KABARLAH.COM – Di tengah kehidupan yang semakin materialistik, banyak kaum Muslimin menjalankan syariat sebatas rutinitas formal: shalat tanpa penghayatan, puasa tanpa takwa, zakat tanpa rasa kasih. Padahal, Syah Waliyullah al-Dahlawi dalam karya agungnya Hujjah Allah al-Balighah telah menyerukan dengan lantang: syariat bukan sekadar aturan, tapi pancaran hikmah Tuhan untuk membentuk peradaban dan menyucikan jiwa umat.
Syariat, menurut beliau, adalah sistem ilahi yang diturunkan bukan sekadar untuk ditaati, tetapi untuk difahami dengan akal, dihayati dengan hati, dan diamalkan dalam sistem sosial. Itulah makna dari nama kitab ini: hujjah (argumen) dan balighah (puncak, matang). Syariat adalah hujjah Tuhan yang paling puncak dalam membentuk manusia dan masyarakat yang rabbani.
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.”
(QS. Al-Anbiya: 107)
Ayat ini adalah titik tolak utama bagi Syah Waliyullah: bahwa syariat diturunkan sebagai bentuk kasih sayang, bukan beban. Maka setiap hukum—baik perintah maupun larangan—pasti menyimpan maslahat dan hikmah, baik yang terlihat (zahir) maupun yang tersembunyi (batin). Misalnya, zakat bukan semata menunaikan angka 2,5%, tapi latihan mengendalikan ego dan menumbuhkan empati sosial. Shalat bukan sekadar gerak, tapi penyambung ruhani dengan Sang Pencipta.
Nabi ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kalian, tetapi melihat hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)
Dengan itu, Syah Waliyullah mengajak kita tidak berhenti pada fiqh semata, tapi mendalami maqashid al-shari‘ah—tujuan-tujuan luhur syariat: melindungi agama, jiwa, akal, harta, dan kehormatan manusia. Maka hukum Allah tidak bisa dilihat sekadar dengan kacamata logika legalistik, tapi harus dilihat sebagai jalan menuju kesempurnaan ruhani dan kemuliaan sosial.
Zahir dan Batin: Dua Sayap Syariat
Salah satu warisan pemikiran paling berharga dari Syah Waliyullah adalah integrasi zahir dan batin. Ia tidak menolak hukum formal, tetapi memperingatkan bahaya “ritualisme kosong.” Syariat yang tidak disinari oleh ruh penghayatan akan mati, dan hanya melahirkan umat yang taat secara lahir, tapi rusak secara moral dan adab.
Imam Al-Ghazali pernah berkata:
“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan. Amal tanpa ilmu adalah kesesatan.”
(Ihya’ ‘Ulum al-Din)
Pemikiran ini diteruskan oleh para tokoh dakwah kontemporer seperti As-Syahid.Sayyid Qutb, yang dalam Fi Zilal al-Qur’an mengatakan:
“Syariat adalah manhaj (metode hidup) yang mengatur hati, jiwa, dan masyarakat sekaligus. Ia tidak terpisah antara spiritualitas dan politik.”
Senada dengan itu, Prof.Dr.Fathi Yakan dalam Māẓā Yakni Intimā’ī lil-Islām menekankan bahwa pemahaman terhadap hukum Islam harus menjadi energi perubahan dalam masyarakat, bukan hanya pengetahuan dalam kitab.
Begitulah semangat Syah Waliyullah: syariat sebagai jalan ruhani sekaligus proyek peradaban. Maka, umat Islam harus menumbuhkan kembali rasa cinta dan paham terhadap makna hukum Allah. Jangan sampai kita menjadi generasi yang terjebak dalam kulit syariat, tapi lupa akan ruhnya.
Taklif dan Amanah: Tanggung Jawab Umat
Konsep penting yang digarisbawahi Syah Waliyullah adalah taklif—bahwa syariat Allah adalah amanah yang disampaikan kepada manusia sebagai makhluk berakal. Taklif bukan beban, tapi bentuk kehormatan: bahwa kita ditugaskan menjadi khalifah di bumi dengan bekal wahyu.
“Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung… tetapi manusia yang memikulnya.”
(QS. Al-Ahzab: 72)
Konsep ini menjadi energi dakwah dan tarbiyah. Syariat harus menjadi basis gerakan umat untuk menegakkan keadilan, membela kebenaran, dan mendidik jiwa. Oleh karena itu, dalam gerakan dakwah kepada Allah menekankan pentingnya fikrah (ideologi), suluk (pembinaan), dan harakah (aksi)—semua berakar dari pemahaman syariat secara batin dan strategis.
Penutup
Hujjah Allah al-Balighah bukan sekadar kitab hukum, tapi peta jalan ruhani dan sosial umat Islam. Ia mengingatkan kita bahwa Allah menurunkan syariat bukan untuk membebani, tapi membimbing. Agar hidup kita selaras dengan hikmah Ilahi.
Sudah saatnya umat ini kembali menggali makna syariat secara utuh—menghidupkan hukum Allah di hati dan sistem sosial. Karena hanya dengan itu, kita bisa menjadi umat yang benar-benar rahmatan lil ‘alamin.
“Kami jadikan kalian umat pertengahan, agar kalian menjadi saksi atas manusia…”
(QS. Al-Baqarah: 143)
Allahu ‘Alam.
Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.