KABARLAH.COM, Pekanbaru – Apa arti merdeka? Pertanyaan klasik barusan sering muncul kala peringatan 17 Agustus. Agak membosankan tapi penting diajukan. Tujuannya bukan meragukan status kemerdekaan, melainkan dalam rangka kontemplasi dan refleksi. Sehingga dapat pula dievaluasi apakah sudah tercapai kondisi ideal sebuah bangsa merdeka? Baik itu dari sejumlah indikator maupun secara empirik. Yang disebut terakhir inilah relevan diangkat. Paling sederhana dan bisa bercermin dari realita kekinian yang dirasakan kalangan umum. Mempertanyakan makna merdeka tentu lain kepala lain isi. Lain orang lain pula pandangan. Lain rujukan lain pula pemaknaan. Orang bijak bilang kemerdekaan adalah kebahagiaan. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata merdeka memiliki beberapa pengertian antara lain: bebas (dari hambatan, penjajahan dan sebagainya); Tidak terikat atau tidak tergantung kepada pihak tertentu. Agama berpandangan lebih substantif. Bahkan dalam ajaran Islam, kemerdekaan merupakan fitrah. Anugerah yang diberikan Tuhan sejak lahir ke dunia. Itulah alasan kenapa Islam sangat getol memerangi setiap pemikiran dan perbuatan yang merendahkan harkat dan martabat manusia.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Setiap kamu berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Tidak ada perbedaan antara yang Arab dan yang bukan Arab, dan tidak ada perbedaan antara yang berkulit putih dengan berkulit hitam kecuali takwanya” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Sikap Islam menghargai kemerdekaan yang telah melekat di setiap insan juga punya perspektif luas. Mulai dari bagaimana cara satu individu memperlakukan ke individu lain dan satu bangsa ke bangsa lain. Kemerdekaan bukan sekedar bebas fisik, tapi juga ekonomi, politik, kebudayaan dan lain-lain. Berhubungan sesama manusia dan antar negara dalam posisi setara dan saling menghargai, bukan mengintervensi apalagi kehendak menguasai. Disamping antar manusia dalam tatanan sosial, Islam juga melarang seseorang melakukan perbuatan yang merusak atau merugikan dirinya sendiri. Intinya Islam menjaga kemuliaan manusia dan hak merdeka yang dimilikinya agar tetap berjalan di atas rel fitrah. Sebab merdeka bukan berarti bebas total sampai menegasikan kemerdekaan orang lain. Apalagi disalahgunakan melakukan perbuatan merugikan. Berdasarkan itu, kaidah memahami esensi merdeka sederhana: kembali ke fitrah.
Bukan Hadiah
Meraih kemerdekaan seumpama kereta yang terus berjalan menuju tujuan. Artinya tak berhenti di momen proklamasi 17 Agustus 1945 saja. Justru itu permulaan untuk beranjak ke proses berikut yakni mewujudkan cita-cita negara bersatu, berdaulat, adil dan makmur; gemah ripah loh jinawi; baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Kemerdekaan yang diperoleh Indonesia bukan hadiah. Hasil perjuangan dan pengorbanan pikiran, tenaga, harta dan nyawa. Ada darah pejuang yang mengering di atas tanah kita pijak dan langit saksi perjuangan mereka. Sekarang tugas kita mensyukuri. Selain melantunkan do’a, paling utama sekuat tenaga menjaga warisannya. Lantas apa warisan dimaksud? Sebagaimana kita ketahui, perlawanan terhadap penjajah dipicu ketidakadilan, kezaliman dan penindasan. Pembangunan bukannya tak ada di masa penjajah semisal Belanda dan Portugis. Infrastruktur yang dibangun di zaman tersebut megah-megah. Benteng, gedung perkantoran, jalur kereta api dan seterusnya. Saking kokoh dan berkualitas, peninggalannya masih dapat disaksikan. Perekonomian pun luar biasa. Buktinya nusantara dikenal sentra perdagangan dan pusat rempah-rempah beserta Sumber Daya Alam lain. Akan tetapi semua tidak dikelola dan tidak dinikmati kemakmurannya oleh rakyat nusantara. Malah diperbudak, diperas, dihilangkan hak dan martabatnya selaku manusia untuk memenuhi hasrat dan kuasa kolonial dibantu para pengkhianat dari kalangan sendiri.
Kini Indonesia telah lama merdeka. Penjajah asing sudah tiada. Meski demikian apa sudah merdeka dari ketidakadilan, penindasan dan kezaliman? Sejarah terus berulang, ujar Ibnu Khaldun. Dalam konteks kebijakan, negara gagal menjaga warisan kemerdekaan. Contoh perihal subsidi. Pemerintah sangat ketat berhitung ke rakyat. Subsidi energi diakali atas dalih membebani keuangan negara. Mirisnya, duit rakyat dihamburkan demi proyek mercusuar yang tak dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat. Terakhir elpiji 3 Kg yang dibutuhkan masyarakat mulai langka dan harga mau dinaikkan. Warga kian terbebani. Sungguh paradoks. Indonesia salah satu produsen Migas tapi harga BBM dan gas lebih mahal dari negara tetangga yang miskin SDA. Negeri sentra kelapa sawit tapi minyak goreng sempat langka dan mahal. Negara agraris tapi sedang siaga 1 krisis beras. Pembangunan banyak, tapi oritentasinya tidak membangun kedaulatan. Lahan IKN sibuk dijual kesana kemari. Tak sedikit pembangunan tol dan infrastruktur menggusur sawah dan lahan produktif yang bermanfaat bagi ekonomi warga. Jangan heran makin tergantung ke negara lain guna memenuhi kebutuhan pokok. Tak hanya mengkhianati amanah kemerdekaan, juga kufur nikmat kekayaan alam dan tanah yang Tuhan berikan.
Sektor ekonomi situasinya sama. Mencuat ketimpangan. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengamanahkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kenyataannya memakmurkan segelintir. Kaya tambah kaya, miskin tetap miskin. Faktanya, 80 persen tanah di bumi pertiwi dikuasai konglomerat. Keberpihakan Pemerintah dipertanyakan sehubungan Presiden Jokowi meneken Peraturan Pemerintah 12/2023 yang memberi konsensi Hak Guna Usaha (HGU) sampai 190 tahun! Termasuk Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP) hingga 160 tahun bagi investor di IKN. Beleid tersebut dinilai lebih buruk dari hukum agraria kolonial. Sungguh getir. Demi pemodal apapun dilacurkan. Bahkan sampai bikin aturan yang melanggar peraturan perundang-undangan kayak Undang-Undang Cipta Kerja. Kita bersyukur elemen masyarakat turun ke jalan mengugat. Semestinya Pemerintah berterimakasih bukan membungkam. Sebab mereka sedang mengawal warisan kemerdekaan.
Sebagai penutup, di peringatan HUT RI ke 78 mari bermuhasabah: sudahkan kita menjaga warisan kemerdekaan? Jangan sampai bangsa ini jauh dari fitrah merdeka. Penjajah memang sudah hengkang. Tetapi warisan sifat penjajah terus ada. Soekarno berujar “Perjuanganku mengusir penjajah lebih mudah, perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Sunatullah manusia tak mau ditindas dan dizalimi haknya serta pendapatnya dikekang. Semua tindakan tadi secara maknawi bentuk penjajahan. Sudah sunatullah pula sewaktu kita melihat sesuatu yang salah, kezaliman dan ketidakadilan terbersit di hati nurani itu salah. Kendati tak semua mampu memperingatkan atau meluruskan. Sikap inilah yang mendasari perjuangan melawan kolonialisme sekaligus warisan kemerdekaan yang harus dipertahankan. Terlebih di zaman dimana orang berkata benar disalahkan, sementara pelaku zalim, mungkar, pendusta dipuja; pengkhianat dipercaya yang amanah disingkirkan; hukum tumpul ke atas tajam ke bawah. Pribadi merdeka berani berkata benar. Merdeka soal sikap mental. Itulah mengapa terdapat syair “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” dalam lagu Indonesia Raya. Selagi kita diam melihat kezaliman, kemungkaran, dan ketidakadilan, jangan harap buah kemerdekaan dapat dirasakan. Semoga di hari istimewa kita diberi kekuatan merawat warisan kemerdekaan dan melawan segala upaya merampas esensi kemerdekaan.
Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU