KABARLAH.COM, Pekanbaru – Segala puji bagi Allah SWT, Dzat yang menggenggam dunia dan akhirat di tangan-Nya, yang menjadikan harta dan jabatan sebagai ujian, bukan ukuran kemuliaan. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad saw, sang teladan para zuhud sejati, yang hidup di tengah dunia namun hatinya hanya tertambat kepada Allah.
Banyak orang mengira zuhud berarti meninggalkan pekerjaan, menolak kekayaan, atau hidup miskin. Padahal, menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam Fatḥ al-Rabbani, zuhud bukanlah menjauhi dunia secara fisik, melainkan membersihkan hati dari cinta dan ketergantungan terhadap dunia. Dunia boleh berada di tanganmu, tetapi jangan biarkan ia bersarang di hatimu.
Makna Zuhud Sejati
Syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata:
“Jadilah engkau di dunia seperti seorang tamu yang singgah. Janganlah engkau menambatkan hati pada apa yang akan engkau tinggalkan.”
Zuhud bukan berarti menolak rezeki, tetapi menolak diperbudak olehnya. Dunia adalah jembatan, bukan tujuan. Ia seperti bayangan yang bergerak mengikuti cahaya, jika dikejar, menjauh; jika dijauhi, mengikuti.
Rasulullah saw bersabda:
“Zuhud di dunia bukan berarti engkau mengharamkan yang halal atau menolak rezeki, tetapi zuhud adalah engkau lebih yakin terhadap apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tanganmu.”
(HR. Ahmad, Ibnu Majah)
Imam Hasan al-Bashri menegaskan:
“Zuhud bukan dengan mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, tetapi dengan lebih yakin terhadap janji Allah dibanding apa yang di tangan manusia.”
Inilah keseimbangan yang diajarkan para wali: hidup di dunia, tapi hati terikat kepada akhirat. Dunia diatur, bukan mengatur. Dunia digunakan untuk ibadah, bukan diibadahi.
Ciri-ciri Orang Zuhud
Dalam Fatḥ al-Rabbani, Syekh al-Jailani menggambarkan tanda-tanda orang yang benar-benar zuhud:
Pertama. Tidak bersedih atas dunia yang hilang.
Ia sadar bahwa rezeki telah ditetapkan. Jika sesuatu luput darinya, ia yakin itu bukan bagian dari takdirnya.
Allah SWT berfirman:
“Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu melainkan telah tertulis dalam Kitab sebelum Kami menciptakannya.”
(QS. Al-Ḥadid [57]: 22)
Kedua. Tidak bangga atas dunia yang datang.
Saat kekayaan datang, ia bersyukur tapi tidak sombong. Dunia baginya seperti air laut, semakin diminum semakin haus.
Ketiga. Tenang di tengah kesempitan.
Ia tahu bahwa lapangnya hati lebih berharga dari lapangnya harta.
Keempat. Menggunakan dunia untuk amal saleh.
Ia menjadikan kekayaan sebagai sarana menolong, bukan bermegah.
Syekh al-Jailani menasihatkan:
“Gunakanlah dunia sekadar yang menegakkan jasadmu, dan janganlah engkau menjadikannya tujuan hatimu. Dunia itu seperti bayangan bila kau kejar, ia lari; bila kau jauhi, ia mengikuti.”
Zuhud di Tengah Kesibukan Dunia
Zuhud sejati adalah keseimbangan antara bekerja dan beribadah. Ia bukan melarikan diri dari dunia, melainkan hadir di dalamnya dengan hati yang tenang. Syekh al-Jailani menegaskan:
“Engkau boleh memiliki dunia, tetapi jangan biarkan dunia memiliki hatimu.”
Rasulullah SAW mencontohkan hal ini. Beliau berdagang, memimpin, menikah, dan berjuang, namun dunia tidak menodai jiwanya. Ketika rumah beliau kosong dari makanan, beliau berkata dengan tenang, “Aku berpuasa hari ini.”
Imam Abu Hamid al-Ghazali menjelaskan dalam Iḥya’ ‘Ulum al-Din:
“Zuhud bukan meninggalkan dunia sepenuhnya, tapi meninggalkan kecintaan pada dunia dari hati. Dunia tidak tercela kecuali jika menghalangi jalan menuju Allah.”
Jadi, seorang zuhud sejati bisa menjadi pedagang, pemimpin, atau ilmuwan dan lainnya selama ia tidak menjadikan dunia sebagai tuannya.
Langkah-langkah Menuju Zuhud
Syekh Abdul Qadir al-Jailani memberi tiga panduan agar hati bebas dari jerat dunia tanpa harus meninggalkannya:
Pertama. Tarbiyah Nafs (Melatih Nafsu).
Nafsu adalah akar keterikatan dunia. Didiklah dengan qana‘ah (merasa cukup), muhasabah (introspeksi), dan syukur.
Allah SWT berfirman:
“Agar kamu tidak bersedih atas apa yang luput darimu dan tidak terlalu gembira atas apa yang diberikan kepadamu.”
(QS. Al-Ḥadid [57]: 23)
Kedua. Muraqabah (Merasa Diawasi Allah).
Niatkan setiap pekerjaan dunia untuk Allah. Saat bekerja, berdagang, atau berkeluarga, hadirkan niat ibadah. Dengan itu, setiap langkah duniawi menjadi langkah menuju surga.
Ketiga.Tawakkal dan Ridha.
Hati yang ridha menjadikan dunia tunduk. Syekh al-Jailani berkata:
“Barangsiapa berserah diri kepada Allah, Allah cukupkan baginya. Dunia menjadi kecil baginya sebagaimana bayangan di bawah cahaya iman.”
Dunia di Tangan Para Wali
Para sahabat Nabi saw adalah teladan zuhud sejati. Abu Bakar kaya tapi rendah hati; Utsman kaya tapi dermawan; Abdurrahman bin Auf berdagang besar tapi hatinya tertuju kepada akhirat.
Imam Ibn Rajab al-Hanbali menjelaskan dalam Jami‘ al-‘Ulum wal-Ḥikam:
“Zuhud tidak berarti meninggalkan harta, tapi menggunakannya untuk taat kepada Allah dan tidak lalai oleh gemerlapnya.”
Syekh al-Jailani menegaskan bahwa para wali bukan orang yang menolak dunia, tetapi mereka yang menundukkan dunia. Ruh mereka bersama Allah meski jasad mereka hidup di tengah masyarakat.
Dunia di Tangan, Allah di Hati
Rasulullah SAW bersabda:
“Dunia ini penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.”
(HR. Muslim)
Artinya, dunia bukan tempat bersenang-senang, melainkan tempat ujian. Orang beriman menikmati dunia dengan adab, menggunakan nikmatnya untuk ketaatan, dan meninggalkannya dengan tenang.
Doa indah dari syekh Al-Jailani
“Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, bukan di hati kami. Jadikanlah kami menggunakannya untuk taat kepada-Mu, bukan untuk berpaling dari-Mu.”
Zuhud yang Menghidupkan
Zuhud sejati bukan pelarian, tapi pembebasan. Ia membebaskan hati dari perbudakan dunia, bukan dari tanggung jawab dunia. Dunia hanyalah jembatan menuju Allah, bukan tempat menetap.
Seperti dikatakan Ibn Atha’illah dalam al-Ḥikam:
“Bukanlah dunia yang tercela, tetapi dirimu yang terlalu terpaut padanya.”
Maka, peganglah dunia di tanganmu, letakkan Allah di hatimu. Siapa yang memiliki Allah, dunia akan tunduk di bawah langkahnya.
“Dunia hanyalah bayangan fana,
akhiratlah cahaya yang kekal.
Jangan kejar bayangan, kejarlah cahaya.”
- Disadur dari Fathur Rabbani, syekh Abdul Qadir Al-Jailani.
Allahu A‘lam.
Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab



