KABARLAH.COM – Membangun Peradaban Bersama di tengah eberagaman. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, rahmat bagi seluruh alam.
Di tengah dunia global yang kian plural dan saling terhubung, umat Islam dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana berinteraksi dengan keberagaman tanpa mencairkan identitas tauhid dan prinsip-prinsip Islam? Di sinilah pemikiran Dr. Tariq Ramadan menjadi oase yang menyejukkan, karena beliau menawarkan pendekatan pluralisme yang tetap bersandar pada prinsip-prinsip Islam dan tidak terjebak pada relativisme liberal.
Tulisan ini akan menggali gagasan Tariq Ramadan tentang pluralisme dalam Islam, dan apa yang diungkap oleh para para ulama islam lainnya.
Memahami Pluralisme Islam: Antara Pengakuan dan Komitmen
Tariq Ramadan membedakan antara pluralisme normatif (yaitu keberagaman sebagai fakta penciptaan) dan pluralisme relativistik (yang mengaburkan kebenaran). Islam tidak menolak pluralisme dalam arti pengakuan terhadap keberagaman agama, budaya, dan etnik. Ini ditegaskan dalam firman Allah:
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.”
(QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat ini menegaskan bahwa keberagaman bukan masalah yang harus dihapus, melainkan dimaknai sebagai rahmat Allah yang membuka peluang dialog dan kerja sama.
Namun, pluralisme bukan berarti menyamakan semua kebenaran. Islam tetap menegaskan bahwa hanya Islam yang benar dalam tauhid dan risalah akhir zaman:
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.”
(QS. Ali Imran: 19)
Tariq Ramadan menegaskan bahwa seorang Muslim tidak perlu mengaburkan aqidahnya demi toleransi. Justru dalam kesetiaan terhadap keyakinan, seorang Muslim bisa berdialog dengan tulus dan jujur.
Keadilan dan Dialog: Pilar Pluralisme Islam
Pluralisme Islam bukan hanya pengakuan terhadap perbedaan, tapi juga komitmen terhadap keadilan bagi semua. Dalam bukunya, Ramadan menyatakan bahwa keadilan sosial, ekonomi, dan politik adalah prasyarat penting dalam menjalin relasi lintas agama dan budaya.
Allah berfirman:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama.”
(QS. Al-Mumtahanah: 8)
Ini adalah dalil yang sangat penting untuk menegaskan dasar interaksi sosial umat Islam dengan non-Muslim dalam ruang damai dan keadilan.
Imam al-Ghazali juga menekankan pentingnya ‘adl (keadilan) sebagai tujuan syariat. Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Al-Islām wa al-‘Aql menyebut bahwa keadilan dan akhlak adalah ruh peradaban Islam yang seharusnya mewarnai relasi umat dengan yang lain.
Dari Toleransi ke Komitmen Warga: Pandangan Sosial-Politik
Salah satu gagasan besar Tariq Ramadan adalah bahwa umat Islam di Barat (dan dunia modern) harus bertransformasi dari posisi sebagai “minoritas pasif” menjadi “warga aktif” yang berkontribusi dalam pembangunan masyarakat.
Umat Islam harus membawa nilai Islam seperti amanah, kejujuran, tanggung jawab, dan solidaritas ke dalam ruang publik. Ini menuntut pemahaman maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan syariat) dan fleksibilitas ijtihad dalam konteks kontemporer, sebagaimana ditekankan oleh Yusuf al-Qaradhawi.
Ramadan menolak segregasi sosial, tapi juga mengkritik asimilasi mutlak. Ia menawarkan pendekatan ta’ayusy (koeksistensi aktif), di mana umat Islam tetap teguh dalam identitas tapi hadir secara positif di tengah masyarakat plural.
Menolak Relativisme: Pluralisme Tidak Berarti Semua Sama
Ramadan mengkritik pluralisme liberal yang mengatakan “semua agama sama”. Bagi Islam, ini keliru secara teologis. Tetapi ia juga mengkritik sebagian kaum Muslimin yang bersikap tertutup dan eksklusif.
Umat Islam harus percaya pada kebenaran Islam, namun tetap menghormati hak orang lain untuk berbeda. Said Nursi berkata:
“Kami mencintai kebenaran dan menghormati orang yang mencari kebenaran, meski keyakinannya berbeda dari kami.”
Ini selaras dengan prinsip lā ikrāha fī al-dīn (tidak ada paksaan dalam agama – QS. Al-Baqarah: 256), dan menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai kebebasan berkeyakinan, namun tetap menjaga batas antara toleransi dan kebenaran.
Pluralisme dalam Sejarah Islam: Warisan Ulama Klasik
Islam pernah menunjukkan model pluralisme unggul dalam sejarahnya. Di masa Rasulullah ﷺ, Piagam Madinah adalah kontrak sosial yang menjamin hak semua komunitas di Madinah untuk hidup bersama secara damai.
KH. Hilmi Aminuddin dalam banyak ceramahnya menekankan bahwa Islam adalah sistem peradaban yang mampu mengayomi semua manusia, bukan hanya komunitas Muslim.
Imam Syafi‘i dalam al-Umm menjelaskan bagaimana Islam memberi perlindungan hukum bagi non-Muslim dalam negara Islam. Sementara Imam al-Qarafi dalam al-Furūq menjelaskan adab interaksi Muslim dan non-Muslim dengan prinsip kasih sayang dan keadilan.
Tantangan Globalisasi: Menjaga Jati Diri di Tengah Arus Deras
Tariq Ramadan mengingatkan bahwa globalisasi bukan hanya pertukaran teknologi dan ekonomi, tapi juga ideologi dan gaya hidup. Muslim perlu mewaspadai sekularisme radikal, hedonisme, dan nihilisme nilai.
Dalam konteks ini, pluralisme harus dilandasi etika Islam, bukan hanya etika liberal. Ramadan menyebut perlunya membangun “pluralisme etis”, bukan “pluralisme kosong”.
Said Hawwa dalam Jundullah Tsaqāfatan wa Akhlāqan menegaskan pentingnya menanamkan nilai tauhid, amar ma’ruf nahi munkar, dan akhlak Islam sebagai pilar menghadapi tantangan zaman.
Ahmad Ar-Rasyid dalam al-Muntalaq dan al-Masirah pun menunjukkan bagaimana aktivis Muslim harus membangun kapasitas diri, berpikir strategis, dan berkontribusi dalam masyarakat tanpa kehilangan arah spiritual dan komitmen aqidah.
Strategi Dakwah dalam Masyarakat Majemuk
Dalam dunia plural, dakwah Islam harus menempuh pendekatan hikmah, dialog, dan keteladanan.
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik…”
(QS. An-Nahl: 125)
Ramadan mengajak agar dakwah hari ini tidak hanya fokus pada wacana hukum dan larangan, tapi juga pada nilai-nilai universal Islam seperti keadilan, kasih sayang, tanggung jawab sosial, dan pemuliaan manusia.
Abdul Halim Mahmud dalam Al-Tarbiyah al-Ruhiyyah menunjukkan bahwa inti dakwah adalah pembentukan jiwa dan ruh manusia, bukan sekadar simbol dan bentuk.
Pendidikan Pluralisme Islam: Membina Generasi Tauhid yang Terbuka
Pluralisme Islam harus ditanamkan dalam kurikulum pendidikan Islam, bukan untuk mencairkan identitas, tapi untuk membangun generasi yang yakin pada kebenaran Islam dan siap berdialog serta bekerja sama untuk kebaikan bersama.
Ramadan menyerukan pembaruan dalam kurikulum dan pengajaran agar umat Islam tak hanya hafal ilmu fikih, tapi juga mampu memahami dinamika masyarakat, berpikir strategis, dan berkontribusi sebagai rahmat bagi alam semesta.
Menjadi Saksi atas Kemanusiaan (Syuhada ‘ala al-Nas)
Allah berfirman:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia…”
(QS. Al-Baqarah: 143)
Menjadi saksi artinya menjadi teladan. Umat Islam harus menjadi yang terdepan dalam integritas, kontribusi sosial, dan membela keadilan untuk semua, bukan hanya untuk umat sendiri.
Penutup
Mewujudkan Pluralisme Tauhidi – Jalan Pertengahan Umat Islam
Pluralisme dalam perspektif Islam bukanlah relativisme nilai, dan bukan pula eksklusivisme kaku. Ia adalah jalan pertengahan: pengakuan terhadap keberagaman, disertai komitmen pada kebenaran tauhid, dan misi membawa rahmat bagi semesta.
Tariq Ramadan menghadirkan gagasan pluralisme Islam yang matang: kokoh dalam aqidah, cerdas dalam interaksi, adil dalam sikap, dan luhur dalam akhlak.
Inilah waktunya kita melangkah sebagai rahmah yang hidup, menghadirkan pluralisme tauhidi: mengakui hak, menjaga prinsip, dan menjadi saksi Allah di tengah masyarakat global.
“Jadilah kamu seperti pohon kurma: dilempar dengan batu, justru menjatuhkan buah.”
—Said Nursi“Kita hidup bukan untuk diri kita saja, tapi untuk seluruh manusia—dengan tauhid, adab, dan keadilan.”
—KH Hilmi Aminuddin.
Wallāhu a‘lam bi al-shawāb.
Oleh: Syekh Sofyan Siroj Abdul Wahab.