BerandaInspirasiNasehatTadabbur QS Az Zukhruf (43):36, Saat Dzikir Ditinggalkan: Setan Menjadi Qarīn (Teman...

Tadabbur QS Az Zukhruf (43):36, Saat Dzikir Ditinggalkan: Setan Menjadi Qarīn (Teman Dekat) yang Menuntun ke Arah Salah

spot_img

KABARLAH.COM – وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَٰنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
Wa man ya‘shu ‘an dzikr-ir-Raḥmān nuqayyiḍ lahu shayṭānan fahuwa lahu qarīn.

“Siapa yang berpaling/menutup mata dari mengingat (Allah) Yang Maha Pengasih, Kami tetapkan baginya setan; maka setan itu menjadi teman dekatnya.”

Ada ayat yang bukan sekadar “peringatan”, tetapi diagnosis. QS. Az-Zukhruf:36 bukan hanya mengatakan “setan menyesatkan”, karena itu sudah semua orang tahu. Ayat ini menjelaskan mekanismenya: saat manusia ya‘shu—menutup mata, berpaling, mengabaikan—dari dzikir Ar-Raḥmān, maka hidup tidak dibiarkan netral. Kekosongan spiritual tidak pernah benar-benar kosong. Ia segera terisi oleh “pendamping” yang lihai: qarīn—teman dekat yang menempel, membisikkan tafsir, membangun narasi, dan pelan-pelan menggeser kompas.

Pendekatan populisnya begini: banyak orang mengira bahaya terbesar adalah maksiat besar. Padahal musibah paling halus adalah merasa wajar saat menjauh. Ada fase ketika dosa masih terasa dosa. Tapi ada fase lebih berbahaya: dosa berubah menjadi “kebiasaan”, bahkan “identitas”.

Di situlah qarīn bekerja: ia tidak selalu menyeret dengan kekerasan; ia cukup membuatmu berkata, “Tidak apa-apa.” “Nanti saja.” “Semua orang begitu.” “Aku masih baik kok.” Qur’an menggambarkan situasi setelahnya: seseorang disesatkan dari jalan, tetapi ia mengira dirinya berada di atas petunjuk. Itu puncak bencana: salah arah, tapi merasa benar.

Secara akademik, para mufassir klasik membaca ayat ini sebagai kaidah sunatullah: sebab–akibat ruhani. Kata ya‘shu memberi isyarat penting: bukan “tidak tahu”, melainkan mengabaikan dengan sadar; seperti orang yang menutup mata agar tidak melihat.

Maka konsekuensinya pun selaras: Allah “menetapkan” baginya setan sebagai qarīn. Ini bukan berarti Allah memaksa orang saleh menjadi sesat; tetapi ketika manusia memilih berpaling, ia dibalas dengan “pendamping” yang cocok dengan pilihannya—sebuah hukuman yang sekaligus memperlihatkan keadilan: siapa mematikan cahaya, ia akan ditemani gelap. Di sini, logika Qur’ani sangat presisi: keburukan bukan hanya tindakan, tapi keputusan batin untuk tidak hadir di hadapan Allah.

Pendekatan filosofisnya lebih dalam: ayat ini menyingkap “fisika batin”. Manusia selalu memerlukan pusat orientasi—sebuah kiblat makna. Jika kiblat itu bukan Allah, maka ia akan digeser oleh magnet lain: gengsi, syahwat, ketakutan, ambisi, atau sekadar “ingin diterima”. Dzikir, dalam makna Qur’ani, bukan hanya tasbih di lisan; ia adalah kesadaran yang menjaga pusat. Ia membuat manusia ingat: aku dicipta, aku diawasi, aku akan kembali, aku perlu petunjuk. Ketika pusat ini goyah, qarīn hadir sebagai “komentator permanen”: ia memberi penjelasan cepat untuk setiap dorongan nafsu, sehingga nafsu tampak rasional. Inilah yang membuat setan berbahaya: ia bukan hanya bisik “lakukan dosa”, tetapi bisik “dosa ini punya alasan yang baik.”

Makna batin ayat ini adalah undangan muhasabah yang jujur: Apa bentuk “berpaling”ku dari dzikir? Seringkali bukan meninggalkan total, tapi mengganti dzikir dengan distraksi: layar yang tak pernah selesai, obrolan tanpa arah, pikiran yang tak pernah kembali, bahkan ibadah yang dilakukan tanpa hadir hati.

Saat itu, setan tidak perlu mendorongmu ke jurang; ia cukup membuatmu lupa. Lupa adalah pintu paling mudah. Ia tidak terasa seperti dosa, padahal ia akar dosa. Karena hati yang lupa akan kehilangan rem, dan rem itu bernama dzikir.

Di sinilah pelajaran tarbiyah ruhiyah menjadi relevan. Syekh Sa‘īd Hawwa menekankan bahwa tazkiyah harus terukur oleh Qur’an dan Sunnah: dzikir, tilawah, muraqabah, mujahadah bukan aksesori emosi, melainkan disiplin yang melindungi arah. Tanpa disiplin, iman mudah berubah menjadi “suasana hati”; dan suasana hati mudah dikendalikan qarīn.

Syekh Abdul Halim Mahmud, dalam tradisi Azhari yang menekankan tasawuf Sunni, menaruh fokus pada penyembuhan hati melalui Qur’an dan dzikir yang sahih: dzikir bukan pelarian dari realitas, tetapi pemurnian pusat agar realitas dibaca dengan mata yang jernih.

Sementara Syekh Ramadhan al-Būṭī sering menekankan adab: dzikir tidak hanya bunyi, tapi kesadaran yang melahirkan ketaatan; jika dzikir tidak menahanmu dari maksiat, maka yang terjadi hanyalah “lafaz tanpa penjaga”.

Lalu bagaimana “Tadabbur & Amal” dibaca dalam ayat ini? Prinsipnya sederhana: tadabbur harus turun menjadi sistem amal. Sebab ayat ini bicara tentang hukum yang konsisten: berpaling → qarīn. Maka obatnya pun perlu konsisten: dzikir → penjagaan. Tidak cukup mengandalkan momen “ingin berubah”; yang memutus rantai qarīn adalah ritme: tilawah harian, dzikir pagi-petang, shalat berjamaah (bila mampu), istighfar yang rutin, dan lingkungan yang menolong. Iman yang dijaga dengan sistem lebih sulit ditembus oleh narasi setan.

Akhirnya, ayat ini menutup satu ilusi: “Aku bisa netral.” Tidak. Dalam urusan hati, netral adalah jeda singkat sebelum ditarik ke salah satu arah. Maka penutup tadabbur yang benar bukan sekadar rasa takut, tetapi keputusan yang kecil dan nyata:

  1. Di titik mana aku ‘ya‘shu’ dari dzikir Ar-Raḥmān belakangan ini? (lalai, menunda, mengganti dengan distraksi). Narasi apa yang paling sering jadi qarīn-ku? (“nanti saja”, “capek”, “semua orang begitu”, “aku aman”)
  2. Satu langkah hari ini: isti‘ādzah sebelum tilawah + 10 menit dzikir/tilawah yang konsisten—kecil tapi rutin.

Karena yang rutin itulah yang memutus “teman dekat” yang menyesatkan. Dan ketika dzikir kembali menjadi pusat, qarīn kehilangan kursinya.

Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

WAJIB DIBACA

spot_img