KABARLAH.COM, Pekanbaru – Rumah Perempuan dan Anak (RPA) Provinsi Riau menyatakan keprihatinan atas kasus perdagangan bayi yang baru-baru ini terjadi. Utari Nelviandi selaku Ketua Rumah Perempuan dan Anak Provinsi Riau mengatakan bahwa sindikat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan korban bayi di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau harus diusut tuntas oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Rabu, (22/01/2024).
Seperti diberitakan, bayi korban TPPO itu dijual dengan harga Rp 20-25 juta. Modusnya yakni berkedok adopsi ilegal dan para pelaku diketahui melancarkan aksinya yakni perdagangan bayi melalui aplikasi TikTok.
Lalu, dari hasil penyelidikan, polisi kemudian menetapkan enam orang tersangka dalam kasus ini. Termasuk seorang bidan yang kini tidak lagi membuka praktik. Para pelaku berhasil ditangkap di sebuah kafe di Jalan Ronggowarsito, Kecamatan Sail, Pekanbaru, pada Sabtu (18/1/2025).
Menyikapi hal tersebut, Utari Nelviandi menuturkan bahwa para pelaku perdagangan bayi dengan adopsi ilegal ini, harus dijerat dengan pasal berlapis, yakni Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2017 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Pasal 83 juncto Pasal 76F Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman lebih kurang 15 tahun penjara.
Utari menyebut, adopsi anak secara ilegal terjadi apabila pengangkatan anak itu tidak dilengkapi surat-surat yang sah, yakni tidak disertai permohonan pengangkatan anak ke Pengadilan untuk mendapatkan penetapan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Perlindungan Anak 2014. Jika tidak dilakukan sesuai dengan prosedur hukum, maka adopsi itu disebut sebagai adopsi ilegal.
Dijelaskan Utari Nelviandi, bahwa pada dasarnya pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak, salah satunya diberikan kepada anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan (Pasal 59 ayat (1) jo. Pasal 59 ayat (2) huruf h UU Perlindungan Anak).
“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan anak. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 76F UU Perlindungan Anak”, katanya.
Utari Nelviandi juga meminta kepada pemerintah dalam hal ini Dinas Sosial untuk serius dalam menanggapi kasus ini terutama dalam penerapan standar operasional prosedur terkait adopsi anak oleh siapapun harus sesuai dengan SOP yang ketat dan tepat serta pentingnya melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait tentang prosedur pengadopsian yang benar, agar kasus prihatin seperti ini tidak terulang kembali.
“Kasus penjualan bayi ini tidak hanya menyoroti kejahatan perdagangan manusia tetapi juga dampak dari masalah ekonomi yang mendorong orang tua melakukan tindakan putus asa,” imbuh utari.
Ketua Rumah Perempuan dan Anak Provinsi Riau ini menegaskan perlindungan anak adalah tanggung jawab kita bersama. Mari kita bersama-sama memerangi segala bentuk kejahatan yang mengancam anak-anak serta melindungi betul hak-hak anak.