itu padam?”

Tadabbur juga meluruskan cara kita memandang kepemimpinan. Hadis “kullukum rā‘in” sering dikutip, tetapi jarang dirasa. Ayat At-Taḥrīm: 6 menegaskan bahwa gelar “ayah”, “ibu”, “guru”, “pemimpin” bukan kebanggaan, tapi risiko. Secara filosofis, kepemimpinan dalam Islam bukan soal siapa di depan, tetapi siapa yang paling dulu dihisab. Tadabbur membuat ayat ini menembus lapisan ego da’i, aktivis, pejabat, sampai kepala keluarga yang mungkin lebih sibuk dengan wibawa di luar daripada keselamatan iman di dalam rumah.

Pertanyaannya: kenapa tadabbur sering mandek? Salah satunya karena kita memisahkan empat dunia yang seharusnya menyatu: dunia ruhani, dunia ilmu, dunia pemikiran, dan dunia rakyat jelata. Padahal, Al-Qur’an turun untuk semuanya. Ayat ini bisa menjadi tema tesis akademik tentang konsep kepemimpinan keluarga; bisa juga menjadi bahan renungan seorang ibu di dapur ketika menahan marah pada anaknya. Inilah indahnya tadabbur: ia fleksibel, tapi tidak liar; dalam, tapi tidak jauh dari bumi.

Pada akhirnya, tadabbur atas QS. At-Taḥrīm: 6 mengajak kita mengambil keputusan keberanian: berhenti menyalahkan zaman, media sosial, lingkungan, dan mulai membangun “firewall iman” di level yang paling kecil tetapi paling menentukan: diri dan keluarga. Pertanyaannya bukan lagi “Mengapa generasi ini rusak?”, tetapi “Sudah sejauh mana aku mengamalkan ‘quu anfusakum wa ahlīkum nārā’ di lingkar terkecil yang Allah titipkan padaku?”

Jika tadabbur kita berakhir hanya dengan status panjang di media sosial tanpa perubahan suasana di rumah, berarti ada yang bocor. Tadabbur yang sejati akan terasa pada cara kita berbicara, memilih, mengelola waktu, memperlakukan pasangan dan anak, dan menyusun prioritas. Dan setiap kali ayat ini dibaca, seolah Allah kembali bertanya dengan sangat personal:

“Kau sudah berusaha menjaga mereka hari ini, atau kau sibuk menyalakan api yang sama sekali tidak sanggup mereka tahan?”

Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

WAJIB DIBACA

spot_img