KABARLAH.COM, Pekanbaru – Ada ayat yang bila diletakkan di tengah persoalan bangsa, ia seperti “kunci” yang membuka akar masalah: bukan semata kemiskinan, bukan semata konflik kepentingan, tetapi retaknya amanah dan pudarnya keadilan. QS. An-Nisā’ (4): 58 tidak bertele-tele—Allah merangkum fondasi peradaban dalam dua kalimat: tunaikan amanah kepada ahlinya, dan bila memutus perkara, putuskan dengan adil.
Lalu Allah menutupnya dengan dua nama yang mengguncang batin: Samī‘ (Maha Mendengar) dan Baṣīr (Maha Melihat). Seolah Allah berkata: “Jangan kira amanah itu urusan manusia; Aku menyaksikan.”
Bahasa Populis: Dua paku penahan runtuhnya rumah dan negeri
Dalam bahasa umat, ayat ini seperti dua paku besar yang menahan agar rumah tangga tidak rubuh, lembaga tidak busuk, dan negara tidak runtuh: amanah dan adil. Amanah itu bukan cuma uang titipan. Amanah itu janji yang kita ucapkan, jabatan yang kita pegang, rahasia yang kita simpan, tugas yang kita emban, bahkan waktu dan tenaga yang kita “pinjam” atas nama orang lain. Dan adil bukan sekadar “tidak memihak”—adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya: yang berhak diberi haknya, yang salah ditertibkan, yang lemah dilindungi.
Ayat ini terasa dekat dengan keseharian: orang tua di rumah yang memutuskan antara anak-anaknya, pengurus lembaga yang menentukan pembagian tugas dan dana, pemimpin masyarakat yang menilai sengketa. Allah seperti menegur: jangan jadikan rasa suka-benci sebagai timbangan; timbanganmu harus adil. Karena ketika amanah bocor, yang hilang bukan hanya harta—yang hilang adalah percaya. Dan ketika percaya hilang, serapi apa pun program, ia akan runtuh di mata manusia.
Bahasa Akademik: “Induk hukum” tata kelola dan etika keputusan
Dalam pembacaan tafsir dan fiqh, para ulama klasik menegaskan keluasan makna al-amānāt: ia mencakup hak Allah dan hak manusia—mencakup harta, kesaksian, jabatan, keputusan, dan seluruh tanggung jawab sosial. Karena itu, Imam al-Qurṭubī menyebut ayat ini termasuk “induk hukum”: ia menggabungkan dua prinsip syariat paling mendasar—menjaga hak (amanah) dan menegakkan ‘adl saat memutus perkara. Ini bukan sekadar moralitas individual; ini arsitektur hukum sosial.
Dalam sejarah yang sering disebut, peristiwa pengembalian kunci Ka‘bah mengajarkan satu pesan: amanah harus kembali kepada ahlinya, bukan kepada yang paling dekat, paling kuat, atau paling berpengaruh. Ini prinsip anti-nepotisme sebelum istilah nepotisme dikenal. Dalam logika kebijakan modern, ayat ini menuntut the right person in the right place—kompetensi dan kelayakan, bukan hubungan dan transaksi. Lalu bagian kedua ayat menutup pintu “keadilan emosional”: keputusan tidak boleh dikendalikan oleh identitas, kedekatan, atau kepentingan, tetapi oleh ukuran benar yang bisa dipertanggungjawabkan.
Bahasa Filosofis: Amanah adalah metafisika kepemilikan; adil adalah etika kuasa
Secara filosofis, ayat ini menjelaskan: manusia bukan pemilik mutlak; manusia pemegang titipan. Amanah adalah metafisika kepemilikan: ada yang berada di tanganku, tetapi bukan milikku. Itu sebabnya pengkhianatan bukan hanya kesalahan teknis; ia pergeseran makna hidup—mengubah “titipan” menjadi “hak milik” seolah Allah tidak akan bertanya.
Adil adalah etika kuasa. Ketika nasib orang lain melewati lidah dan tanganku—ketika aku memutuskan, menilai, mengangkat, menolak—aku sedang memegang sepotong kuasa yang pada hakikatnya milik Allah. Maka adil adalah ibadah; ia bentuk ketundukan pada kebenaran yang lebih tinggi daripada ego. Dan penutup ayat—Samī‘ Baṣīr—adalah “mata batin” yang mengawasi: integritas bukan karena kamera, bukan karena audit manusia, melainkan karena Allah mendengar bisik niat dan melihat detail keputusan.
Makna Batin: Amanah dimulai dari hati—adil dimulai dari menaklukkan nafsu
Di sisi ruhiyah, amanah pertama bukan di tangan, tetapi di hati: iman, niat, dan kejujuran. Banyak orang tampak benar di luar, tetapi bocor di dalam—janji kepada Allah diingkari pelan-pelan. Ayat ini membangunkan: kembalikan yang bukan hakmu, termasuk “hak manusia atas kejujuranmu”—hak mereka untuk tidak ditipu, tidak dimanipulasi, tidak dijadikan korban pencitraan. Dan adil dimulai dari adil pada diri: mengakui bias, menahan nafsu, tidak memelintir dalih agama untuk membenarkan kepentingan.
Di sinilah semangat tarbiyah kontemporer terasa: iman tidak boleh tinggal sebagai rasa; ia harus menjadi disiplin pembinaan yang melahirkan manusia “layak memegang beban”. Sejalan dengan ruh Tadabbur & Amal, banyak orang berhenti pada tilawah dan hafalan, tetapi belum naik ke tadabbur dan amal. Padahal ayat ini justru meminta “buah”: karakter amanah dan keputusan yang adil—yang tampak nyata dalam cara kita memegang jabatan, cara kita mengelola uang, cara kita menilai orang, cara kita memperlakukan yang lemah.
Penguat sunnah: Amanah dan adil adalah jalan keselamatan
Nabi ﷺ menegaskan tanggung jawab: setiap kalian pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban—dari kepala keluarga sampai pemegang kuasa publik. Dan keutamaan adil disebutkan sebagai kedudukan mulia di akhirat. Bahkan tanda kemunafikan disebut: bila diberi amanah, ia berkhianat. Hadits-hadits ini menegaskan: amanah dan adil bukan “tambahan akhlak”; ia inti keselamatan iman.
Akhiran, Tadabbur yang menuntut langkah
Ayat ini tidak meminta kita sekadar kagum, tetapi berubah. Jika Anda ingin menguatkan umat—mulailah dari amanah paling kecil: jujur dalam yang tak terlihat. Jika Anda ingin menguatkan lembaga—kembalikan amanah kepada ahlinya: tempatkan orang berdasarkan kelayakan. Jika Anda ingin menguatkan negeri—tegakkan adil: jangan biarkan keputusan diatur oleh suka-benci. Dan ingat, Allah menutup ayat ini bukan dengan ancaman panjang, tetapi dengan dua nama yang membuat hati bergetar: Dia Mendengar. Dia Melihat. Maka amanah dan adil bukan hanya etika sosial; ia jalan keberkahan—di dunia dan di akhirat.
Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.



