KABARLAH.COM, Pekanbaru – Segala puji bagi Allah SWT, Dzat yang menciptakan hati lalu mengisinya dengan cinta dan rasa takut. Cinta yang menenteramkan, dan takut yang menjaga dari kesesatan. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad saw, kekasih Allah yang paling sempurna cintanya dan paling dalam takutnya kepada-Nya, yang air matanya menetes bukan karena dunia, tetapi karena rindu dan hormat kepada Tuhannya.
Dalam Fatḥ ar-Rabbānī, Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengajarkan bahwa hakikat ibadah bukanlah sekadar gerak lahiriah, tetapi keseimbangan antara mahabbah (cinta) dan khauf (takut). Dua rasa ini adalah dua sayap seorang mukmin: cinta menumbuhkan harapan, takut menumbuhkan kehati-hatian. Siapa yang hanya memiliki cinta tanpa takut, akan terjerumus dalam kelalaian. Siapa yang hanya takut tanpa cinta, akan terjebak dalam keputusasaan. Maka, ibadah sejati adalah terbang menuju Allah dengan kedua sayap itu.
Cinta yang Menenangkan Jiwa
Cinta kepada Allah adalah pusat segala ketaatan. Bukan sekadar emosi, tapi bentuk tertinggi dari penyerahan diri.
“Tanda cinta seorang hamba kepada Allah adalah ia mendahulukan keridhaan-Nya di atas hawa nafsunya, dan ia merasa tenang hanya dengan menyebut nama-Nya.”
(Syekh Abdul Qadir, Fatḥ ar-Rabbānī, Majelis ke-21)
Cinta seperti ini bukan kata di bibir, tetapi api yang membakar segala selain Allah dari hati. Orang yang mencintai Allah tidak akan menentang kehendak-Nya, karena ia tahu, di balik perintah dan larangan ada kasih sayang Ilahi.
“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 165)
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan: “Cinta kepada Allah adalah dasar dari segala ketaatan. Ia adalah ruh dari amal, dan siapa yang kehilangan cinta, maka amalnya kering tanpa kehidupan.”
Cinta melahirkan kerelaan terhadap takdir, kesabaran dalam ujian, dan kerinduan untuk selalu dekat dengan Allah. Inilah cinta yang memuliakan, bukan membutakan.
Takut yang Menghidupkan Hati
Rasa takut (khauf) bukan berarti gentar atau ngeri semata, melainkan kesadaran mendalam akan kebesaran Allah.
“Takut kepada Allah bukan karena siksa-Nya semata, tetapi karena keagungan dan kebesaran-Nya. Lidah orang yang takut akan terkekang dari maksiat, dan hatinya sujud meski tubuhnya berdiri.”
(Fatḥ ar-Rabbānī, Majelis ke-18)
Rasa takut inilah yang menumbuhkan wara‘, kehati-hatian dalam setiap langkah. Bukan takut kehilangan dunia, melainkan takut kehilangan Allah dari hati.
“Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya, ada dua surga.”
(QS. Ar-Rahman [55]: 46)
Para ulama menjelaskan, dua surga itu bukan hanya di akhirat, tetapi juga di dunia: surga batin, berupa ketenangan dan kebahagiaan dalam ketaatan.
Imam al-Ghazali menulis dalam Iḥya’ ‘Ulumiddin: “Takut kepada Allah adalah cambuk yang menghalau jiwa dari kesombongan. Dan cinta kepada Allah adalah tali yang menarik jiwa menuju rahmat-Nya.”
Syekh al-Jailani mengingatkan:
“Jika engkau tidak lagi merasa takut ketika berbuat dosa, ketahuilah bahwa cintamu kepada Allah telah berkurang.”
(Fatḥ ar-Rabbani, Majelis ke-37)
Maka, takut yang benar bukan yang membuat gelisah, tetapi yang membuat hati berhenti di hadapan Allah dengan penuh taubat.
Ketika Cinta dan Takut Berjumpa
Rasulullah SAW. bersabda:
“Seandainya seorang mukmin mengetahui azab yang ada di sisi Allah, niscaya tidak seorang pun mengharap surga-Nya. Dan seandainya orang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, niscaya tidak seorang pun berputus asa dari rahmat-Nya.”
(HR. Muslim)
Hadits ini mengajarkan keseimbangan. Cinta membuat kita berharap, takut membuat kita waspada. Dua rasa ini bertemu dalam ruang hati yang bernama ma‘rifah, pengenalan hakiki kepada Allah.
Syekh al-Jailani menulis:
“Cinta tanpa takut adalah tipu daya nafsu, dan takut tanpa cinta adalah penyakit syaitan. Bila keduanya bersatu, lahirlah ma‘rifah dan taqwa.”
Syekh Ibn ‘Utsaimin rahimahullah, menjelaskan: “Iman seorang hamba bagaikan burung: kepala adalah cinta, sayap kanan adalah takut, dan sayap kiri adalah harapan. Bila salah satunya patah, burung itu tak akan bisa terbang.”
Buah Ruhani dari Cinta dan Takut
Syekh Abdul Qadir al-Jailani menyebut empat buah dari perpaduan cinta dan takut:
Pertama. Ikhlas, karena yang mencintai tidak mencari surga, dan yang takut tidak berhenti karena dunia.
Kedua. Tawakal, cinta menumbuhkan keyakinan, takut melahirkan kehati-hatian; keduanya bersatu dalam pasrah total.
Ketiga. Sabar dan Ridha, karena sabar adalah tanda cinta, dan ridha adalah puncak ketakutan yang penuh adab.
Keempat. Rindu kepada Allah, sebagaimana sabdanya:
“Cinta sejati melahirkan kerinduan. Siapa yang benar-benar mencintai Allah, ia akan merindukan kematian sebagaimana pengantin merindukan malam pertamanya.”
(Fatḥ ar-Rabbani, Majelis ke-51)
Menumbuhkan Cinta dan Takut
Bagaimana agar dua rasa ini tumbuh?
Perbanyak dzikir dan muraqabah, karena cinta hidup dari ingatan kepada Kekasih.
Jauhi dosa sekecil apa pun, sebab dosa kecil bisa mengeraskan hati yang lembut.
Perbanyak amal tersembunyi, karena cinta sejati tidak butuh tepuk tangan.
Bersahabat dengan orang-orang saleh, sebab hati yang takut akan menular pada hati yang lalai.
Imam an-Nawawi berkata: “Satu tangisan karena takut kepada Allah lebih berharga dari dunia dan seisinya, karena ia lahir dari cinta yang sadar dan takut yang jujur.”
Jalan Dua Sayap
Cinta dan takut kepada Allah bukanlah dua hal yang berlawanan, tetapi dua sisi dari iman yang hidup. Cinta mengajakmu datang kepada Allah dengan rindu, takut menahanmu agar tidak berlari menjauh. Bila keduanya seimbang, lahirlah ibadah yang khusyuk, amal yang tulus, dan jiwa yang tenang.
“Ya Allah, jadikan kami hamba yang mencintai-Mu tanpa lalai, dan takut kepada-Mu tanpa berputus asa. Jadikan cinta kami tirai yang menutup dari maksiat, dan takut kami cahaya penuntun menuju ridha-Mu.”
Wahai saudaraku, jika engkau ingin tahu seberapa dalam cintamu kepada Allah, lihatlah seberapa besar takutmu kehilangan-Nya. Dan jika engkau ingin tahu seberapa benar takutmu kepada Allah, lihatlah seberapa besar rindumu untuk mendekat kepada-Nya.
“Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah bagi orang yang takut kepada Tuhannya.”
(QS. Al-Bayyinah [98]: 8)
Allahu A‘lam.
Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.



