BerandaInspirasiNasehatTadabbur QS Al Muddatsir 1-4: “Bangkit, Besarkan Rabb-mu, Sucikan Pakaianmu”

Tadabbur QS Al Muddatsir 1-4: “Bangkit, Besarkan Rabb-mu, Sucikan Pakaianmu”

spot_img

KABARLAH.COM, Pekanbaru – Ada saatnya seorang hamba memang perlu “berselimut”, menenangkan diri, menyusun nafas, menyembuhkan luka batin, menata kembali langkah. Tetapi Al-Qur’an mengingatkan, ada batas ketika selimut itu harus dilipat.

Di titik itulah turun seruan yang menggetarkan hati Rasulullah ﷺ sekaligus menggugah seluruh generasi setelahnya:

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
قُمْ فَأَنْذِرْ
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

“Wahai orang yang berselimut (bersarung)! Bangkitlah, lalu berilah peringatan. Dan Rabb-mu, maka agungkanlah Dia. Dan pakaianmu, maka sucikanlah.”

Empat kalimat pendek ini, jika ditadabburi dengan jernih, sebenarnya memuat peta jalan hidup seorang mukmin: bangkit, peduli, mengagungkan Allah, dan menata kebersihan diri. Di sinilah kita melihat bagaimana Al-Qur’an berbicara sekaligus sebagai kitab hukum, kitab jiwa, dan kitab peradaban.

Secara akademik, para mufassir menjelaskan konteksnya: Rasulullah ﷺ baru saja melewati guncangan besar pertemuan dengan Jibril. Rasa takut, takjub, dan letih membuat beliau minta diselimuti. Menariknya, Allah memanggil beliau dengan keadaan yang sedang beliau alami: “Yā ayyuhal-muddats-tsir” – wahai yang berselimut. Ini panggilan penuh kelembutan.

Namun setelah panggilan lembut, datang perintah tegas: “Qum fa-andzir.” Seolah Allah berkata, “Aku tahu lelahmu, tetapi misi ini terlalu besar jika engkau terus tinggal di balik kain.”

Di sini terbaca jelas logika Qur’ani: kontemplasi itu perlu, tetapi tidak boleh berubah menjadi pelarian. Berapa banyak orang yang bertahun-tahun bersembunyi di balik kalimat “saya sedang memperbaiki diri”, padahal sejatinya ia hanya menunda untuk memikul tanggung jawab? Ayat ini memutus pola tunda-tunda itu: “Bangkitlah, lalu berilah peringatan.” Kebenaran yang hanya disimpan di dalam catatan dan kepala, tanpa pernah diubah menjadi langkah dan suara, pada akhirnya menjadi selimut tebal yang membuat kita nyaman dalam kejumudan.

Namun Al-Qur’an tidak berhenti di “bergeraklah”. Gerak pun harus punya kiblat. Di sinilah masuk kalimat berikutnya: “Wa rabbaka fakabbir.” Di tengah hiruk-pikuk aktivisme, mudah sekali seseorang tanpa sadar membesarkan selain Allah: membesarkan nama kelompok, tokoh, lembaga, atau bahkan membesarkan dirinya sendiri. Maka perintah ini datang seperti koreksi halus: “Dalam semua perjuanganmu, yang harus paling besar di mata dan di hatimu hanyalah Rabb-mu.”

Pada tataran filosofis, ini adalah revolusi cara pandang. Kita tidak diminta meninggalkan dunia, tapi diminta melapisi seluruh aktivitas dunia dengan kesadaran bahwa Allah-lah yang tertinggi. Takbir bukan hanya lafaz di awal salat, tapi keputusan-keputusan berani di titik-titik genting: berani menolak yang haram ketika semua orang menganggapnya biasa; berani berkata “cukup” di tengah budaya “tambah lagi”; berani mengutamakan ridha Allah daripada tepuk tangan manusia.

Lalu datang kalimat yang mungkin tampak “kecil”, tapi sesungguhnya sangat besar: “Wa tsiābaka fathaḥhir” – pakaianmu, maka sucikanlah. Di level fikih, ini adalah perintah menjaga kebersihan lahir: pakaian yang suci dari najis, penampilan yang rapi dan terhormat. Dakwah tidak layak tampil dalam wajah yang kumuh dan sembarangan.

Namun para ulama juga membaca kata tsiāb sebagai lambang amal dan kepribadian. Seakan ayat ini berkata: “Bersihkan ‘pakaian moralmu’. Jangan biarkan ia robek oleh dusta, ternoda oleh riya, atau dipenuhi noda kemunafikan.”

Dalam perspektif ruhani, ini berarti membersihkan identitas batin. Kita boleh saja memakai gamis, jubah, atau atribut agama apa pun, tetapi jika hati masih dipenuhi dengki, sombong, dan cinta dunia yang berlebihan, sebenarnya kita hanya sedang mengganti model selimut, bukan melipatnya.

Di sinilah tajamnya peringatan batin: jangan menempelkan ayat Allah di pakaian jika pakaian hati masih sengaja dibiarkan kotor oleh maksiat yang dicintai.

Para tokoh tarbiyah kontemporer melihat empat ayat ini sebagai kurikulum kader. Said Hawwa, Ramadhan al-Būṭī, dan Abdul Halim Mahmud sama-sama menekankan bahwa sebelum seseorang menyampaikan peringatan kepada manusia, ia harus melewati tiga lapis: bangkit secara spiritual, membesarkan Allah dalam visi hidupnya, dan menempuh jalan tazkiyatun-nafs.

Namun mereka juga mengingatkan bahaya jebakan lain: menjadikan “saya belum suci” sebagai alasan abadi untuk tidak pernah turun ke gelanggang. Padahal Al-Qur’an mengajarkan keseimbangan: sucikan dirimu sambil tetap mengingatkan orang lain. Prosesnya paralel, bukan bergiliran menunggu “sempurna”.

Pendekatan Al-Qur’an Tadabbur & Amal dan rumusan Alfathu Nawa menolong kita menjadikan tadabbur ini lebih praktis. Iqra’ – baca dulu kondisi diri dan umat: di mana kita sedang berselimut, apa yang kita agungkan, seberapa kotor pakaian batin kita. Lalu tafṣīl – rincikan langkah kecil tapi nyata: tetapkan satu “Qum” harian (bangun malam, mengajar, menulis, melayani), latih “Fakabbir” dengan berani menolak satu bentuk haram di lingkungan kita, dan mulai “Fathaḥhir” dengan disiplin menjaga wudhu, pandangan, dompet, dan lisan.

Pada akhirnya, ayat-ayat ini mengajukan satu pertanyaan tajam: apakah kita sedang hidup sebagai “al-muddats-tsir” yang betah berselimut, atau sedang berproses menjawab perintah “Qum fa-andzir, wa rabbaka fakabbir, wa tsiābaka fathaḥhir”?

Semoga Allah mengizinkan kita melipat selimut kelalaian, menegakkan diri di hadapan-Nya, membesarkan hanya Dia, dan melangkah di jalan dakwah dengan pakaian lahir-batin yang terus kita sucikan.

Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

WAJIB DIBACA

spot_img