BerandaInspirasiNasehatOase Dakwah: Nasionalisme, Cinta Tanah Air dalam Bingkai Iman

Oase Dakwah: Nasionalisme, Cinta Tanah Air dalam Bingkai Iman

spot_img

KABARLAH.COM – Segala puji bagi Allah ﷻ yang menanamkan cinta dalam hati manusia, termasuk cinta kepada tanah air tempat ia dilahirkan, dibesarkan, dan merasakan kasih sayang keluarga. Shalawat dan salam tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad ﷺ, yang mengajarkan keseimbangan antara kecintaan kepada negeri dan kesetiaan kepada agama.

Nasionalisme: Antara Fitnah dan Fitrah

Saudaraku yang dirahmati Allah, di era modern ini, kata nasionalisme atau al-waṭaniyyah begitu sering kita dengar. Ada yang mengibarkannya tinggi-tinggi, menjadikannya semacam “agama baru” hingga melupakan Islam sebagai landasan hidup. Ada pula yang menolaknya habis-habisan, seolah cinta tanah air bertentangan dengan iman.

Nasionalisme atau al-waṭaniyyah adalah sebuah realitas yang tak mungkin diingkari. Manusia secara fitrah mencintai tanah airnya, sebagaimana seorang anak mencintai ibunya. Tetapi, cinta itu harus ditempatkan di jalur yang benar: tidak boleh menggantikan agama, melainkan harus berpadu dengan iman.

Nasionalisme Sempit yang Ditolak

Nasionalisme sempit (waṭaniyyah ḥaṣirah), yaitu nasionalisme ala Barat yang mengagungkan bangsa, ras, atau suku, lalu menjadikannya pengganti agama. Nasionalisme seperti ini melahirkan sikap ‘ashabiyyah—fanatisme buta—yang jelas dilarang Rasulullah ﷺ.

Beliau mengingatkan sabda Nabi ﷺ:
“Bukan dari golongan kami orang yang menyeru kepada ‘ashabiyyah, bukan dari golongan kami orang yang berperang karena ‘ashabiyyah, dan bukan dari golongan kami orang yang mati di atas ‘ashabiyyah.” (HR. Abu Dawud).

Itulah sebabnya penolakan nasionalisme yang menutup diri, yang membuat umat Islam lupa bahwa mereka memiliki ikatan yang jauh lebih agung: ukhuwah Islamiyyah lintas bangsa.

Nasionalisme yang Sejalan dengan Islam

Namun, penegasan bahwa cinta tanah air adalah fitrah yang selaras dengan Islam. Rasulullah ﷺ sendiri ketika hijrah meninggalkan Makkah berkata:

“Demi Allah, engkau (wahai Makkah) adalah negeri yang paling kucintai. Kalau bukan karena kaummu mengusirku darimu, niscaya aku tidak akan keluar.” (HR. Tirmidzi).

Cinta tanah air dalam Islam bukan sekadar slogan. Ia adalah dorongan iman untuk menjaga negeri, membelanya dari penjajahan, dan membangunnya agar menjadi tempat di mana syariat Allah Tuhan pemilik alam semesta ini ditegakkan.

Tiga Wajah Nasionalisme Islami

Imam Hasan al-Banna membagi nasionalisme Islami menjadi tiga bentuk utama:

  1. Al-Waṭaniyyah al-Ḥurriyyah (nasionalisme kebebasan)
    Membebaskan negeri dari penjajahan asing. Ini adalah bagian dari jihad fi sabilillah, sebab Islam tidak bisa tegak di negeri yang diperbudak.
  2. Al-Waṭaniyyah al-Taqaddum (nasionalisme pembangunan)
    Membangun negeri dengan ilmu, ekonomi, dan akhlak mulia. Umat Islam tidak boleh puas jadi bangsa yang lemah, tapi harus kuat, produktif, dan berwibawa.
  3. Al-Waṭaniyyah al-‘Uruwwah al-Islamiyyah
    Melihat tanah air sebagai bagian dari tubuh umat Islam yang besar. Persatuan dunia Islam adalah cita-cita, dan tanah air kita adalah salah satu tiangnya.

Nasionalisme sebagai Jalan Persatuan Umat

Bahwa cinta tanah air bukan tujuan akhir. Ia adalah sarana menuju tegaknya kalimat Allah. Nasionalisme Islami harus melahirkan kesadaran bahwa umat Islam adalah satu tubuh. Nabi ﷺ bersabda:

“Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta, kasih sayang, dan kelembutan mereka ibarat satu tubuh; jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh turut merasakan sakit dengan tidak tidur dan demam.” (HR. Muslim).

Karena itu, seorang Muslim sejati tidak hanya mencintai negerinya, tetapi juga peduli pada penderitaan Palestina, Suriah, Rohingya, dan umat Islam lain di mana pun mereka berada.

Suara Ulama Kontemporer

Syekh Yusuf al-Qaradawi menegaskan: “Hubbul waṭan minal iman bukan hadits Nabi, tetapi maknanya benar. Cinta tanah air adalah bagian dari iman bila diarahkan untuk menegakkan kebaikan, membela keadilan, dan melawan kezaliman.”

Syekh Ramadhan al-Buthi dalam Fiqh Sirah menulis, Rasulullah ﷺ mengajarkan cinta tanah air tanpa jatuh pada fanatisme buta. Beliau mencintai Makkah, tetapi ketika berpindah ke Madinah, beliau menjadikannya negeri yang diberkahi dengan doa dan perjuangan.

Bahkan Buya Hamka dalam Tasawuf Modern menyebut, cinta tanah air adalah ibadah bila dijadikan sarana untuk menegakkan Islam dan mengangkat martabat manusia.

Pelajaran untuk Indonesia Hari Ini

Saudaraku, mari kita renungkan.
Nasionalisme di Indonesia tidak boleh berhenti pada jargon atau seremoni. Ia harus diwujudkan dalam amal nyata:

menjaga kedaulatan negeri dari penjajahan ideologi sekuler dan liberal yang merusak,

membangun bangsa dengan ilmu, amal, dan akhlak,

serta menjadikan Indonesia benteng dakwah Islam rahmatan lil-‘alamin.

Cinta tanah air tanpa iman hanya melahirkan kebanggaan palsu. Sebaliknya, iman tanpa cinta tanah air membuat kita lalai terhadap amanah Allah berupa negeri yang harus dijaga.

Jadi, nasionalisme yang benar bukanlah menuhankan bangsa, melainkan menjadikannya amanah Allah. Kita mencintai negeri ini karena Allah, kita membelanya karena Allah, dan kita membangunnya demi tegaknya kalimat Allah swt.

Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang mampu menyeimbangkan cinta tanah air dengan cinta iman, sehingga negeri kita menjadi kuat, bermartabat, dan menjadi bagian dari kesatuan umat Islam yang besar.

“Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra‘d: 11). Wallāhu a‘lam.

Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

WAJIB DIBACA

spot_img