KABARLAH.COM, Pekanbaru – Di antara pertanyaan terbesar dalam dunia dakwah adalah: “Bagaimana seorang da’i berdakwah?”
Memerlukan jawaban yang tepat dan jernih: sebab da’i bukan sekadar penyampai pesan, tetapi pembawa cahaya yang hidup dalam hatinya sendiri sebelum keluar dari lisannya.
Gerakan dakwah para da’i ilallah, selalu dimulai dari jiwa yang tersambung dengan Allah, dan dari hati yang bersih itulah lahir ucapan yang menggerakkan umat.
Dakwah Dimulai dari Tauhid dan Keikhlasan
Setiap da’i harus merapatkan niat: bahwa dakwah bukan untuk citra, bukan untuk pengikut, bukan untuk kepentingan dunia, tetapi semata-mata karena Allah.
Allah berfirman:
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ
“Katakanlah: Inilah jalanku, aku menyeru kepada Allah dengan bashirah (ilmu dan kejelasan).”
(QS. Yusuf: 108)
Ayat ini menegaskan dua prinsip:
Pertama: menyeru kepada Allah, bukan kepada golongan
Kedua: dengan bashirah, bukan sekadar semangat tanpa panduan.
Ibn al-Qayyim berkata:
“Keikhlasan adalah ruh dakwah. Bila ruhnya mati, matilah dakwah itu meski lisan masih berbicara.”
Dalam manhaj para da’i rabbani, syekh al- Banna menyatakan:
“Perbaikilah dirimu, maka masyarakat akan baik dengan sendirinya.”
Ini fondasi, dakwah dimulai dari diri sendiri.
Dakwah dengan Akhlak Sebelum Lisan
Rasulullah SAW bukan hanya berbicara, tetapi menjadi contoh. Allah memuji beliau:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Sungguh engkau berada di atas akhlak yang agung.”
(QS. Al-Qalam: 4)
Ketika akhlak menjadi basis dakwah, manusia menerima pesan sebelum menerima kata-kata. Syekh Abdullah ‘Ulwān menekankan bahwa keteladanan adalah pilar dakwah; tanpanya, dakwah menjadi kering dan kehilangan ruh.
Seorang syekh dan da’i rabbani juga pernah berkata:
“Satu akhlak yang benar lebih dahsyat dari seratus khutbah yang memekakkan telinga.”
Akhlak itu bukan topeng, tetapi hasil mujahadah, ibadah malam, puasa sunnah, dan latihan jiwa yang panjang.
Dakwah dengan Ilmu yang Shahih
Dakwah tanpa ilmu mudah terseret hawa nafsu, polemik, dan kesalahan manhaj. Allah memperingatkan:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwa tiada ilah selain Allah…”
(QS. Muhammad: 19)
Perintah “berilmu” datang sebelum perintah “berdakwah.”
Syekh Abdullah menekankan:
“Da’i harus faqih dalam agama, mengetahui halal-haram, paham tentang jiwa manusia, dan mampu menjelaskan dengan bahasa yang dipahami umat.”
Dalam ruh gerakan para da’i rabbani, ilmu bukan sekadar teks, tetapi harus menjadi kesadaran hidup, petunjuk amal, dan energi perubahan.
Dakwah dengan Hikmah, Sabar, dan Kelembutan
Allah memerintahkan:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik.”
(QS. An-Nahl: 125)
Hikmah berarti tepat sasaran, tepat waktu, dan tepat nada. Menurut Al-Hasan al-Bashri ra :
“Hikmah adalah ucapan yang mengena di hati, pada waktu yang tepat, dan dengan niat yang murni.”
Da’i tidak boleh kasar, meski menghadapi kebodohan. Allah pun memerintah Nabi Musa untuk berkata lembut kepada Fir’aun:
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا
“Katakan kepadanya perkataan yang lembut.”
(QS. Thaha: 44)
Jika Fir’aun saja diperintahkan dengan kelembutan, bagaimana dengan saudara-saudara kita sendiri?
Dakwah yang Bergerak, Tersusun, dan Berjamaah
Madrasah para Da’i Rabbani, mengajarkan bahwa dakwah bukan kerja individu semata; dakwah adalah perjalanan panjang dalam barisan yang rapat, tertata, dan saling menolong.
Rasulullah SAW bersabda:
يَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ
“Pertolongan Allah bersama jamaah.”
(HR. Tirmidzi – shahih)
Manhaj para Da’i Rabbani menekankan organisasi, ,praktek, dan ta’awun (kolaborasi). Sebab satu da’i mungkin padam, tapi jamaah tidak akan padam.
Ungkapan para murabbi rabbaniyyin:
“Berjalan sendiri menipiskan kekuatan; berjalan bersama melipatgandakannya.”
Da’i yang sendirian ibarat lilin yang mudah padam; da’i yang berjamaah ibarat matahari, tetap bersinar meski diganggu angin.
Dakwah dengan Bahasa yang Dekat di Hati Umat
Syekh ‘Ulwan menekankan pentingnya bahasa yang proporsional:
bahasa ilmiah kepada para penuntut ilmu, bahasa sosial kepada masyarakat awam, bahasa spiritual untuk yang mencari ketenangan, bahasa pergerakan untuk aktivis muda.
Dakwah harus “turun ke bumi,” mengerti realita, memahami kebutuhan umat, dan menjawab kegelisahan zaman.
Ini sejalan dengan prinsip dakwah para da’i rabbaniyyin:
“Dakwah harus hidup bersama manusia sesuai realitasnya, memimpinnya menuju Allah setahap demi setahap.”
Kesabaran yang Panjang, Keteguhan yang Dalam
Dakwah adalah maraton, bukan sprint. Allah meneguhkan hati para da’i:
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ
“Maka bersabarlah, sungguh janji Allah itu benar.”
(QS. Ar-Rum: 60)
Kekerasan hati manusia, penghinaan, penolakan, fitnah, atau ketidakpedulian adalah sunnatullah dakwah. Para da’i rabbani berkata:
“Sabar adalah bekal mujahid; tanpa sabar, ia berhenti sebelum sampai.”
Da’i Sebagai Inspirasi, Bukan Sekadar Orator
Misi da’i bukan hanya menyampaikan, tetapi menginspirasi, menggerakkan, membangunkan jiwa, dan mengajak bangkit. Dakwah harus melahirkan perubahan nyata:
Hati yang kembali kepada Allah, keluarga yang lebih shalih, masyarakat yang lebih kuat, dan gerakan dakwah yang lebih tertata
Ibn Mas‘ud berkata:
“Kalimat yang keluar dari hati, akan masuk ke hati.”
Maka da’i harus menjaga hatinya agar tetap hidup, dengan dzikir, tilawah, qiyamullail, dan muhasabah.
Da’i harus menjadi tempat umat bertanya, meminta nasihat, mengadukan masalah, dan menemukan keteduhan.
Da’i adalah Pelayan Umat, Bukan Penguasa Umat
Syekh ‘Ulwan berulang kali menekankan bahwa da’i bukan untuk dipuji, tetapi untuk melayani manusia dengan kasih sayang. Rasulullah SAW bersabda:
سَيِّدُ الْقَوْمِ خَادِمُهُمْ
“Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.”
(HR. Al-Bazzar – hasan)
Da’i harus menjadi tempat umat bertanya, meminta nasihat, mengadukan masalah, dan menemukan keteduhan.
Dakwah Adalah Jalan Cinta, Bukan Jalan Amarah
Pada akhirnya, dakwah adalah perjalanan cinta menuju Allah. Da’i mengajak manusia bukan dengan kemarahan, tetapi dengan kasih, doa, dan harapan agar mereka menemukan kebahagiaan dunia-akhirat.
Para dai rabbani mengingatkan:
“Dakwah adalah cinta yang mengalir dari hati yang tersambung dengan Allah.”
Akhiran,
Begitulah bagaimana seorang da’i berdakwah, bahwa menurut para masyaikh dan da’i rabbani menyebutkan
dengan tauhid, ikhlas, akhlak, ilmu, hikmah, bahasa yang menyentuh, kesabaran, keteladanan, barisan jamaah, dan cinta yang luas untuk umat.
Dakwah bukan profesi, tetapi misi hidup.
Bukan sekadar kata, tetapi cahaya. Bukan sekadar gerakan, tetapi ibadah dan pengorbanan.
Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab



