KABARLAH.COM, Pekanbaru – Dalam acara peresmian Gedung SMA Kebangsaan di Provinsi Lampung belum lama berselang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyayangkan peringkat pendidikan dan kesehatan Indonesia jauh tertinggal yakni di posisi ke-57 dan ke-58 secara global. Fakta barusan kontras dengan ranking daya saing versi Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness, yang mana Presiden menyampaikan peringkat Indonesia naik dari semula di posisi 34 ke ke 27. “Sayangnya dari sisi daya saing, kita meskipun naik sampai 7 level sangat bagus sekali. Tapi untuk pendidikan dan kesehatan masih di ranking 57, 58,” kata Jokowi dikutip dari kanal YouTube Sekretariat Presiden (11/7). Ketertinggalan sektor pendidikan dan kesehatan jelas sangat berpengaruh dalam upaya menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul sebagai bekal berharga bersaing dengan negara lain. Sampai-sampai Jokowi mengingatkan, sebaik apapun infrastruktur tidak akan berdampak besar ke negara apabila SDM belum mumpuni. “Infrastruktur sebaik apapun kalau SDM tidak baik, jelek, nanti di ranking kelihatan,” Ujarnya.
Kendati motivasi dibalik pidato Kepala Negara dinilai bagus, muncul pertanyaan: kenapa terus diungkap Presiden Jokowi di berbagai kesempatan? Bukan kali ini saja menyinggung kualitas pendidikan dan kesehatan Indonesia. Hampir paripurna masa jabatan periode kedua, problem kembali digaungkan. Keprihatinan beliau dapat dimaklumi. Namun kegusaran sia-sia tanpa aksi. Kembali ke acara, terdapat satu pernyataan menarik. Manakala Presiden membayangkan jika seluruh menteri di Kabinet Indonesia Maju membangun sekolah fasilitas lengkap menyasar warga menengah ke bawah. “Kalau semua menteri, kemudian dari kita-kita yang memiliki rezeki banyak mendirikan… sepuluh [sekolah] saja seperti SMA Kebangsaan ini fasilitasnya, pasti ranking kita akan melompat,” imbuhnya. Dorongan pemimpin perlu. Tetapi, maaf cakap, terkesan negara (baca: Pemerintah) menyerah atas kondisi dan meminta uluran tangan swasta. Sekedar informasi, pendiri SMA Kebangsaan ialah Menteri di kabinet Jokowi. Padahal konstitusi mengamanahkan pendidikan tugas dan tanggungjawab negara. Terlebih alokasi anggaran pendidikan, baik nasional (APBN) dan daerah (APBD) terbilang besar. Sekarang tinggal sejauhmana negara punya gagasan dan ide mau diarahkan kemana?
Orientasi
Orientasi hal mendasar wajib dimiliki untuk mencapai kemajuan. Supaya pembangunan punya arah. Bukan grasa-grusu, bangun ini dan itu sesuai kehendak penguasa semata. Ujungnya mengeluh mendapati realita tak sesuai ekspektasi. Banyak faktor penyebab kemunduran atau sulit maju. Apalagi permasalahan terlanjur kompleks dan akut. Mau diurai persis benang kusut. Tapi ketahuilah, tidak ada permasalahan tanpa jalan keluar. Semua tergantung niat dan kesungguhan. Contoh ideal Vietnam. Negara kecil yang dibenak kita identik dengan peperangan di masa lampau dan mungkin terpikir masih miskin. Siapa sangka survei dipublikasikan oleh Political Economic Risk Consultant (PERC) menempatkan kualitas pendidikan Indonesia justru berada di bawah Vietnam. Lebih parah lagi, Indonesia posisi buncit dari 12 negara Asia. Berbeda dibanding negara ekonomi berkembang lain, kualitas sekolah di Vietnam terus meningkat. Lagi-lagi mengutip hasil studi, peneliti lembaga Centre for Global Development Amerika Serikat tahun 2022 melaporkan, kualitas pendidikan 56 of 87 negara berkembang memburuk sejak 1960. Vietnam satu-satunya pengecualian. Prestasi menakjubkan ketika Vietnam menempati peringkat 12 penilaian kemampuan pelajar internasional (Pisa). Mengutip penilaian diinisiasi Organisasi Pembangunan dan Kerja Sama Ekonomi (OECD) itu, siswa-siswi berusia 15 tahun Vietnam mampu memperoleh nilai lebih tinggi dalam pelajaran membaca, matematika dan ilmu pengetahuan ketimbang sejumlah pelajar di negara maju, termasuk Amerika Serikat dan Inggris. Padahal tahun 2022 tahun pertama para pelajar Vietnam ikut penilaian internasional tersebut. Wajar banyak pengamat pendidikan asing tercengang.
Ternyata besarnya anggaran dan infrastruktur bukan segalanya. Pemerintahan Vietnam merumuskan cita-cita besar berangkat dari tantangan dalam mendidik anak-anak mereka. Kementerian Pendidikan Vietnam telah merancang rencana jangka panjang. Belajar dari negara-negara berkinerja pendidikan terbaik dan siap menggelontorkan dukungan keuangan. Vietnam mengawali revolusi pendidikan lewat pembenahan mendasar manajemen SDM pengajar. Meliputi penghapusan kesenjangan pendapatan, kesejahteraan guru dan penyelesaian masalah penempatan. Disamping menciptakan lingkungan belajar positif dan membangun sikap positif siswa terhadap pendidikan. Siswa-siswa bukan sekedar paham di kelas, tapi menerapkan konsep. Guru Vietnam pun membina disiplin dan tegas di dalam kelas. Faktor penentu lain pastinya dukungan orangtua siswa. Semuanya bertujuan mewujudkan profesi guru pilihan terhormat. Sikap respek ke guru turut dibentuk oleh budaya. Ironisnya di tanah air adab menuntut ilmu perlahan terkikis. Guru rentan dikriminalisasi. Bila pelanggaran oleh oknum guru terbukti keterlaluan, wajar diproses hukum. Kadang dibentak atau dijewer langsung diperkarakan. Ironi lain di negeri kita, mereka yang kerja membodohi masyarakat berbungkus hiburan digaji serius, sementara guru kerja serius gaji bercanda. Barangkali inilah kenapa pendidikan kita tertinggal. Buah ilmu tidak akan diperoleh selagi profesi mengajar dianggap sepele.
Efektif
Membandingkan kualifikasi guru, Vietnam agaknya tak lebih baik dari Indonesia. Sadar keterbatasan, Vietnam berhasil membuktikan kualitas pendidikan lebih ditentukan efektivitas proses belajar mengajar. Pengajar disana sukses menjalankan peran asbab terkelola secara baik. Ini tidak terlepas dari sentuhan kebijakan. Vietnam menemukan cara menyeimbangkan kepemimpinan pemerintah yang terpusat dan lingkungan otonom yang fleksibel masing-masing sekolah. Tenaga pengajar mendapat pelatihan berkala dan diberi kebebasan membentuk kelas berbobot. Saking tingginya apresasi Pemerintah, asesmen tenaga pengajar di Vietnam mengacu pada capaian murid. Guru yang muridnya berprestasi, di bidang apapun itu, akan mendapat gelar prestisius “teacher excellence”. Kembali menengok ke dalam negeri, para guru lebih disibukan urusan yang membuyarkan konsentrasi dari tugas pokok mengajar. Selain dihadapkan pada beban mendidik, setumpuk kewajiban administrasi menanti. Kemudian, sudah rahasia umum, para guru disini kerap jadi korban atau objek pejabat instansi/atau dinas terkait hingga pimpinan daerah. Program sertifikasi kayak proyek dan ajang Pemda cari “perhatian” pusat biar dapat dana insentif. Begitupula politisasi guru sering ditemukan, terutama momen politik.
Berangkat dari keadaan, sudah seharusnya pendidikan mendapat atensi khusus. Memang kita terus berproses mencapai pendidikan berkualitas. Namun mesti ada peta jalan (road map). Sibuk berproses tapi akar masalah tak kunjung tuntas. Serupa jalan di tempat. Secara dokumen, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sudah menjabarkan yaitu, guna mendukung pencapaian Indonesia Emas 2045 diraih melalui 8 visi pembangunan, 17 arah pembangunan serta 45 indikator utama pembangunan. Adapun pendidikan berkualitas merata menjadi salah satu isu prioritas RPJPN 2025-2045. Banyak pekerjaan rumah. Diawali sistem pendidikan. Setakad ini tak jelas orientasinya kemana. Kurikulum berganti cuman buang anggaran saja. Lebih baik Era Orde Baru. Masa itu pendidikan memiliki tujuan tersistematis. Paling kasatmata pembentukan karakter SDM. Harusnya makin ke sini semakin membaik. Sangat disayangkan, kita sudah lama merdeka tapi masih dihantui persoalan mendasar tipikal negara berkembang dan tertinggal semisal minimnya partisipasi pendidikan, tingginya angka putus sekolah di daerah diantaranya Riau, kesenjangan akses dan pendidikan antar wilayah, distribusi guru serta banyaknya lulusan pendidikan rendah. Solusi dan kata kuncinya problematika yakni penyediaan layanan pendidikan, dimulai peningkatan partisipasi masyarakat mengakses layanan pendidikan, kurikulum berkualitas dan kompetensi pendidik.
Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU
Discussion about this post