KABARLAH.COM, Pekanbaru – Saudaraku yang dirahmati Allah, di antara inti ajaran para arif billah adalah jangan menoleh kepada makhluk, sebuah kalimat pendek namun menjadi pilar besar dalam perjalanan ruhani. Bukan berarti memutus hubungan sosial, bukan pula meninggalkan manusia.
Maknanya: jangan menggantungkan hati kepada siapa pun selain Allah, jangan berharap pada tangan manusia, jangan takut pada selain-Nya, dan jangan menjadikan penilaian manusia sebagai pusat hidupmu.
Syekh Abdul Qadir berkata dalam Fathur Rabbani:
“Jadilah engkau bersama makhluk dengan jasadmu, namun bersama Allah dengan hatimu. Jika engkau berharap, berharaplah hanya kepada-Nya; jika engkau takut, takutlah hanya kepada-Nya.”
Inilah maqam tajridul qalb: hati yang kosong dari ketergantungan duniawi dan penuh kebergantungan kepada Ar-Rahman.
Dalil Al-Qur’an: Kekuatan Tawakal dan Keteguhan Hati
“Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, maka Dia akan mencukupinya.”
(QS. Ath-Thalaq: 3)
Ayat ini menjadi pondasi utama: yang cukupkan kita hanyalah Allah, bukan manusia, bukan jabatan, bukan relasi, bukan dukungan. Bahkan Nabi Ibrahim `alaihis salam ketika dilempar ke dalam api hanya berkata:
“Hasbunallahu wa ni‘mal wakil.”
(QS. Ali ‘Imran: 173)
Ketergantungan kepada makhluk menjadikan hati sempit, namun bergantung kepada Allah menjadikan hati selapang langit.
Allah menegur kaum munafik karena terlalu takut pada manusia: “Kalian takut kepada mereka, padahal Allah lebih berhak untuk kalian takuti.”
(QS. At-Taubah: 13)
Ayat ini adalah terapi spiritual: siapa pun yang hidup karena pujian manusia akan mati oleh hinaan mereka. Tetapi siapa yang hidup untuk Allah, akan hidup dengan kemuliaan.
Sunnah Nabi: Hanya Allah yang Menguasai Takdir
Rasulullah SAW menyatakan dengan tegas:
“Ketahuilah, seandainya seluruh manusia berkumpul untuk memberi manfaat kepadamu, mereka tidak akan mampu kecuali apa yang Allah tetapkan untukmu.”
(HR. Tirmidzi — sahih)
Ini adalah deklarasi kebebasan hati: Tidak ada yang bisa menaikkan rezekimu, menjatuhkan martabatmu, menghalangi doa-doamu, atau memajukan urusanmu, kecuali Allah.
Maka Syekh al-Jailani menesehati murid- muridnya:
“Betapa lemahnya engkau, wahai manusia! Engkau meminta kepada makhluk yang miskin, padahal mereka tidak memiliki apa-apa untuk diri mereka sendiri.”
Makhluk Itu Lemah; Mengapa Kita Bergantung?
Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa makhluk adalah: lemah dalam memberi, tidak memiliki kuasa, terikat sebab akibat, dan berubah setiap saat.
Lalu bagaimana hati bisa kukuh kalau bersandar pada sesuatu yang rapuh?
Ibnu Athaillah rahimahullah menegaskan:
“Janganlah keinginanmu untuk diketahui manusia membuatmu jauh dari pandangan Allah kepadamu.”
Artinya: fokuslah pada penilaian Allah, bukan penilaian manusia. Karena manusia mudah berubah: hari ini memuji, besok mencela; hari ini mengangkat, besok menjatuhkan.
Makna “Tidak Menoleh Kepada Makhluk”
Pertama, Tidak berharap kepada mereka
Jika engkau mengharapkan ridha manusia, pengakuan manusia, pertolongan manusia, engkau akan selalu letih.
Kedua,Tidak takut kepada mereka
Takutlah kepada Allah, bukan takut dicela atau ditinggalkan. Takut kepada makhluk membuat dakwah melemah, amal menjadi pura-pura, dan hati menjadi budak penilaian.
Ketiga, Tidak bergantung pada sebab
Sebab hanyalah jembatan. Rezeki bukan dari bosmu, promosi bukan dari relasi, kesehatan bukan dari obat, dan jasa bukan dari manusia.
Semua itu hanyalah perantara. Yang memberi hakikatnya hanyalah Allah.
Keempat,Tidak menjadikan makhluk sebagai penentu kebahagiaan
Engkau bahagia karena Allah, bukan karena manusia memperlakukanmu baik.
Jalan Ruhani Para Arif billah : Hati Hanya Milik Allah
“Bersihkan hatimu dari selain Allah. Jika engkau telah jernih, maka lautan ketenangan akan mengalir ke dalammu.”
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah menambahkan:
“Ketika hati hanya menggantungkan diri kepada Allah, maka Allah cukupkan urusannya walau tanpa sebab yang ia duga.”
Para salihin sejalan:
Mereka berinteraksi dengan manusia, tapi hati mereka tidak pernah meminta selain kepada Allah. Mereka bekerja, bermuamalah, berdakwah, berjuang, tetapi hati mereka tetap bebas dari ketergantungan makhluk.
Manfaat Besar Tidak Menoleh Kepada Makhluk
Pertama, Hidup menjadi ringan
Karena tak lagi berharap pada pujian, komentar, atau bantuan manusia.
Kedua, Hati menjadi tenang
Karena hanya satu yang dituju: Allah, bukan seribu penilaian manusia.
Ketiga, Doamu lebih kuat
Karena Allah mencintai hati yang bersandar penuh kepada-Nya.
Keempat, Dakwah menjadi murni
Engkau berdakwah untuk Allah, bukan mencari popularitas atau pujian.
Kelima.Keberanian meningkat
Karena engkau tidak takut pada celaan siapa pun.
Bagaimana Praktik Mengalihkan Hati dari Makhluk?
Pertama. Perbanyak doa “Hasbunallah wa ni‘mal wakil.”
Latihan tawakal harian yang diajarkan Nabi.
Kedua. Tanyakan pada diri sebelum bertindak:
“Ini demi Allah atau demi manusia?”
Ketiga. Bersyukur diam-diam, memuji Allah secara pribadi
Agar hati terbiasa kembali ke sumber segalanya.
Keempat. Jangan mengemis cinta manusia
Jadilah pemberi, bukan pencari pengakuan.
Kelima. Hadirkan muraqabah
Rasakan Allah selalu melihatmu, maka pandangan manusia akan mengecil.
Akhiran: Hati yang Hanya Menoleh kepada Allah
Saudaraku, perjalanan ruhani bukanlah menjauh dari manusia, tetapi membersihkan hati dari ketergantungan kepada mereka. Engkau tetap bekerja, tetap dakwah, tetap berinteraksi, tetapi hatimu tegak berdiri di hadapan Allah semata.
Syekh Abdul Qadir mengatakan kalimat yang menggetarkan:
“Jika engkau milik Allah, maka seluruh makhluk akan melayanimu. Tetapi jika engkau milik makhluk, engkau akan tersesat dari Rabbmu.”
Semoga Allah menjadikan kita hamba yang hatinya hanya menoleh kepada-Nya, dan mengaruniakan kepada kita kekuatan tawakal, kemuliaan ridha, dan cahaya keteguhan iman. Aamiin.
Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.



