KABARLAH.COM, Pekanbaru – Ada ayat yang berbicara tentang hukum, ada ayat yang menggugah rasa, ada ayat yang membuka horizon makna. Namun ada pula ayat yang hadir sebagai deklarasi kosmik—pernyataan yang tidak hanya menegaskan kebenaran, tetapi mengukuhkan struktur moral alam semesta. QS. Āli ‘Imrān: 18 adalah ayat semacam itu.
Ia bukan hanya memberikan informasi, melainkan menghadirkan kesaksian yang menggetarkan: kesaksian Allah atas keesaan-Nya, disertai para malaikat dan ditandatangani oleh para pemilik ilmu.
Dalam dunia akademik, ini adalah epistemologi tertinggi: sumber pengetahuan paling valid adalah kesaksian zat yang Maha Benar. Dalam dimensi filosofis, ia adalah fondasi metafisika tauhid. Dalam bahasa populis ruhani, ayat ini adalah panggilan untuk menyaksikan Allah dengan hati yang hidup.
Kesaksian Allah: Puncak Pengetahuan dan Sumber Kedamaian
“شَهِدَ اللّٰه” Allah bersaksi
Ayat ini dimulai dari sesuatu yang luar biasa: Zat yang tidak membutuhkan saksi justru menjadi saksi atas diri-Nya sendiri.
Secara filosofis, ini disebut “bukti diri” (self-evidence), kebenaran yang tidak membutuhkan pembuktian eksternal. Dalam tradisi sufi, ini dinamakan “syahādah al-Ḥaqq”—kesaksian Allah dalam hati, ketika hamba menyadari bahwa seluruh ketergantungan sejatinya hanya menuju satu arah.
Syekh Abdul Halim Mahmud mengibaratkan ayat ini sebagai cahaya yang “turun ke dalam ruh hingga membersihkan segala keraguan.” Maka orang yang membaca ayat ini bukan sekadar memahami, tetapi mengalami kedekatan: yakin tanpa gelisah, percaya tanpa goyah.
Ketika Allah bersaksi atas diri-Nya, itu adalah jaminan tertinggi bahwa hidup tidak berada di bawah kekacauan. Segala sesuatu berada di dalam orbit keesaan dan hikmah.
Kesaksian Malaikat: Alam Tunduk pada Ketauhidan
“وَالْمَلَائِكَةُ” — “dan para malaikat.”
Malaikat adalah personifikasi ketaatan murni. Dalam tadabbur ruhani, kesaksian malaikat menunjukkan bahwa struktur kosmos tunduk kepada tauhid. Tidak ada hukum alam yang berjalan tanpa izin-Nya. Tidak ada butir pasir bergerak tanpa kehendak-Nya.
Artinya: hidup manusia harus menyelaraskan diri dengan arus kosmik itu—arus tauhid. Jika hidup ditarik oleh hawa nafsu, maka itu bergerak melawan ritme alam semesta. Tetapi jika ditopang oleh tauhid, hati menjadi ringan, jiwa menjadi lapang.
Syekh Said Hawwa menyebut kesaksian malaikat sebagai “pengingat bahwa ada mata langit yang selalu menyertai hamba,” bukan untuk menakuti, tetapi untuk menjaga.
Kesaksian Ulul Ilm: Ilmu yang Berbuah Keadilan, Bukan Ego
“وَأُولُوا الْعِلْمِ” — “dan para pemilik ilmu.”
Ini adalah penghormatan spiritual-agamis paling luar biasa bagi ulama: disejajarkan dengan malaikat dalam kesaksian tauhid. Namun tidak semua yang berilmu mendapat kedudukan ini. Hanya ulul ‘ilm.
Ulul ‘ilm bukan sekadar orang yang menghafal, tetapi orang yang: Memahami hakikat, tunduk kepada petunjuk, menegakkan keadilan, memadamkan ego.
Mereka bukan ahli debat, tetapi ahli kebenaran. Mereka tidak memanfaatkan ilmu untuk dominasi, tetapi untuk menegakkan keseimbangan.
Syekh Sa‘id Ramadhan al-Buthi mengatakan:
“Kesaksian ulama dalam ayat ini adalah dasar legitimasi moral keilmuan.”
Ilmu yang tidak melahirkan keadilan adalah ilmu yang belum mencapai maqam ulul ‘ilm.
Menegakkan Keadilan: Pilar Dunia dan Akhirat
“قَائِمًا بِالْقِسْطِ” — “Allah menegakkan keadilan.”
Dalam perspektif akademik, ini menunjukkan bahwa tauhid adalah fondasi etika. Tidak ada monoteisme sejati tanpa komitmen moral. Dalam Islam, tauhid bukan hanya keyakinan metafisik; ia adalah struktur keadilan.
Keadilan di sini bukan sekadar keputusan hukum. Ia meliputi:
keadilan dalam cara memandang diri: tidak sombong, tidak merasa rendah diri,
keadilan dalam keluarga: memperlakukan dengan kasih bukan ego,
keadilan dalam dakwah: tidak menghakimi apalagi menindas,
keadilan dalam masyarakat: menolak kezhaliman walau yang menzhalimi adalah diri sendiri.
Syekh Said Hawwa menekankan bahwa qist adalah “indikator iman yang paling tampak.” Ketika seorang mukmin adil, ia sedang mengikuti jalan Allah. Ketika zalim, ia telah melawan arus tauhid.
Al-‘Azīz & Al-Hakīm: Dua Sayap Kesadaran Ruhani
Allah menutup ayat ini dengan dua sifat:
Al-‘Azīz (Maha Perkasa)
Makna kehambaan: tunduk, rendah hati, merasa kecil di hadapan kekuasaan-Nya. Ini melahirkan rasa takut yang sehat: takut berbuat dosa, takut kehilangan ridha Allah.
Al-Hakīm (Maha Bijaksana)
Makna kehambaan: ridha, yakin pada takdir, tenang dalam keputusan Allah. Ini melahirkan ketenteraman.
Gabungan keduanya menciptakan kepribadian seimbang: Takut tapi tidak panik, berharap tapi tidak lalai, tegas tapi tidak kasar, lembut tapi tidak lemah dan inilah buah tertinggi tauhid.
Tadabbur Praktis ala “Al-Qur’an Tadabbur & Amal”
Menekankan tiga seruan amal:
- Tadabbur Tauhid
Merenungi bahwa Allah satu-satunya tempat kembali.
- Menuntut Ilmu yang Melahirkan Adab
Agar layak termasuk ulul ‘ilm.
- Menegakkan Keadilan
Dimulai dari diri sendiri: jujur, amanah, adil dalam emosi dan keputusan.
Dr. HALO-N menyimpulkan ayat ini sebagai:
- deklarasi tauhid yang menjadi pusat gravitasi seluruh kehidupan,
- penjernihan batin dari segala selain Allah,
- ajakan menjadi saksi kebenaran melalui amal,
- panggilan untuk hidup stabil, seimbang, dan kuat,
- jalan untuk mencapai kepribadian tauhid: kokoh dan lembut.
Penutup
QS. Āli ‘Imrān: 18 berdiri sebagai pilar yang menyatukan tiga kekuatan: tauhid, ilmu, dan keadilan.
Allah bersaksi → fondasi iman.
Malaikat bersaksi → fondasi kosmik.
Ulul ilm bersaksi → fondasi peradaban.
Ayat ini mengembalikan manusia pada kesadaran paling agung: hidup hanya bermakna jika dijalankan dalam orbit tauhid. Dan tauhid baru sempurna jika melahirkan ilmu dan keadilan.
Siapa yang hidup dengan tiga pilar ini, maka ia tidak akan goyah oleh dunia, tidak akan terseret oleh hawa nafsu, dan tidak akan kehilangan arah. Karena ia berjalan dengan kesaksian langit, dan ia sendiri menjadi saksi di bumi.
Inilah tadabbur ayat kesaksian yang menghidupkan jiwa.
Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.



