BerandaInspirasiNasehatOase Dakwah: Mengamalkan Al Qur'an

Oase Dakwah: Mengamalkan Al Qur’an

spot_img

KABARLAH.COM, Pekanbaru – Wahai jiwa-jiwa yang rindu Allah, ketahuilah, membaca Al-Qur’an tanpa mengamalkannya bagaikan menyalakan pelita tetapi tetap memilih berjalan dalam gelap. “Janganlah engkau jadikan Al-Qur’an hanya sebagai bacaan di lidahmu, tapi jadikan ia sebagai cahaya yang menembus hatimu. Karena Al-Qur’an bukan sekadar huruf dan suara, melainkan petunjuk yang menghidupkan ruh.” (syekh Al-Jailani).

Al-Qur’an: Petunjuk Hidup yang Menyala

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 2)

Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur’an bukan sekadar teks suci yang dibaca untuk pahala, melainkan manual kehidupan, pedoman langkah, cermin akhlak, dan cahaya hati. Barang siapa membaca tanpa memahami, maka ia seperti orang yang memegang surat cinta tanpa mengerti maknanya.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata:

“Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, bukan untuk dijadikan perhiasan lisan. Maka siapa yang hanya membacanya tanpa mengubah perilakunya, ia belum menunaikan hak Al-Qur’an.”

Mengamalkan Al-Qur’an berarti menjadikannya ukuran dalam setiap keputusan, perilaku, dan bahkan niat hati.

Rasulullah SAW Sebagai Al-Qur’an yang Hidup

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW menjawab:

“Kana khuluquhu al-Qur’an”, “Akhlaknya adalah Al-Qur’an.”
(HR. Muslim)

Inilah puncak pengamalan: ketika ayat-ayat suci bukan hanya dihafal, tapi menjadi darah dan daging perilaku. Rasulullah saw adalah Al-Qur’an yang berjalan. Ia tidak hanya membaca “Rahmatilah sesamamu”, tapi beliau menjadi rahmat itu sendiri.

Maka siapa pun yang ingin mengamalkan Al-Qur’an, hendaklah meniru Nabi dalam sabar, kasih sayang, tawakal, dan kejujuran. Sebab, meniru Rasulullah berarti menjelmakan Al-Qur’an dalam kehidupan nyata.

Mengamalkan dengan Hati Sebelum Anggota Tubuh

Banyak orang sibuk menghafal ayat, tapi lupa menanamkannya ke hati. Padahal Allah berfirman:

“Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an, ataukah hati mereka terkunci?”
(QS. Muhammad [47]: 24)

Syekh al-Jailani menjelaskan:

“Bacalah Al-Qur’an dengan hati yang hadir. Jika engkau membaca dengan lisan namun hatimu lalai, maka engkau tidak membaca melainkan sekadar bersuara. Bacaan yang benar adalah yang menyalakan rasa takut, harap, dan cinta kepada Allah.”

Jadi, amal Qur’ani bermula dari penghayatan batin: menggetarkan rasa taubat, menumbuhkan keikhlasan, menyalakan semangat amal.

Al-Qur’an dan Transformasi Jiwa

Mengamalkan Al-Qur’an berarti membiarkan firman Allah mengubahmu. Ia bukan sekadar dibaca saat tenang, tapi menjadi pedoman di saat gelisah.

“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk ke jalan yang paling lurus.”
(QS. Al-Isra’ [17]: 9)

Imam al-Ghazali berkata dalam Ihya’ ‘Ulumiddin:

“Tujuan tilawah bukan banyaknya huruf yang dilafalkan, tapi perubahan hati yang terjadi.”

Bila kita membaca ayat tentang sabar, namun tetap mudah marah, berarti ayat itu belum hidup dalam diri kita. Bila kita membaca tentang kasih sayang, tapi tetap keras hati, berarti kita belum mengamalkan.
Al-Qur’an menuntut perubahan, dari lalai menjadi sadar, dari sombong menjadi tunduk, dari cinta dunia menjadi cinta akhirat.

Cahaya Al-Qur’an di Tengah Zaman Gelap

Di era modern, manusia diserang oleh kebingungan, kecemasan, dan kekosongan makna. Banyak yang mencari petunjuk di luar wahyu, padahal Al-Qur’an telah menjadi “kompas ilahi” yang tak pernah pudar.
Allah menegaskan:

“Dan Kami turunkan Al-Qur’an sebagai penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
(QS. Al-Isra’ [17]: 82)

Syekh Al-Jailani memberi nasihat lembut:

“Jika engkau ingin hatimu sembuh dari penyakit, jadikan Al-Qur’an sebagai obatmu. Bacalah dengan cinta, renungkan dengan harap, dan amalkan dengan taat. Maka hatimu akan hidup.”

Begitulah cara para salaf: menjadikan Al-Qur’an bukan sekadar bacaan malam, tapi sumber kekuatan sepanjang hayat.

Cermin Ulama dan Pewaris Al-Qur’an

Ibn Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Kami dahulu tidak melampaui sepuluh ayat dari Al-Qur’an sebelum kami memahami maknanya dan mengamalkannya.”

Inilah metode Qur’ani yang hakiki, bukan sekadar banyak hafalan, tapi sedikit demi sedikit diserap, diamalkan, dan dijadikan karakter.

Syekh Ahmad az-Zarruq, berkata:

“Al-Qur’an adalah taman makrifat; siapa yang memasukinya tanpa adab, tidak akan menemukan buahnya.”

Mengamalkan Al-Qur’an menuntut adab: membaca dengan wudhu, tadabbur dengan khusyuk, mengamalkan dengan ikhlas, dan menyampaikan dengan kasih.

Buah dari Pengamalan: Nur dan Ketenangan

Rasulullah SAW bersabda:

“Perumpamaan orang mukmin yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkannya adalah seperti buah limau yang rasanya lezat dan baunya harum.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika seseorang mengamalkan Al-Qur’an, hidupnya menjadi harum: akhlaknya lembut, lisannya jujur, matanya menahan pandangan, tangannya dermawan, dan hatinya tenteram. Ia memancarkan nur karena Al-Qur’an telah menjadi jantungnya.

Ibn ‘Atha’illah al-Sakandari menulis dalam al-Ḥikam:

“Jangan berharap cahaya masuk ke hatimu sementara engkau tidak mengamalkan apa yang telah engkau ketahui dari Al-Qur’an.

Menjadi Insan Qur’ani

Mengamalkan Al-Qur’an bukan sekadar tugas ulama, tapi kewajiban setiap mukmin. Jadilah orang yang hidup bersama ayat-ayat Allah, dalam rumah, pekerjaan, dan perjuangan.

Ketika marah, ingatlah ayat: “Tahanlah amarahmu dan maafkanlah.”
Ketika sedih, dengarlah firman-Nya: “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
Ketika gelisah, genggamlah janji-Nya: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”

Inilah kehidupan yang Qur’ani, hidup yang tidak dipandu oleh ego, tapi oleh wahyu.

Hiduplah Bersama Al-Qur’an

Wahai hamba Allah, Syekh Abdul Qadir berpesan pesan:

“Barang siapa berpegang pada Al-Qur’an, niscaya ia tak akan tersesat. Barang siapa berpaling darinya, niscaya ia akan binasa.”

Maka, jadikan Al-Qur’an teman bicaramu setiap pagi, penenangmu setiap malam, dan pelita di jalan hidupmu.
Bacalah dengan cinta, pahami dengan akal, dan amalkan dengan seluruh jiwa.

Karena ketika Al-Qur’an hidup dalam dirimu, engkaulah yang menjadi cahayanya di dunia.

“Hiduplah dengan Al-Qur’an sebelum ajal menjemputmu, agar ketika engkau wafat, engkau dibangkitkan bersama para pecinta Al-Qur’an.”. Allahu ‘Alam.

Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

WAJIB DIBACA

spot_img