BerandaKabar TokohBioskop dan Misi Memperkuat Identitas Bangsa

Bioskop dan Misi Memperkuat Identitas Bangsa

spot_img

KABARLAH.COM, Pekanbaru – Baru-baru ini Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) mengumumkan inisiatif strategis untuk memperluas akses masyarakat terhadap film Indonesia, sekaligus meningkatkan literasi film nasional. Menteri Kebudayaan, Dr. Fadli Zon, M.Sc., mengatakan Kemenbud akan bekerjasama dengan pihak swasta yakni Sams Studio untuk meningkatkan jumlah dan pemerataan layar bioskop di seluruh Indonesia. Rencananya akan ada 51 layar bioskop baru di 17 Kabupaten. Pemerintah menyebut langkah tadi wujud nyata komitmen menciptakan ekosistem perfilman yang inklusif dan merata di berbagai daerah. Khususnya wilayah yang selama ini minim akses ke fasilitas bioskop. Namun tanggapan miring berdatangan dari lini massa dunia maya. Netizen menduga program bioskop tersebut modus bisnis seorang selebriti tanah air yang kebetulan di lingkaran istana. Sang artis menepis asumsi netizen. Kendati dia mengaku tidak menutup kemungkinan perusahaannya akan ikut berinvestasi. Wallahualam kita tak tahu seperti apa kebenarannya.

Kami selaku bagian dari Lembaga Komunikasi Pemangku Adat Seluruh Indonesia (LKPASI) lebih memilih kajian maslahat dan mudharat. Spesifik lagi konteks budaya. Perlu dipertanyakan urgensi program insiatif Kemenbud. Pertanyaan barusan tak bermaksud berpikiran sempit atau status quo: menganggap bioskop tidak penting. Kami memaklumi kesenjangan yang ada. Sekedar bahas angka, rasio penyebaran bioskop dan populasi di Indonesia memang jauh dari memadai. Penduduk 280 juta jiwa namun hanya memiliki sekitar 2.145 bioskop, tersebar di 517 lokasi di 115 kabupaten/kota. Mengingat Indonesia terdiri dari 349 kabupaten dan 91 kota, banyak wilayah belum terjangkau akses bioskop. Meski begitu, kita sama-sama paham. Bioskop, layaknya media lain, sebatas sarana. Topik utama yang urgen diketengahkan adalah sejauhmana keberadaan bioskop bersinergi dengan misi memperkuat identitas, karakter dan budaya bangsa? Bukan sebaliknya, pintu masuk infiltrasi budaya luar; pemikiran permisif, liberal dan bertentangan dengan falsafah Pancasila; mempopulerkan gaya hidup hedonisme serta cara pandang dan kehidupan metropolitan ke pelosok wilayah tanpa filter. Inilah sebenarnya yang memicu rasa khawatir. Bukannya berkontribusi pada pelestarian budaya malah mendegradasi.

Kontraproduktif

Kekhawatiran makin beralasan mengingat Pemerintah belum totalitas melahirkan kebijakan melindungi kebudayaan. Terlebih sempat heboh awal Pemerintahan Jokowi tahun 2015 sehubungan dikeluarkannya usaha bioskop dari Daftar Negatif Investasi (DNI) Indonesia. Alhasil membuka lebar pintu bagi investasi asing untuk bisa masuk. Kita sepakat perfilman bangsa dimajukan. Namun seharusnya terlebih dahulu diperkuat regulasi dan infrastruktur memadai guna melindungi dan memajukan industri film nasional. Ketika investor asing masuk, tentu saja perfilman akan mengikuti kehendak sponsor. Sehingga film yang dihasilkan menjadikan hasrat sebagai komoditas. Tengok saja film-film terlaris sepuluh tahun belakangan. Didominasi film bertema eksploitasi seksisme dan horor yang berangkat dari cerita ghaib dan tahayul. Tingginya antusiasme penonton akan tayangan tadi membuat para produser berlomba-lomba membuat karya serupa. Dimata insan dan pemerhati dunia perfilman di luar sana, keunggulan perfilman Indonesia paling mencolok hanya menciptakan film bergenre horor. Bukan prediket yang pantas dibanggakan. Sebab film mencerminkan kualitas insan bangsa. Apa yang banyak ditonton seperti itulah kualitas manusianya.

Padahal film punya kekuatan dan pengaruh luar biasa. Terutama memperkuat karakter dan budaya bangsa. Kita perlu mencontoh negara-negara adidaya mengelola dunia perfilman. Amerika Serikat misalnya, kebanyakan film menonjolkan AS sebagai negara superpower. Entah itu lewat cerita badan intelijen atau sosok personal warga negaranya. Terlepas dari sikap arogansi, propaganda itu sukses membangun karakter masyarakat US yang selalu merasa superior. Kalau kita menapaktilasi sejarah bangsa, film pernah digunakan penjajah membentuk citra dan menanamkan sikap mental ke warga jajahan. Sejak masa kolonial Belanda dimanfaatkan untuk mempromosikan program pemerintah ke desa terpencil. Setelah kolonialisme Belanda usai, Jepang menempuh pendekatan sama. Dalam rangka menciptakan wilayah persemakmuran di kawasan Asia Pasifik, lahir Gerakan 3A yaitu Jepang sebagai cahaya, pelindung dan pemimpin Asia. Untuk mewujudkan visi tadi, Jepang melakukan doktrinisasi. Supaya pola pikir hingga tingkah laku penduduk jajahan mengikuti Jepang. Salah satu tujuannya dijadikan pasukan membantu Jepang dalam perang melawan sekutu. Pemutaran film pun diupayakan menarik sebanyak mungkin penonton. Maka muncullah bioskop keliling atau dulu istilahnya layar tancap. Saking seriusnya pemerintah Jepang sampai membentuk lembaga khusus bernama “Jawa Enhai” yang tugasnya mengurusi bioskop keliling. Setelah itu bioskop keliling mulai berkembang ke berbagai kota-kota besar di Indonesia. Film yang ditayangkan impor dari Jepang. Isinya mengampanyekan pemerintah militer Jepang bukanlah penyerang, melainkan pembebas dari penjajahan barat.

Kami berharap Pemerintah melakukan pendekatan sejenis. Pemerataan bioskop perlu namun harus diiringi kebijakan paripurna berorientasi memperkuat budaya. Setakad ini paradigma terhadap budaya di benak penyelenggara pemerintahan begitu sempit: sebatas komoditas penunjang pariwisata dan mendatangkan pemasukan. Akibat gagal paham lahir kebijakan salah arah. Investasi untuk mendukung sektor kepariwisataan lebih banyak diarahkan ke pembangunan fisik. Sementara pelestarian minim. Barometer keberhasilan capaian pariwisata masih memakai tolok ukur mendatangkan orang dalam jumlah banyak. Dampak dari investasi cenderung ke fisik ujungnya menggerus kearifan lokal masyarakat setempat. Akibat berkembangnya industri pariwisata dan tekanan penduduk kian banyak seiring pendatang luar. Bak pepatah, ada gula ada semut. Kecenderungan lain di daerah yang gencar investasi pariwisata, minat masyarakat yang semula tinggi di sektor tradisional (seperti pertanian) berkurang. Pergeseran ini jelas kerugian besar bagi identitas bangsa. Sebab bertani termasuk salah satu budaya. Sungguh ironis. Daya tarik kita di kalangan wisatawan luar ialah keunikan budaya. Oleh karena itu, guna memastikan keberlanjutan pariwisata di masa mendatang, perhatian Negara mestinya kepada investasi ilmu pengetahuan, riset dan preservasi. Agar generasi bangsa tak lupa jati dirinya. Kekayaan unsur budaya juga bisa jadi elemen utama membangkitkan dunia perfilman nasional. Banyak sastrawan yang mengangkat aspek budaya Indonesia dalam karya fenomenalnya dan booming ketika difilmkan. Contoh Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya fenomenal Buya Hamka.

Prof. Dr. H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM,. Ph.D
Ketua DPW LKPASI Provinsi Riau

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

WAJIB DIBACA

spot_img