KABARLAH.COM, Pekanbaru – Ada satu ayat yang bila direnungkan dalam-dalam, terasa seperti mengetuk pintu batin manusia. Bukan dengan suara keras, tetapi dengan keheningan yang dalam: “Apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu adalah kebenaran itu sama dengan orang yang buta? Hanya orang-orang berakal yang dapat mengambil pelajaran.”
Di sini, Allah mengajak manusia untuk melihat kembali posisi eksistensial dirinya: apakah kita berada pada pihak yang melihat, atau di pihak yang buta?
Ayat ini bukan sekadar perbandingan moral. Bukan pula hanya nasihat etis. Ia adalah ayat antropologi Qurani—mengungkap struktur kesadaran manusia, yang menegaskan bahwa realitas hidup tidak hanya ditempati oleh beragam manusia, tetapi oleh dua jenis manusia: yang bercahaya dan yang gelap.
Manusia dan Dua Ruang Kesadaran
Secara akademik, ayat ini memotret perbedaan epistemik: yang mengetahui kebenaran wahyu, yang buta terhadapnya.
Namun secara filosofis, perbandingan ini jauh lebih radikal. Ia bukan lagi membedakan antara manusia pintar dan bodoh, atau antara ilmuwan dan awam. Ia membedakan manusia berdasarkan keadaan wujud batinnya: apakah jiwanya tersambung dengan cahaya, atau terputus dari cahaya.
Filsafat Qur’ani mengajarkan bahwa kebenaran adalah cahaya. Maka orang yang mengetahuinya hidup dalam terang. Orang yang menolaknya hidup dalam kegelapan yang tidak selalu disadari.
Kegelapan batin itu tidak tampak di retina; ia tampak dalam cara seseorang mengambil keputusan, memilih nilai hidup, dan merespons kebenaran.
Melihat: Suatu Proses Batin, Bukan Hanya Akal
Dalam perspektif akademik, al-ḥaqq (kebenaran wahyu) bersandar pada argumen:
sumbernya dari Tuhan Yang Maha Benar, disampaikan melalui Rasul yang jujur dan amanah, dibuktikan dengan mukjizat, diikuti oleh konsistensi ajaran.
Tetapi dalam perspektif ruhani, ilmu yang membuat seseorang “melihat” bukanlah informasi, melainkan transformasi.
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa hakikat ilmu adalah cahaya yang Allah lemparkan ke dalam hati. Maka seseorang bisa sangat paham bukti, tetapi tetap buta; sementara yang lain sederhana tetapi hatinya cerah.
Buta: Ketika Hati Tidak Lagi Menangkap Cahaya
Kebutaan dalam ayat ini bukanlah defek biologis. Ia adalah kerusakan sensitivitas batin.
Firman Allah dalam QS. al-Hajj: 46 memperkuat hal ini:
“Yang buta bukan mata, tetapi hati.”
Ibn ‘Aṭā’illah menyebut penyebab kebutaan itu: nafsu. Bukan karena tidak ada cahaya, tetapi karena ada hijab. “Yang jauh bukan Allah,” kata beliau, “tetapi dirimu yang dekat dengan nafsumu.”
Maka orang yang buta terhadap wahyu bukan karena kekurangan argumen, tetapi karena: hatinya tertutup, nafsunya dominan, dan ia tak lagi mencari.
Kebenaran tidak pernah menghilang; manusialah yang memalingkan wajah.
Ulul Albab: Manusia yang Terbuka pada Cahaya
Allah menutup ayat ini dengan satu kalimat yang menjadi kunci:
“Hanya orang-orang berakal (ulul albab) yang dapat mengambil pelajaran.”
Dalam akademik, ulul albab adalah pemikir jernih.
Dalam sufisme, ulul albab adalah hati yang bersih.
Dalam dakwah, ulul albab adalah mereka yang niatnya lurus.
Tiga kualitas yang jika disatukan melahirkan manusia yang “melihat” wahyu bukan sebagai doktrin, melainkan sebagai cahaya eksistensial.
Syekh Said Hawwa meyakini bahwa ayat ini adalah ayat tarbiyah: ia membangun ruh, memperkuat akal, dan menggerakkan amal.
Tadabbur: Cahaya yang Menjadi Gerak
Tadabbur bukan sekadar membaca dan mengulang-ulang makna. Tadabbur adalah transformasi.
Dalam kerangka “Al-Qur’an Tadabbur dan Amal”, ayat ini mengajarkan: Kebenaran harus dirasakan dalam hati, dipikirkan dalam akal dan dibuktikan melalui amal
Jika seseorang mengaku “melihat” kebenaran wahyu tetapi hidupnya tidak berubah, maka ia belum benar-benar melihat. Ia masih dalam ruang bayang-bayang, bukan dalam cahaya.
Dimensi Filosofis: Mengapa Allah Menggunakan Perbandingan Ini?
Karena realitas manusia bukan hanya berbeda dalam kapasitas intelektual, tetapi dalam status ontologis—dalam keadaan keberadaan batinnya.
- Pengetahuan = cahaya. Bukan sekadar akumulasi data.
- Kebodohan spiritual = kegelapan. Bukan sekadar ketidaktahuan. Akal tidak cukup tanpa hati. Karena kebenaran wahyu tidak hanya logis, tetapi menyentuh inti ruhani manusia. Hati yang buta tidak bisa melihat walau dipenuhi seribu argumen. Karena masalahnya bukan cahaya, tetapi cermin yang retak.
Dr. Halo-N menyebut wahyu sebagai “energi ketuhanan” yang hanya dapat ditangkap oleh hati yang hidup. “Yang buta,” kata beliau, “adalah manusia yang kehilangan sensitivitas terhadap sinyal Ilahi.”
Dari Tadabbur Menuju Kesadaran Baru
Tadabbur QS. Ar-Ra‘d: 19 membawa kita pada kesimpulan penting:
Orang yang benar-benar mengenal kebenaran akan bergerak, bukan diam.
Ia akan hidup lebih sadar, lebih jernih, lebih teguh.
Ia tidak memisahkan logika dari iman, akademik dari ruhani, atau ilmu dari amal.
Ayat ini adalah undangan untuk menilai diri:
Apakah kita melihat? Atau sebenarnya kita masih buta?
Karena pada akhirnya, yang membedakan manusia bukanlah penampilan, jabatan, atau ritual—tetapi apakah ia hidup dalam cahaya wahyu atau dalam gelapnya hawa nafsu.
Ayat ini tidak meminta banyak dari kita. Ia hanya bertanya: Apakah engkau melihat?.
Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.



