KABARLAH.COM, PEKANBARU – Pengelolaan utang negara kini menjadi isu yang semakin krusial dalam konteks perekonomian nasional. Perubahan kondisi global yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia membuat pengelolaan utang berperan penting sebagai alat untuk menjaga stabilitas fiskal sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Seperti halnya banyak negara lain, Indonesia kerap menghadapi situasi ketika penerimaan negara tidak mencukupi untuk menutupi
seluruh kebutuhan belanja pemerintah.
Dalam kondisi tersebut, utang negara dipandang sebagai salah satu alternatif pembiayaan yang digunakan untuk menutup defisit anggaran serta mendukung berbagai program pembangunan.pembiayaan proyek infrastruktur, dan meningkatkan sektor-sektor penting lainnya.
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang siap “pasang badan” atas proyek Kereta Cepat Whoosh mengundang pertanyaan penting: sejauh mana seorang presiden dapat mengambil alih tanggung jawab hukum atas proyek strategis nasional? Ucapan itu terdengar tegas, bahkan heroik, namun dalam negara hukum, keberanian politik tidak serta-merta berarti kekebalan hukum.
Secara konstitusional, presiden memang memiliki kewenangan untuk mengoordinasikan,membina, dan memastikan keberlanjutan proyek strategis nasional. Namun, ketika proyek tersebut sarat dengan isu pembengkakan biaya, utang negara, dan potensi penyimpangan
administrasi, pernyataan “tidak ada masalah” bisa menimbulkan kesan bahwa proses pengawasan sedang dipangkas sebelum dijalankan.
Dalam hukum administrasi negara, setiap tindakan pejabat publik wajib disertai dasar kewenangan (atribusi atau delegasi) dan tanggung jawab yang proporsional. Artinya, jika negara memutuskan untuk menanggung beban finansial proyek Whoosh, maka harus ada dasar hukum yang jelas baik dalam APBN maupun peraturan pelaksana agar tidak berujung pada pelanggaran keuangan negara.
Lebih jauh, dalam konteks hukum antikorupsi, pernyataan publik seorang presiden yang membela proyek yang masih dalam sorotan audit berisiko menimbulkan persepsi intervensi terhadap independensi penegak hukum. Presiden boleh menenangkan publik, tetapi tidak boleh
menutup ruang pemeriksaan hukum.
Karena itu, “pasang badan” semestinya dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab moral dan politik, bukan tameng hukum. Negara wajib menjamin bahwa proyek sebesar Whoosh tetap transparan, diaudit secara terbuka, dan jika ada penyimpangan, proses hukum tetap berjalan tanpa rasa sungkan terhadap siapa pun. Dalam negara hukum, loyalitas tertinggi bukan pada proyek atau pejabat, melainkan pada keadilan dan kepentingan publik.
Batas-Batas Kewenangan Presiden. Sistem ketatanegaraan Indonesia, presiden memang memegang kekuasaan eksekutif tertinggi. penyelenggaraan pemerintahan secara konstitusional berada di tangan Presiden pribadi yang memiliki sifat preogatif (di bidang pemerintahan) , yaitu Presiden sebagai pimpinan tertinggi angkatan bersenjata , dalam hubungan dengan luar negeri , dan hak memberi gelar dan tanda jasa Kekuasaan yang bersifat “preogatif ” dikarenakan berada dalam lingkungan kekuasaan pemerintahan maka menjadi bagian dari objek administrasi negara .
Presiden yang memiliki kekuasaan dalam menyelenggarakan pemerintahan digolongkan menjadi saat Presiden memiliki tokoh sebagai Kepala Pemerintahan. Oleh sebab itu, Presiden berhak mengarahkan kebijakan strategis nasional, termasuk proyek infrastruktur seperti Kereta Cepat Whoosh. Namun, dalam praktik hukum tata negara, kewenangan itu tidak absolut.
Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945 memang menegaskan bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan, tetapi membatasi bahwa segala tindakan pemerintahan harus berdasar hukum, transparan, dan akuntabel.
Artinya, ketika Presiden menyatakan siap menanggung tanggung jawab proyek Whoosh, harus ada dasar hukum yang jelas misalnya peraturan presiden, keputusan menteri, atau mekanisme APBN yang menjelaskan bentuk dan batas pertanggungjawaban tersebut. Tanpa dasar ini, “pasang badan” bisa berubah menjadi tindakan ultra vires, yakni melampaui kewenangan yang sah.
Akuntabilitas Keuangan dan Risiko Negara. Proyek Whoosh menelan biaya lebih dari Rp 100 triliun dengan sebagian pembiayaan
berasal dari pinjaman luar negeri dan penyertaan modal negara. Ketika Presiden menyebut “utang Whoosh tidak jadi masalah”, pernyataan itu harus diuji secara hukum dan fiskal: siapa yang sah bertanggung jawab atas kewajiban pembayaran dan risiko kerugian?
Dalam kerangka hukum keuangan negara UU No. 17 Tahun 2003, setiap penggunaan uang negara harus memiliki dasar hukum yang eksplisit dan dapat dipertanggungjawabkan.
Jika beban utang proyek dialihkan ke negara tanpa mekanisme anggaran yang jelas, maka berpotensi menimbulkan pelanggaran administratif atau bahkan pidana keuangan negara. Prinsip akuntabilitas tidak hanya soal siapa yang membayar, tetapi bagaimana proses
keputusan dibuat dan diawasi. Negara tidak boleh menutupi potensi risiko publik di balik narasi “tanggung jawab presiden”.
Penting diingat bahwa, tantangan utama dalam mengelola utang negara adalah menjaga rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) agar tetap berada pada tingkat yang sehat. Rasio utang yang terlalu tinggi dapat menimbulkan kesulitan dalam memenuhi kewajiban pembayaran, yang pada akhirnya menambah tekanan terhadap anggaran pemerintah dan berdampak negatif pada stabilitas ekonomi.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu memastikan bahwa setiap utang yang diterbitkan dialokasikan untuk kegiatan yang produktif, sehingga dapat menghasilkan pendapatan yang cukup untuk menutupi kewajiban pembayaran di masa mendatang.
Sektor infrastruktur merupakan salah satu bidang yang sering memperoleh pembiayaan melalui utang, dengan harapan dapat memberikan manfaat ekonomi jangka panjang serta meningkatkan daya saing nasional.
Independensi Penegakan Hukum dan Transparansi Publik. Salah satu kekhawatiran terbesar dari pernyataan “tidak ada masalah dalam proyek Whoosh” adalah dampaknya terhadap independensi lembaga penegak hukum dan auditor negara.
Jika audit atau penyelidikan sedang berjalan, komentar tersebut dapat dianggap sebagai bentuk penilaian sebelum proses hukum selesai sebuah potensi intervensi yang halus namun berpengaruh. Dalam negara hukum, setiap indikasi penyimpangan harus diperiksa tanpa tekanan politik.
Presiden boleh mengambil sikap politik untuk menenangkan publik, tetapi secara etika pemerintahan, ia juga wajib memberi ruang bagi aparat hukum untuk bekerja tanpa rasa sungkan.
Lebih jauh, transparansi adalah syarat utama agar “pasang badan” tidak dianggap sebagai “pasang tameng”. Publik berhak tahu berapa besar beban negara, siapa penerima manfaat, bagaimana mekanisme utang dibayar, dan sejauh mana proyek ini benar-benar memberi manfaat bagi rakyat.
Pernyataan Presiden Prabowo untuk “pasang badan” atas Whoosh dapat dimaknai sebagai upaya mempertegas tanggung jawab negara atas pelayanan publik.
Namun secara hukum, tanggung jawab itu tidak boleh mengaburkan prinsip transparansi, batas kewenangan, dan
independensi penegakan hukum. Dalam demokrasi, pasang badan bukan berarti kebal hukum justru menjadi ujian sejauh mana seorang pemimpin berani tunduk pada hukum yang ia bela.
Oleh: Muklis Al’anam, S.H. M.H. ( Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya).



