KABARLAH.COM, Pekanbaru – Dakwah adalah napas umat. Ia bukan sekadar seruan lisan, tapi denyut kehidupan iman di tengah masyarakat. Maka, siapa pun yang mengemban risalah ini harus memahami: da’i bukan hanya juru bicara Islam, melainkan cermin hidup nilai-nilai Allah di bumi. Dalam setiap langkahnya, da’i memikul amanah kenabian sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“بلِّغوا عني ولو آية”
“Sampaikanlah dariku walau satu ayat.”
(HR. al-Bukhari)
Namun, penyampaian ayat bukan sekadar mengulang lafaz; ia menuntut akhlak, ilmu, dan ruh yang hidup. Bahwa sesungguhnya “Da’i adalah madrasah berjalan yang di dalam dirinya terdapat pelajaran iman, akhlak, dan pengorbanan.”
Ikhlas: Nafas Ruhani Dakwah
Setiap langkah da’i lahir dari hati yang ikhlas karena Allah. Dakwah tanpa ikhlas hanyalah proyek sosial, bukan amal ibadah. Firman Allah SWT:
“وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ”
“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas.”
(QS. al-Bayyinah [98]: 5)
Ikhlas menjadikan da’i teguh di tengah fitnah, tenang dalam kritik, dan tulus dalam pengorbanan. Seorang da’i rabbani sejati memahami bahwa nilai dakwah bukan diukur dari tepuk tangan manusia, tapi dari ridha Allah. Seperti dikatakan oleh Imam Hasan :
“Ikhlas adalah rahasia kekuatan dakwah. Bila ia hilang, hilanglah keberkahan jamaah.”
Ilmu: Cahaya Jalan Dakwah
Da’i bukan hanya semangat tanpa arah. Ia harus berbekal ilmu syar’i dan pemahaman yang mendalam agar dakwahnya tidak menjadi fitnah. Rasulullah SAW bersabda:
“من يرد الله به خيرًا يفقهه في الدين”
“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Allah akan memahamkannya dalam agama.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)
Ilmu menuntun da’i agar seruannya berdasarkan dalil, bukan hawa nafsu. Ia tahu kapan tegas seperti Umar, dan kapan lembut seperti Abu Bakr. Dalam bahasa gerakan, ilmu adalah “kompas dakwah” yang menjaga arah jamaah ( ummat ) agar tetap di atas jalan nubuwwah.
Akhlak Mulia: Wajah Dakwah Islam
Sifat lembut, sabar, amanah, dan jujur adalah senjata utama da’i. Rasulullah saw menaklukkan hati manusia bukan dengan pedang, tapi dengan akhlak. Allah swt mengingatkan:
“فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ”
“Maka dengan rahmat Allah engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka.”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 159)
Syaikh Nashiḥ ‘Ulwan berkata, “Da’i yang kasar akan mematikan ruh dakwah sebelum ia tumbuh. Tapi da’i yang lembut menghidupkan hati sebelum ia berbicara.”
Dalam pergerakan dakwah rabbaniyah, akhlak bukan hiasan, tapi “identitas kader”. Ia menjadi bahasa yang dimengerti semua manusia, bahkan oleh yang belum beriman.
Tsiqah dan Keteguhan
Setiap da’i harus memiliki kepercayaan diri yang bersumber dari keyakinan pada janji Allah. Dakwah bukan perjalanan mudah. Ia penuh ujian, fitnah, dan pengkhianatan. Namun, Allah menegaskan:
“إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا”
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata: ‘Tuhan kami ialah Allah,’ kemudian mereka istiqamah…”
(QS. Fuṣṣilat [41]: 30)
Keteguhan adalah tanda keimanan sejati. Ketika badai fitnah mengguncang, da’i yang benar tidak berubah haluan. Sebagaimana perkataan Sayyid Qutb rahimahullah:
“Jalan ini panjang, penuh duri, tapi indah karena menuju Allah.”
Dalam pergerakan dakwah, tsiqah bukan taklid buta, melainkan keyakinan bahwa jamaah itu berjalan di atas manhaj Rasulullah saw dan para sahabat.
Zuhud dan Tawadhu’
Sang da’i tidak mengharap dunia dari dakwahnya. Ia tidak bermegah dengan jabatan, popularitas, atau sanjungan. Ia hidup untuk memberi, bukan meminta. Rasulullah SAW bersabda:
“ما نقصت صدقة من مال، وما زاد الله عبداً بعفو إلا عزاً، وما تواضع أحد لله إلا رفعه الله.”
“Sedekah tidak mengurangi harta, Allah tidak menambah bagi hamba yang memaafkan kecuali kemuliaan, dan siapa yang tawadhu’ karena Allah, Allah akan mengangkat derajatnya.”
(HR. Muslim)
Syaikh ‘Ulwan menulis: “Tawadhu’ membuat da’i mudah diterima. Zuhud membuat dakwahnya bersih dari kepentingan.” Inilah yang menjadikan para da’i rabbani hidup sederhana, tapi meninggalkan jejak besar dalam sejarah.
Jiwa Pengorbanan
Dakwah adalah perjalanan pengorbanan, bukan kenyamanan. Da’i sejati siap memberi waktu, tenaga, harta, bahkan nyawanya di jalan Allah.
“إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ”
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan surga untuk mereka.”
(QS. at-Taubah [9]: 111)
Inilah sumpah perjuangan para da’i sepanjang zaman: menjadi lilin yang terbakar demi menerangi umat. Imam al-Banna berkata:
“Wahai para da’i, dakwah kalian adalah amanah, perjuangan kalian adalah ibadah, dan mati kalian di jalan ini adalah syahadah.”
Akhiran: Menjadi da’i bukan kehormatan, tapi amanah. Ia bukan sekadar profesi, tapi jalan menuju ridha Allah. Maka, wahai para da’i rabbani, kuatkan langkah, sucikan niat, dan perindah akhlak. Jadilah mursyid yang mengajak dengan cinta, bukan menghukum dengan amarah; jadilah qiyadah yang menuntun dengan hikmah, bukan membimbing dengan pamrih.
Karena pada akhirnya, dakwah bukan tentang kita، tapi tentang bagaimana Allah dikenal, Rasulullah dicintai, dan Islam kembali hidup dalam hati manusia.
Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.



