KABARLAH.COM – Senin (10 Oktober) diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia. Sebagian kita barangkali menganggap tema kesehatan mental kurang begitu penting. Namun asumsi akan berubah kala berkaca ke fenomena. Dari sudut peristiwa hukum, tak sedikit pelaku orang mengalami gangguan jiwa.
Termasuk di Riau sempat heboh tengah tahun 2022 aksi sadis di Indragiri Hillir (Inhil), dimana seorang bapak tega mutilasi anak kandung sendiri, dan potongan tubuh korban ditemukan berserakan di sekitar lokasi. Dari perkembangan pemberitaan, AR ternyata diketahui sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Namun tak semua peristiwa pelakunya ODGJ. Ada juga orang waras menyakiti ODGJ. Mulai bullying sampai tindak kekerasan. Intinya gangguan kesehatan mental perlu dapat atensi. Untuk melindungi komunitas dan kepedulian ke ODGJ sendiri. Mereka layaknya kita. Baik atau buruk pandangan ke mereka ikut menentukan seberapa sehat jiwa kita sebagai manusia.
Stigma kurang waras dan kerap disebut gila memang melekat ke ODGJ. Tapi bukan berarti sisi manusia mereka hilang. Pernah viral video di Medsos, seorang pria diduga ODGJ lakukan gerakan kayak shalat di pinggir jalan. Walau akal sehat syarat utama jalankan kewajiban agama, tapi tindakan ODGJ tadi menyentil orang untuk selalu ingat Tuhan dalam kondisi apapun.
Beberapa netizen pun mengetik narasi menohok, “malu banget rasanya, ODGJ aja masih inget sholat”. Ada juga komen “mungkin dia lupa siapa dirinya, tapi tidak lupa siapa Tuhan-Nya…”.
Di level kebijakan, Wakil Gubernur Riau Edy Natar Nasution berulang kali tegaskan tekad Pemprov Riau memberi pelayanan ke masyarakat ODGJ. Kami di Komisi V DPRD Riau mengapresiasi pernyataan Wagub meminta ke Dinas Sosial (Dinsos) mengurus ODGJ yang berkeliaran agar mendapat pelayanan kesehatan memadai. Komitmen barusan selain bentuk pelayanan Pemda, juga upaya konkrit mewujudkan peningkatan derajat kesehatan jiwa dan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, Dinsos baik tingkat Provinsi Riau sampai kabupaten/kota dituntut terus tingkatkan koordinasi.
Setakad ini, program terkait ODGJ yang berjalan di Riau termasuk progresif. Diantaranya menaja program Assertive Community Treatment. Bentuk aksi, menempatkan petugas cepat tanggap di Puskesmas guna mengidentifikasi gejala gangguan kesehatan mental.
Sebagai contoh Puskesmas Sidomulyo Timur Pekanbaru didaulat menjadi Puskesmas Siaga Sehat Jiwa. Sarana disiapkan sedemikian rupa. Dokter, perawat dan kader Puskesmas mendapat pelatihan dan penyuluhan rutin tentang kesehatan jiwa. Juga kunjungan ke rumah untuk mengecek dan memantau perkembangan kondisi pasien. Semoga terobosan diterapkan merata ke kabupaten/kota lain.
Disamping itu, Riau juga punya Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Walau kami di lembaga legislatif menganggap RSJ masih dalam keterbatasan dan berharap perhatian lebih ke depan, setidaknya dari segi sarana dan prasarana saat ini sudah lebih baik dan dinilai cukup representatif, begitujuga SDMnya termasuk handal melayani pasien. Tinggal bagaimana bisa lebih dioptimalkan.
Berjamaah
Isu kesehatan mental bukan semata menyasar ODGJ. Kesehatan mental mencakup semua kalangan; multidimensi; nasional dan global. Setiap kita berpotensi dalam kadar berbeda. Apabila tidak ditindak secara baik dan benar, bisa berujung fatal.
Pemicunya beragam. Akibat persoalan ekonomi, beban kehidupan dan seterusnya ditambah kurangnya penguatan sisi spiritual atau keagamaan sebagai pondasi hidup. Gangguan kesehatan mental tak hanya menyasar kelompok ekonomi menengah ke bawah, tapi juga banyak menengah ke atas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 300 juta orang se-dunia mengidap depresi atau gangguan kesehatan mental. WHO juga menyebut jumlahnya meningkat dramatis 25 tahun terakhir dan penyakit paling banyak diderita masyarakat jelang tahun 2030.
Dampak gangguan kesehatan mental tak bisa dipandang sebelah mata. Menurut laporan The Lancet Comission, rentang tahun 2010-2030 mampu timbulkan kerugian US$16 triliun secara global. 28 spesialis berbagai negara meliputi psikiatri, kesehatan masyarakat, ilmu saraf, pasien kesehatan jiwa, serta kelompok advokasi sepakat bahwa krisis kesehatan mental layaknya kanker: membahayakan individu, komunitas dan ekonomi.
Di Indonesia, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2013 melaporkan, prevalensi gangguan jiwa berat mencapai 400 ribu atau sebanyak 1,7 per seribu penduduk. Sedangkan prevalensi gangguan mental emosional usia 15 tahun ke atas sebesar 6 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Jika sebelum pandemi begitu, apalagi sekarang.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dalam diskusi online bahas kesehatan mental (10/10/2021) menyampaikan bahwa banyak rakyat Indonesia terkena gangguan jiwa. PHK, kesulitan dapat pekerjaan, pemotongan upah, WFH, melonjaknya harga kebutuhan pokok dan ketidakpastian hidup, semua membebani psikologi warga.
Pernyataan Menkes didukung data Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, yang bahkan mendapati kecenderungan pasien gejala depresi disertai keinginan bunuh diri. Sementara organisasi Federation of Asian Oceanian Neuroscience Societies (FAONS) di Indonesia menyebut tekanan selama pandemi dapat memicu “tsunami” gangguan jiwa 2-3 tahun ke depan.
Berkaca ke pemaparan, sangat disayangkan apabila tak ada investasi sepadan dari negara (Pemerintah) untuk menyiasati problem. Di luar peran negara, ini juga tanggungjawab bersama. Pendekatan manusiawi obat manjur. Ibarat orang idap penyakit, ODGJ dan gangguan kesehatan mental bisa sembuh seperti sedia kala. Tak bisa andalkan tempat rehabilitasi saja.
Dukungan keluarga dan kepedulian lingkungan serta komunitas masyarakat sudah teruji bantu penyembuhan. Sebaliknya, absennya hal barusan turut memperparah kondisi. Sayangnya, mengutip pengakuan pihak Dinsos Pemprov Riau dan RSJ Tampan, sering misalnya pasien ODGJ ditolak keluarga meski telah direhab dan dinyatakan sembuh.
Selain tak mau menerima, ada pihak keluarga malah minta Dinsos membawa ke panti. Stigma negatif dan pengucilan bisa berdampak buruk. Padahal pihak RSJ dan Dinsos tak sekedar merehab dan menyiapkan mental pasien dapat kembali bersosialisasi di masyarakat, tapi juga ajarkan pasien lebih mandiri dan produktif. Semisal RSJ Tampan kembangkan potensi pasien ODGJ sesuai minat dan bakat. Pelayanan diberi setelah pasien dinyatakan dalam kondisi normal atau tidak membahayakan.
Stigma negatif dan sikap apatis ancaman sesungguhnya dalam agenda mengatasi gangguan kesehatan mental. Apatis dimaksud sikap tak acuh atau tak peduli atas apa yang terjadi di lingkungan sekitar. Entah kepada keluarga, tetangga, teman dan orang dikenal.
Sikap abai terhadap orang terdekat dan sekitar saat hadapi kesulitan atau memendam masalah, contoh sederhana yang dapat berakibat fatal: depresi sampai kasus bunuh diri. Sikap apatis juga berimplikasi negatif bagi pribadi bersangkutan. Jadi jangan sangka cuek dan tak peduli bikin diri bebas dari masalah. Ternyata sikap apatis juga mengarah ke gejala gangguan kesehatan mental dan menggiring pribadi ke sosok yang tak tertarik melakukan aktivitas sosial dan berinteraksi dengan sesama. Perlu ditegaskan lagi, kesehatan mental bukan hanya tentang ODGJ. Semua bisa terkena. Lingkup masalah juga bukan perorangan. Sehatnya jiwa insan bangsa penentu majunya bangsa. Berangkat dari urgensi, perlu kepedulian bersama.
Sebagai penutup dan penekanan pentingnya kolektivitas, ambil hikmah sabda Nabi Muhammad SAW berikut: “Sesungguhnya setan seumpama serigala bagi kambing. Serigala menerkam kambing yang memisahkan diri dari kawannya dan menyendiri. Janganlah kalian memisahkan diri dari jamaah dan hendaklah kalian berjamaah” (HR. Ahmad).
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU
Discussion about this post