KABARLAH.COM, Pekanbaru – Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan menuai kontroversi. Pemicunya terdapat pasal mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja dan usia sekolah (Pasal 103). Sekedar informasi, PP barusan peraturan turunan Undang-Undang (UU) Nomor 17 tentang Kesehatan yang mencakup banyak aspek kesehatan. Termasuk kesehatan sistem reproduksi. Salah satu tujuannya menekan kasus HIV AIDS. Mengacu ke data, pengidap AIDS di Indonesia terbanyak berasal dari kalangan usia muda dan produktif. Diantaranya kelompok usia 20-29 tahun sebanyak 2.990 kasus, usia remaja (15-19 tahun) 288 kasus, usia 5-14 tahun sebanyak 115 kasus. Penularan tertinggi akibat hubungan homoseksual (3.394 kasus), hubungan biseksual (189 kasus), transfusi perinatal (157 kasus), alat suntik tidak steril (81 kasus) dan transfusi darah (16 kasus). Kembali ke PP, wajar mengundang kekhawatiran berbagai pihak. Pasal bersangkutan berpotensi bias dan memicu salah tafsir bagi siapapun yang membacanya. Di tingkat pusat, Wakil Ketua Komisi X DPR Fraksi PKS Abdul Fikri Faqih menilai Pasal 103 tidak sesuai dengan pendidikan nasional serta ajaran agama. Sorotan juga berdatangan dari berbagai elemen. Dikutip dari media massa, Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) melalui Ketua LP Ma’arif DKI Jakarta berkata klausul bisa menimbulkan praduga. Alih-alih ingin mengeliminasi penyebaran HIV AIDS, Pemerintah terkesan melegitimasi hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja (6/8/2024).
Kami selaku anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau yang membidangi urusan Kesehatan dan Pendidikan mewaspadai hal serupa. Memang Kemenkes sudah memberi penjelasan, bahwa Pasal 103 sejatinya untuk mengakomodir pasangan perkawinan muda terkait edukasi kesehatan reproduksi. Sikap Kemenkes berangkat dari data, dimana tak sedikit anak usia 15 tahun atau remaja sudah menstruasi dinikahkan oleh keluarganya. Jadi singkat cerita, pasal dimaksud menyasar edukasi ke remaja sudah menikah untuk menunda kehamilan sampai selesai sekolah atau siap lahir batin. Akan tetapi, satu sangat disayangkan, bunyi aturan tersebut menuai tanda tanya asbab disebutkan mengenai penyediaan alat kontrasepsi dalam bahasan kesehatan reproduksi remaja. Penjelasan atas pasal pun dibuat terpisah dan baru akan dirincikan di peraturan pelaksana yakni Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Kami berharap semoga segera diterbitkan. Mengingat PP sudah bisa dijadikan pedoman dan ditindaklanjuti Pemerintah Daerah, maka harapannya Dinas Pendidikan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan mengenai teknis pendekatan serta edukasi ke sekolah dan sosialisasi kepada siswa-siswa.
Preventif
Kendati Pemerintah menjanjikan penjelasan lebih lanjut lewat Permenkes, namun tetap saja penyediaan alat kontrasepsi sebagai bagian atau upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja dipandang sangat tidak tepat. Sudah seharusnya pasal dikaji ulang. Kami menilai mudharat jauh lebih besar daripada manfaat. Pendekatan Pemerintah diyakini bisa blunder. Terlepas apapun niat baik pemerintah, akan memunculkan paradigma sesat: seks boleh selagi “aman” walau tanpa ikatan pernikahan. Di sini Kami tidak bermaksud menyalahkan urgensi edukasi. Terutama ke pelajar. Justru mendukung penuh. Mengingat edukasi membentuk perilaku sehat sejak remaja. Dalam perspektif agama khususnya Islam, cukup banyak dalil pentingnya pelajaran seksual sejak dini. Jadi keliru anggapan di Islam membahas seks itu tabu. Rendahnya pemahaman akan agama akhirnya melahirkan salah kaprah berjamaah. Menyangka pendidikan seksual seputar hubungan badan semata. Padahal cakupan pendidikan seksual demikian luas. Islam sudah mengatur secara seksama kaidah hukum hingga tata cara penyampaian. Orientasi edukasi seks dalam Islam bermuara kepada kepatuhan atas perintah dan larangan Allah. Makanya Al Qur’an dan hadist lebih berkutat pada aksi preventif.
Beberapa contoh edukasi antara lain menumbuhkan rasa malu sejak dini dan ajari mengenal aurat dan berpakaian pantas. Berikutnya menjaga fitrah dan kodrat manusia, semisal jiwa maskulin anak laki-laki dan feminim anak perempuan. Itulah mengapa Islam keras melarang penyimpangan, sebagaimana hadist Nabi, “Allah melaknat perempuan menyerupai laki-laki dan lelaki menyerupai perempuan”. Karena ketika penyimpangan dibiarkan, tunggu dampak negatif. Edukasi selanjutnya pembiasaan tidur terpisah kamar dengan orangtua saat anak menginjak usia 7-10. Tujuannya mengajarkan anak identitas diri sekaligus melatih hidup mandiri. Pemisahan berlaku pula bagi lelaki dan perempuan. “Perintahlah anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka (jika tidak melaksanakan salat) saat mereka telah berumur sepuluh tahun, dan pisahlah tempat tidur di antara mereka.” (HR Abu Daud). Selanjutnya mengenalkan mahram dan larangan bercampurnya laki-laki dan perempuan tanpa adanya alasan dibenarkan. Mahfum di zaman sekarang sudah dianggap biasa. Kalau ada menyuarakan pasti dianggap kolot. Padahal maksud dibaliknya mencegah hal buruk, perbuatan zina dan maksiat. Apabila edukasi seksual tadi diajarkan sejak dini, kelak anak-anak akan paham dan dapat menjaga pergaulan.
Selain pendidikan seksual sejak dini, ajaran Islam juga menekankan pencegahan secara integral. Sebab edukasi tanpa aksi preventif percuma. Kembali ke konteks penerbitan PP 28/2024 dalam rangka meminimalisir kasus HIV AIDS, maka perlu melibatkan banyak sektor. Disamping peran keluarga, lingkungan sosial menjadi faktor kunci. Sudah banyak bukti salah pergaulan membawa ke jurang penyesalan. Jadi komunikasi di keluarga, didukung komunitas teman sebaya, pendidikan seksual holistik di tempat pendidikan plus dukungan kebijakan. Semua mesti selaras, bersinergi dan tersistematis. Tak bisa sebatas andalkan tenaga kesehatan meningkatkan pemahaman remaja terhadap penyakit. Butuh kolaborasi membentuk lingkungan yang mendukung hidup sehat generasi bangsa. Pemerintah bisa berkaca saat pandemi Covid. Pada masa itu setiap sektor terlibat. Baik itu kesehatan, dunia usaha dan lini lainnya. Bila dulu Pemerintah bisa tegas mengeluarkan Protokol Kesehatan (Prokes) sampai memberi denda ke pelanggar, membatasi bahkan meniadakan kegiatan di rumah ibadah, harusnya aksi sama dapat ditempuh. Inikan tidak. Pengawasan dan penertiban tempat atau lokasi ditenggarai memperlancar dan mempermudah penularan HIV AIDS cenderung lemah. Paling parah banyak tempat hiburan berdiri dan diberi izin Pemerintah lalu menuai reaksi penolakan dari masyarakat sekitar. Masih segar di ingatan penolakan terhadap Joker Poker Pub dan KTV di Kota Pekanbaru. Dibalik aksi protes terungkap banyak tempat hiburan pendirian dan aktivitasnya tidak mematuhi Perda. Mulai melanggar jam operasional, jaraknya berdekatan dengan tempat pendidikan dan tempat ibadah dan seterusnya. Sekali lagi, mau sebanyak apapun anggaran habis untuk edukasi seksual tidak akan efektif tanpa dibarengi pencegahan.
Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU
Discussion about this post