KABARLAH.COM – نَحْنُ قَدَّرْنَا بَيْنَكُمُ ٱلْمَوْتَ وَمَا نَحْنُ بِمَسْبُوقِينَ
Arab-Latin: Naḥnu qaddarnā bainakumul-mauta wa mā naḥnu bimasbụqīn
“Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-sekali tidak akan dapat dikalahkan”.
Ada ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang tidak hanya menyentuh nalar, tetapi juga memukul hati dengan lembut: QS. Al-Wāqi‘ah: 60 adalah salah satunya. Dua potong kalimat, sangat singkat, namun mengandung konsep paling fundamental dalam peradaban iman: Allah-lah yang menetapkan kematian, dan tidak ada satu pun yang mampu mengalahkan ketetapan itu.
Ayat ini bukan sekadar informasi teologis; ia adalah terapi ruhani bagi jiwa modern yang penat, gelisah, dan haus kepastian. Ketika dunia memaksa kita untuk mengontrol segalanya—usia, kesehatan, pekerjaan, pencapaian—Al-Qur’an mengingatkan: ada satu hal yang sama sekali tidak bisa kau kontrol, namun justru itulah yang membebaskanmu dari kecemasan terbesar: maut.
Perspektif Populis: Hidup Menjadi Lebih Jernih Ketika Kita Ingat Akhirnya
Bahasa paling sederhana yang ingin disampaikan ayat ini adalah:
“Hidupmu sudah Allah atur waktunya. Jangan takut, jangan panik. Tugasmu adalah mengisi, bukan mengatur akhirnya.”
Masyarakat awam tidak membutuhkan penjelasan filosofis untuk memahami pesan ini; cukup dengan kesadaran praktis bahwa hidup itu terbatas, dan keterbatasan itulah yang membuat setiap menit berharga.
Jika kita sadar bahwa umur adalah pinjaman, maka: keluhan menjadi lebih sedikit, syukur menjadi lebih besar, dosa terasa lebih memalukan, amal terasa lebih mendesak.
Ayat ini seperti menepuk bahu manusia yang lelah mengejar dunia:
“Jangan takut soal umurmu. Takdir sudah ditetapkan. Yang penting adalah nilai hidupmu.”
Kesadaran ini memberi ketenangan yang tidak bisa dibeli teknologi, dokter, atau kekayaan.
Perspektif Akademik: Qadar, Ajal, dan Etika Kesadaran Waktu
Secara ilmiah–akademik, ayat ini memuat dua konsep teologis penting:
(1) Taqdīr Kaunī
Kata qaddarnā mengandung aspek “pengaturan yang presisi”. Dalam bahasa tafsir al-Ṭabarī, ia berarti:
“penetapan sistem hidup–mati yang tidak mungkin berubah.”
Ini bagian dari sunnatullah yang berlaku pada seluruh makhluk.
(2) Ajal Musammā
Ayat ini sejalan dengan QS. 7:34:
“Bagi setiap umat ada ajal; tidak dapat mereka mendahuluinya atau menundanya.”
Dalam studi etika Qur’ani, kesadaran ajal melahirkan konsep time ethics: bahwa waktu adalah modal moral. Manusia tidak bisa memperluas modal itu, tapi sepenuhnya bertanggung jawab atas cara memakainya.
Para mufassir menekankan bahwa ayat ini bukan hanya mengajarkan kepastian mati, tetapi juga urgensi hidup dengan kesadaran.
Inilah yang disebut oleh al-Būṭī sebagai “ikhtiyār fi marḥalat al-ajal”: kebebasan memilih amal sebelum takaran usia habis.
Perspektif Filosofis: Maut sebagai Transformasi Eksistensi
Dari sudut pandang falsafi, ayat ini membahas inti eksistensi manusia. Dalam filsafat wujud ala para imam tasawuf—al-Ghazālī, al-Qusyairī, Ibn ‘Aṭā’illah—hidup bukan perjalanan linear, tetapi transisi antara tiga fase:
- Hudūth – Kita diciptakan.
- Fanā’ – Kita lenyap dari dunia.
- Baqā’ billāh – Kita kekal bersama Allah dalam kehidupan akhirat.
Maut bukan pemutus eksistensi, tetapi transporter:
“Perpindahan dari dunia bayangan menuju dunia keaslian.”
Di sinilah hikmah ayat ini bersifat membebaskan. Ketika Allah berkata:
“Kami telah menetapkan kematian… dan Kami tidak akan dikalahkan,”
yang sebenarnya Dia katakan adalah:
“Wahai manusia, tempat kembalimu sudah aman. Engkau tidak hidup tanpa tujuan, dan tidak mati tanpa makna.”
Kesadaran ini menghapus absurditas hidup—sesuatu yang oleh para filsuf modern dianggap sebagai kecemasan manusia terbesar.
Perspektif Ulama Klasik dan Kontemporer
Syekh Said Hawwa
Ayat ini adalah pusat latihan ruhani:
“Siapa yang benar-benar mengingat maut, ia hidup dengan serius dan mati dengan tenang.”
Bagi Said Hawwa, kesadaran ajal adalah “energi dakwah”: hanya orang yang sadar maut yang dapat bekerja besar untuk umat.
Abdul Halim Mahmud (Syekh al-Azhar)
Beliau menyebut maut sebagai:
“puncak tarbiyah ruhani; ia mencabut cinta dunia dari akar-akarnya.”
Orang yang ingat maut menjadi lembut, rendah hati, dan penuh adab.
Ramadan al-Būṭī
Beliau menulis:
“Ajal adalah takaran kesempatan. Dan hamba tidak tahu kapan takarannya habis.”
Karena itu, taubat tidak boleh ditunda.
Metode Al-Qur’an Tadabbur & Amal
Ayat ini memberi tiga pedoman praktis:
- Jaga niat setiap hari – umur adalah amanah yang harus disempurnakan.
- Jangan menunda amal – penundaan adalah kebiasaan orang yang lupa ajal.
- Hidup dengan rencana amal – bukan hanya rencana dunia.
Dr. HALO-N (al-Fathun Nawa)
Beliau merangkum ayat ini dalam empat prinsip:
- Qaddarnā = umur dan peluang adalah ukuran Allah. Gunakan peluang sekecil apa pun.
- Maut = pemutus kelalaian; mengingatnya memperbaiki adab.
- Tidak terkalahkan = ketenangan. Hamba tidak perlu cemas; semua sudah berada dalam rencana-Nya.
- Setiap nafas adalah modal suluk – mengatur nafas adalah mengatur perjalanan menuju Allah.
- Penutup: Ketetapan yang Membebaskan
Tadabbur ayat ini mengajarkan bahwa ajal adalah ketetapan yang menenangkan, bukan menakutkan. Kesadaran bahwa hidup memiliki batas bukan melemahkan, justru menguatkan. Ia menjadikan manusia: lebih fokus, lebih jujur, lebih produktif, lebih lembut hatinya, dan lebih siap bertemu Allah dengan wajah yang tenang.
QS. Al-Wāqi‘ah: 60 bukan ayat tentang berakhirnya hidup, tetapi tentang dimulainya kesadaran.
Ketika manusia menyadari kematian, barulah ia benar-benar hidup. Allahu A’lam.
Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.



