KABARLAH.COM, Pekanbaru – Segala puji bagi Allah swt, Dzat yang menciptakan dunia sebagai ladang amal dan menjadikan akhirat sebagai tempat menuai hasilnya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad saw, sang pembawa cahaya hakikat, yang bersabda:
“Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim)
Kalimat ini bukan untuk mematikan semangat hidup, tetapi untuk membangkitkan kesadaran: bahwa dunia hanyalah perjalanan singkat menuju kehidupan abadi. Dunia ini fana, cepat berlalu seperti bayangan sore, sementara akhirat adalah negeri kekal tempat kebenaran berdiri tegak.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam Fathur Rabbani menegaskan, siapa pun yang menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya, sesungguhnya ia sedang memperdagangkan sesuatu yang fana dengan sesuatu yang kekal. Dunia hanyalah “pasar sementara” bagi para musafir akhirat; di sinilah kita membeli bekal taqwa sebelum menempuh perjalanan panjang menuju Allah.
Dunia Hanya Persinggahan
“Dunia ini hanyalah tempat persinggahan seorang musafir yang berhenti sejenak untuk minum sebelum melanjutkan perjalanan menuju tempat kembali yang hakiki.”
Beliau juga menggambarkan dunia seperti halte di jalan panjang kehidupan. Kita boleh berhenti, tapi jangan tertidur di situ.
“Dan kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 185)
Imam al-Ghazali rahimahullah menulis dalam Ihya’ ‘Ulumuddin,
“Jangan kau tertipu oleh keindahan dunia, karena ia tersenyum di depanmu namun menggali kubur di belakangmu.”
Itulah sebabnya orang beriman hidup di dunia dengan pandangan dua arah: mata lahir melihat dunia sebagai ladang amal, dan mata batin memandang akhirat sebagai rumah sejati.
Akhirat: Negeri Pembalasan dan Keadilan
Syekh Abdul Qadir menasihati murid-muridnya, “Celakalah orang yang membangun rumah di dunia dan menghancurkan rumahnya di akhirat.”
Di akhirat nanti, setiap amal kecil akan ditampakkan.
“Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya ia akan melihat (balasannya). Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya ia akan melihat (balasannya pula).” (QS. al-Zalzalah [99]: 7–8)
Imam Ibn al-Qayyim rahimahullah berkata,
“Dunia adalah ladang bagi siapa yang menanam amal saleh, dan penjara bagi siapa yang menanam dosa.”
Maka akhirat menjadi tempat keadilan mutlak: tidak ada kedzaliman, tidak ada yang terlewat, dan tidak ada dusta yang bisa bersembunyi. Di sana, manusia akan menuai apa yang ia tanam, bukan apa yang ia khayalkan.
Mengapa Akhirat Lebih Utama?
Syekh al-Jailani menjelaskan tiga alasan utama:
Pertama. Karena akhirat kekal.
Dunia akan hancur, sementara akhirat abadi.
“Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya (Allah).” (QS. al-Qaṣaṣ [28]: 88)
Kedua. Karena nikmat akhirat sempurna.
Dunia selalu bercampur air mata dan kegelisahan. Di akhirat, hanya ada kedamaian:
“Bagi mereka rezeki yang mulia dan mereka tidak akan mendengar perkataan yang sia-sia.” (QS. Maryam [19]: 62)
Ketiga. Karena keadilan di akhirat sempurna.
Di dunia banyak yang terzalimi, namun di akhirat semuanya dibalas setimpal.
“Hak-hak akan dikembalikan pada hari kiamat, hingga kambing tak bertanduk dibalas atas kambing yang bertanduk.” (HR. Muslim)
“Dunia adalah ujian, akhirat adalah keputusan.”
Siapa yang salah memilih ujian, akan menyesal saat keputusan dibacakan.
Mencintai Akhirat, Tanpa Menolak Dunia
Sebagian orang salah paham: mencintai akhirat bukan berarti meninggalkan dunia. Syekh berkata:
“Jadilah engkau di dunia seperti perahu di lautan; ia berada di atas air, tapi jika air masuk ke dalamnya, ia akan tenggelam.”
Islam tidak menolak dunia, tetapi mengajarkan zuhud yang bijak,menjadikan dunia di tangan, bukan di hati.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari dunia.” (QS. al-Qaṣaṣ [28]: 77)
Imam al-Hasan al-Bashri menafsirkan ayat ini dengan indah:
“Dunia adalah jembatan menuju akhirat; maka jangan kau bangun rumah di atas jembatan.”
Empat Langkah Menuju Kebahagiaan Akhirat
Syekh Abdul Qadir al-Jailani memberi empat jalan ruhani bagi para pencari akhirat:
Pertama. Tazkiyah an-Nafs (Membersihkan Jiwa).
Hati yang dipenuhi iri dan riya tidak akan mencium wangi surga.
“Tidak akan lurus iman seorang hamba hingga hatinya lurus, dan tidak akan lurus hatinya hingga lisannya lurus.” (HR. Ahmad)
Kedua. Ikhlas dalam Amal.
Amal tanpa niat karena Allah ibarat bangunan tanpa fondasi.
“Mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. al-Bayyinah [98]: 5)
Ketiga. Tawakal dan Ridha.
Dunia bisa mengecewakan, tapi akhirat pasti menenangkan. Orang yang ridha pada takdir, sedang menanam kebahagiaan abadi.
Keempat. Dzikir dan Muhasabah.
Orang yang sering mengingat Allah akan diterangi hatinya.
“Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan, yaitu kematian.” (HR. Tirmidzi)
Cahaya dari Para Ulama
Imam an-Nawawi berkata:
“Seseorang tidak akan mencapai kemuliaan akhirat kecuali dengan menahan diri dari hal-hal yang melalaikan di dunia.”
Sementara Syekh Ahmad az-Zarruq menulis:
“Dunia itu indah bagi yang melihat dengan mata, tetapi akhirat indah bagi yang melihat dengan hati.”
Dan Syekh al-Jailani memberi petuahnya dengan lembut:
“Wahai anak Adam, engkau diciptakan untuk akhirat, bukan untuk dunia. Maka jangan tukar mutiara dengan debu.”
Jalan Pulang yang Bahagia
Saudaraku, dunia hanyalah sekolah tempat kita belajar ikhlas dan sabar. Dunia bukan akhir dari segalanya; ia hanya pembuka menuju keabadian.
Barang siapa mencintai akhirat, Allah akan memberi keberkahan dunia bersamanya.
“Barang siapa menginginkan akhirat dan berusaha ke arahnya dengan sungguh-sungguh, sedang ia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (QS. al-Isra [17]: 19)
Maka, marilah kita hidup di dunia dengan hati yang menatap akhirat.
Gunakan waktu, harta, ilmu, dan tenaga sebagai bekal pulang. Karena sebagaimana dikatakan Imam Ibn ‘Athaillah:
“Amal untuk dunia tanpa niat akhirat ibarat bayangan tanpa cahaya.”
Semoga Allah swt menjadikan kita hamba yang menjadikan dunia sebagai ladang amal dan akhirat sebagai cita tertinggi, hingga kelak kita kembali kepada-Nya dalam keadaan diridhai.
آمِينَ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ.
Allahu ‘Alam.
- Disadur dari Fathu Rabbani.
Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.



