BerandaInspirasiNasehatOase Dakwah: Antara Azab dan Tobat: Poros Keadilan dan Rahmat

Oase Dakwah: Antara Azab dan Tobat: Poros Keadilan dan Rahmat

spot_img

KABARLAH.COM, Pekanbaru – Ada ayat-ayat Al-Qur’an yang mengetuk hati kita dengan lembut, mengajak kembali kepada Allah seperti seorang ibu yang memanggil anaknya pulang. Ada pula ayat-ayat yang mengguncang kesadaran: keras, tegas, namun di balik ketegasannya tersimpan kasih. QS Al-Ahzab ayat 73 adalah ayat yang berdiri di tengah dua dunia itu—antara keadilan yang tegak dan kasih sayang yang memeluk.

Ayat ini adalah penutup surah Al-Ahzab, seperti titik akhir sebuah narasi panjang tentang amanah, kepemimpinan, keluarga, masyarakat, munafik, mukmin, dan perjuangan. Tetapi penutupnya tidak berupa kesimpulan teoretis. Ia adalah cermin moral. Ia meminta kita bertanya, di posisi mana aku berdiri? Dalam barisan yang menerima azab? Atau di sisi mereka yang ditarik pulang melalui pintu tobat?

Tadabbur tentang Dua Jalan: Sebuah Struktur
Keadilan

Ayat ini menyebut empat kelompok secara eksplisit:

  1. Munafik laki-laki dan perempuan
  2. Musyrik laki-laki dan perempuan
  3. Mukmin laki-laki dan perempuan

Dengan format yang simetris, Al-Qur’an sedang mengajarkan bahwa keadilan Allah tidak mengenal jenis kelamin, status sosial, keturunan, bahkan penampilan keagamaan. Yang dinilai adalah sikap hati dan arah hidup. Sebuah prinsip universal: tanggung jawab moral bersifat personal dan gender-netral.

Para mufasir seperti Ibn Katsir dan Al-Baghawi menegaskan bahwa penyebutan laki-laki dan perempuan adalah bentuk ta’kid (penegasan). Bahwa tidak ada satu pun manusia yang tidak tercakup oleh hukum moral Ilahi. Baik ia bersembunyi dalam kepura-puraan, ataupun menampakkan syirik secara terang, semuanya berada dalam radar keadilan Allah.

Kita sering membaca teks ancaman seperti ini dengan jarak psikologis—mengarah pada “mereka”. Padahal tadabbur menuntut kita untuk terlebih dahulu mengarah pada “aku”. Jika aku menampakkan kebaikan tetapi menyembunyikan ambisi-ambisi gelap, apakah itu bukan kemunafikan? Jika aku menggantungkan masa depan pada manusia lebih daripada Allah, apakah itu bukan syirik halus?

Ayat ini seolah berkata: “Sebelum menunjuk orang lain dengan tuduhan munafik, lihat dulu ke dalam.”

Azab: Realisme Moral dalam Kehidupan

Azab dalam logika Qur’ani bukanlah tindakan emosional Tuhan. Ia adalah konsekuensi natural, seperti panas akibat api. Bila seseorang hidup dalam kepalsuan, maka kepalsuan itu sendiri akan berubah menjadi ruang penyiksaan batin.

Imam al-Ghazali menyebut kemunafikan sebagai ikhtilaf al-zhahir wal-batin—retaknya kepribadian. Dan retakan itu menimbulkan kegelisahan yang terus-menerus. Ia tidak pernah utuh, tidak pernah damai. Sedangkan syirik dalam makna batin, menurut Ibn ‘Aṭā’illah, adalah ketergantungan kepada selain Allah. Dan ketergantungan itu akan membuat hidup seperti digiring oleh belenggu.

Maka ketika Allah menyebut azab bagi kelompok ini, bukan berarti Allah menciptakan siksaan baru. Justru Allah sedang mengabarkan akibat akhir dari jalan yang mereka pilih. Dalam bahasa studi etika kontemporer, ini disebut moral consequence—buah dari benih karakter yang ditanam manusia sendiri.

Tobat: Pelukan Rahmat yang Tidak Pernah Ditutup

Setelah menyebut azab, Allah langsung menggeser arah ayat dengan kata:
“wa yatūballāhu…” – dan Allah menerima tobat.”

Dalam banyak kitab, para ulama menyebut ini sebagai iltifāt rahmat, pembelokan gaya bahasa yang tiba-tiba memunculkan harapan setelah ancaman.

Said Hawwa menyebut bahwa tobat adalah “napas ruhani” seorang mukmin. Tanpa tobat, iman menjadi kering dan berdebu. Dengan tobat, iman kembali segar dan hidup.

Abdul Halim Mahmud menggambarkan tobat sebagai “kembali ke orbit ilahi”, seperti planet yang tersesat kemudian ditarik kembali oleh gravitasi matahari. Manusia yang bertobat kembali berada dalam orbit yang benar: orbit tauhid, orbit ketundukan.

Ramadan al-Buthi mengatakan bahwa ayat ini mendidik manusia dengan dua tangan: Tangan keadilan di satu sisi, tangan kasih di sisi lain.
Tegas tapi tidak sadis, lembut tapi tidak permisif. Ini poros teologi Sunni: rahmah tidak meniadakan keadilan, keadilan tidak menghapus kasih.

Perspektif Filsafat Qur’ani: Kebebasan, Konsekuensi, dan Pemulihan

Tadabbur ayat ini mengantarkan kita pada tiga prinsip filosofis:

A. Manusia bebas, tetapi tidak bebas dari konsekuensi

Ayat ini menolak dua ekstrem:
– fatalisme yang meniadakan tanggung jawab
– liberalisme moral yang menolak adanya akibat

Islam berdiri di tengah: pilihan bebas, konsekuensi pasti.

B. Keadilan melindungi tatanan moral alam

Jika kemunafikan dan kesyirikan tidak memiliki balasan, maka realitas moral runtuh. Kehidupan dunia akan dihuni oleh topeng-topeng, bukan kejujuran.

C. Tobat adalah mekanisme pemulihan eksistensial

Ini bukan sekadar ritual. Ia adalah rehabilitasi spiritual, penyembuhan psikologis, dan rekonstruksi identitas moral manusia.

Dalam pandangan Al-Qur’an Tadabbur & Amal, tobat adalah strategi hidup, bukan sekadar respons sesaat. Ia adalah tindakan sadar untuk kembali pada nilai asli manusia: kejujuran, ketauhidan, keikhlasan.

Dimensi Dr. HALO-N: Ayat yang Mengajak Melihat Diri

Dalam kajian Alfathu Nawa, Dr. HALO-N menyebut tiga dimensi ayat ini:

  1. Ayat sebagai cermin – bukan untuk mencari kesalahan orang lain, tetapi untuk menemukan retakan dalam diri.
  2. Tobat sebagai gerak dinamis – bukan sekadar penyesalan, tapi perbaikan arah.
  3. Rahmat mendahului azab – ayat ditutup dengan Ghafūr dan Rahīm, seakan Allah berkata:
    “Meski engkau jatuh, pintu-Ku tidak pernah tertutup bagimu.” Renungan : Dua Jalan yang Selalu Terbuka

Di dunia yang penuh ilusi hari ini—panggung pencitraan, kompetisi pujian, kepercayaan yang mudah digeser oleh kekuatan materi—QS Al-Ahzab:73 hadir sebagai kompas moral.

Ia mengingatkan kita bahwa:

– kemunafikan adalah racun kesadaran,
– kesyirikan adalah belenggu jiwa,
– tobat adalah pembebasan,
– dan rahmat Allah selalu lebih besar daripada dosa-dosa kita.

Ayat ini bukan ancaman, tetapi undangan untuk kembali. Bukan intimidasi, tetapi pendidikan.
Bukan penghakiman, tetapi pemulihan.

Dan pada akhirnya, tadabbur ayat ini menembus kesadaran kita: Setiap manusia sedang memilih: hidup dalam topeng atau hidup dalam kejujuran.
Hidup dengan belenggu atau hidup dalam cahaya.
Hidup menjauh, atau pulang kepada Allah. Allahu A’lam.

Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

WAJIB DIBACA

spot_img