KABARLAH.COM, Pekanbaru – Segala puji bagi Allah SWT, Dzat Yang Maha Mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, saat terjadi, dan setelahnya. Dialah yang ilmu-Nya meliputi seluruh jagat raya, menembus yang lahir dan yang batin, yang tampak dan yang tersembunyi. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, manusia pilihan yang menjadi cermin dari ilmu dan hikmah Ilahi.
Allah, Sumber Segala Ilmu dan Pengetahuan
Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam Fathur Rabbani menegaskan bahwa ilmu Allah bukanlah hasil dari proses berpikir atau belajar seperti manusia. Ilmu Allah adalah dzatiyyah (melekat pada Dzat-Nya), tidak diawali oleh kebodohan dan tidak berakhir dengan kelupaan. Beliau berkata:
“Allah mengetahui segala sesuatu sebelum ciptaan itu ada, sebagaimana Dia mengetahui setelah ciptaan itu terjadi. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya.”
Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:
“Dan di sisi-Nya kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut.”
(QS. Al-An‘am [6]: 59)
Betapa dalam makna ayat ini: sebelum daun jatuh dari pohon, sebelum air laut bergelombang, sebelum lintasan pikiran terbit di hati manusia, semua telah diketahui oleh Allah SWT.
Ilmu Allah Meliputi Segala yang Tersirat dan Tersurat
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-Hujurat [49]: 18)
Pengetahuan Allah tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Ia mengetahui lintasan niat sebelum menjadi tindakan, mengetahui isi hati yang tak terucap, dan mengetahui rahasia yang kita sendiri belum menyadarinya.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menjelaskan bahwa ketika manusia memahami bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, maka ia akan merasa murāqabah, yaitu perasaan selalu diawasi dan disertai Allah. Inilah buah spiritual dari kesadaran terhadap ilmu Allah: hati menjadi lembut, jiwa menjadi waspada, dan amal menjadi ikhlas.
Ilmu Allah dan Kedalaman Rahasia Takdir
Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata:
“Segala sesuatu berjalan sesuai ilmu Allah. Tiada musibah, tiada nikmat, tiada keberhasilan, dan tiada kegagalan kecuali telah diketahui oleh Allah sejak azalinya. Maka beradablah engkau dalam setiap keadaan karena semua berjalan di bawah pandangan dan pengetahuan-Nya.”
Inilah hakikat iman kepada qadar. Allah telah mengetahui, menulis, menakdirkan, dan menciptakan seluruh kejadian dalam ilmu-Nya yang sempurna. Nabi Muhammad saw bersabda:
“Allah telah menetapkan takdir bagi seluruh makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi.”
(HR. Muslim)
Kesadaran ini bukan untuk meninabobokan usaha manusia, tetapi untuk meneguhkan jiwa agar tidak sombong saat berhasil dan tidak hancur saat gagal. Sebab, semua berada di bawah payung ilmu dan kehendak Allah yang Maha Bijaksana.
Refleksi Ruhani: Cermin Hati di Hadapan Ilmu Allah
Ketika seorang mukmin memahami bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, maka hatinya akan merasa malu untuk berbuat dosa, sekalipun tersembunyi. Ia akan menundukkan diri di hadapan ilmu Allah sebagaimana hamba yang berdiri di hadapan rajanya.
Imam Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah menulis dalam Madarij as-Salikin:
“Jika engkau sadar bahwa Allah mengetahui setiap gerak dan diam hatimu, maka malu dan takutlah engkau untuk menentang-Nya. Itulah hakikat ihsan: engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya; jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Oleh karena itu, pengetahuan Allah bukan hanya konsep teologis, tetapi pengalaman ruhani yang menumbuhkan taqwā dan murāqabah, dua cahaya yang membimbing manusia menuju kedekatan dengan-Nya.
Tantangan Zaman dan Kehilangan Kesadaran Ilahiyah
Di era modern ini, manusia dipuja karena kecerdasan dan pengetahuannya, tetapi sering lupa bahwa segala ilmu berasal dari Allah. Banyak yang merasa seolah menjadi “tuhan kecil” atas dunia digital dan sains, padahal mereka hanya memegang serpihan dari samudra ilmu Allah.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengingatkan:
“Barang siapa mengandalkan pengetahuannya tanpa menyandarkannya kepada Allah, maka ilmu itu menjadi hijab antara dia dan Tuhannya.”
Begitu pula Sayyid Qutb menulis dalam Fi Zhilal al-Qur’an:
“Ilmu yang tidak menuntun pada pengenalan kepada Allah akan berakhir menjadi kesombongan intelektual, dan kesombongan itu adalah bentuk kebodohan tertinggi.”
Jalan Kembali: Ilmu yang Menyatu dengan Cinta dan Takwa
Maka ilmu yang benar bukanlah sekadar menghafal ayat atau teori, melainkan mengenal Allah dan menundukkan diri di hadapan-Nya. Ilmu harus melahirkan adab — yakni kesadaran tempat diri di hadapan Yang Maha Mengetahui.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.”
(QS. Faṭir [35]: 28)
Maksudnya bukan sekadar orang berilmu secara akademis, tetapi mereka yang hatinya hidup oleh ilmu Allah. Imam Ibn ‘Aṭā’illah al-Sakandarī berkata dalam al-Ḥikam:
“Ilmu yang bermanfaat adalah yang menyinari hatimu, bukan sekadar memenuhi pikiranmu.”
Hening di Hadapan Samudra Ilmu Allah
Saudaraku, sadarilah bahwa setiap detak jantungmu, setiap napasmu, bahkan air mata yang menetes di pipimu — semuanya diketahui dan ditulis oleh Allah. Ilmu-Nya tidak jauh darimu; Ia bersamamu dalam setiap keadaan.
Maka berhentilah sejenak di hadapan kebesaran ilmu Allah — dengan rasa takjub, takut, dan cinta. Jadikan pengetahuan Allah sebagai cermin agar hati kita jernih dan amal kita tulus.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani menutup nasihatnya dengan kalimat lembut:
“Wahai anak Adam, jika engkau mengetahui bahwa Allah mengetahui, maka janganlah engkau sembunyikan sesuatu dari-Nya. Karena apa yang kau sembunyikan pun telah tampak bagi-Nya sejak engkau belum ada.”
Renungan
Ketika manusia merasa diketahui oleh Allah, ia tak lagi sibuk dengan citra, tapi dengan cinta. Tak lagi mencari pujian, tapi ridha-Nya. Dan di situlah letak kebebasan sejati, ketika pengetahuan Allah menjadi pelita di dalam jiwa.
Dalil Pokok:
QS. Al-An‘ām [6]: 59
QS. Al-Hujurat [49]: 18
QS. Fāṭir [35]: 28
HR. Muslim (No. 2653)
Ulama Rujukan:
Syekh Abdul Qadir al-Jailani – Fathur Rabbani
Imam al-Ghazali – Ihya’ Ulumiddin
Ibn al-Qayyim – Madarij as-Salikin
Ibn ‘Aṭā’illah – al-Ḥikam
Sayyid Qutb – Fi Zhilal al-Qur’an.
Allahu ‘Alam.
Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.



