KABARLAH.COM, Pekanbaru – Kabar yang mengundang keprihatinan lagi-lagi hampiri negeri. Mengutip laporan yang dipublikasikan oleh World Population Review (27/8/2022) yang merilis peringkat negara dengan pendidikan terbaik tahun 2021.
Penetapan rangking didasarkan atas hasil survei dan kajian US News and World Report, BAV Group dan Wharton School of the University of Pennsylvania, melibatkan ribuan orang di 78 negara.
Adapun penilaian yang dilakukan dengan mengumpulkan skor dari tiga atribut yang punya bobot sama yaitu seberapa baikkah sistem pendidikan publik yang dikembangkan, seberapa banyak orang melakukan atau mempertimbangkan ingin melanjutkan pendidikan ke universitas serta bagaimana upaya dan kebijakan negara dalam rangka menyediakan pendidikan berkualitas. Capaian Indonesia sendiri di tahun 2021 berada di peringkat ke-54 dari total 78 negara dengan sistem penyelenggaraan pendidikan terbaik dunia.
Menengok laporan lembaga sama untuk tahun 2020, peringkat Indonesia di tahun 2021 naik dari sebelumnya di posisi ke-55. Walau secara peringkat naik, berita tersebut sama sekali tak cukup meredakan rasa prihatin. Apa sebab? Untuk negara di kawasan Asia Tenggara, ternyata Indonesia masih kalah.
Usah dibandingkan dengan Singapura yang bertengger di peringkat 21, kualitas pendidikan Indonesia terpaut cukup jauh dari Malaysia yang berada di peringkat 38 dan Thailand di peringkat 46. Ketinggalan dari Malaysia jelas aib terbesar. Mengingat di tahun 1967 negara jiran pernah memelas ke Indonesia agar dapat mengirim tenaga pengajar. Berikut juga belajar pengelolaan pendidikan melalui kerjasama bidang pendidikan bernama “Malay Culture”.
Terlepas kebijakan Malaysia masa lalu berbau politik identitas dan primordial, faktanya waktu itu Indonesia mampu memenuhi permintaan. Seiring banyaknya anak negeri punya kompetensi di berbagai bidang yang dibutuhkan Malaysia semisal sains, teknis dan sastra.
Selain nostalgia kejayaan pendidikan, dari segi anggaran pendidikan sebenarnya mengalami peningkatan signifikan. Amanah konstitusi anggaran pendidikan 20 persen sudah terlaksana sejak periode pemerintahan Presiden SBY, yang diimplementasikan mulai APBN hingga APBD.
Bicara APBN, Tahun Anggaran (TA) 2009 alokasi pendidikan Rp 224 triliun, kini TA 2022 nilainya lebih fantastis lagi yakni di atas Rp 600 triliun atau naik 120 persen lebih. Meski begitu, kenapa sektor pendidikan belum memenuhi ekspektasi? Mau menyongsong persaingan global, tetapi di Asia Tenggara saja kualitas pendidikan kita cukup tertinggal.
Kalau dikomparasi jumlah anggaran pendidikan Indonesia dengan negara kayak Malaysia dan Thailand jelas mereka kalah jauh. Ya, kalau ada yang bilang jumlah penduduk usia sekolah Indonesia lebih banyak kan bisa dilakukan penyesuaian. Dilihat dari sudut pandang manapun masih saja dianggap miris dan tidak masuk akal.
Klise
Tak sulit menebak apa yang keliru dengan dunia pendidikan Indonesia. Secara sederhana bisa disaksikan dan dirasakan. Pertama, paling ketara rendahnya apresiasi kepada pendidik dan dunia pendidikan. Dimulai pendapatan guru secara umum sangat memprihatinkan. Maaf cakap tanpa bermaksud merendahkan profesi lain, khusus tenaga pengajar honorer kalau dibanding upah buruh jauh dari kata layak.
Perihal ini sempat memunculkan kalimat sinis bahwa di negeri ini orang yang kerjanya bercanda dan bodohi masyarakat digaji serius, yang kerjanya serius gajinya minus. Memang banyak cerita guru digaji kecil tapi tetap berdedikasi.
Tapi sulit rasanya bisa jalankan tugas secara maksimal. Begitujuga apresiasi terhadap dunia pendidikan. Makin menyayat hati, tak jarang Pemerintah malah berkontribusi.
Gelar begitu mudah diberi ke sosok yang sama sekali tak berkontribusi terhadap kemajuan pendidikan tanah air. Di sini lain tenaga pengajar dan siswa berprestasi minim perhatian. Inilah barangkali penyebab dunia pendidikan kita tertinggal. Kualat, kata orang tua dulu.
Akibat menempatkan pendidikan bukan di atas segala-galanya. Padahal dalam ajaran Islam kedudukan ilmu sangat mulia. Mau sesaleh apapun, sia-sia tanpa ilmu, sebagaimana perkataan Abu Bakar Ash Shiddiq “Tanpa ilmu, amal tiada guna. Sedang ilmu tanpa amal hal sia-sia.”
Kedua, kompetensi tenaga pendidik. Jamak didapati latar belakang pendidikan pengajar tak sesuai bidang mata pelajaran diampu. Akar masalah sangat kompleks. Belum terpenuhinya kebutuhan tenaga pendidikan buat benang kusut. Untuk skala Riau ambil contoh Pekanbaru.
Meski statusnya ibukota masih hadapi hal serupa. Mengacu ke data Dinas Pendidikan Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru, total kebutuhan guru PNS sekolah negeri mencapai 5.600 orang, yang terpenuhi 4.200 guru.
Artinya ada kekurangan 1.400 guru PNS. Sementara perekrutan guru mengandalkan PPPK. Belum lagi tenaga pengajar usia pensiun. Berkaca ke komposisi guru nasional yang mana 60 persen berstatus non PNS, jelas ini ancaman nyata. Bagaimana mungkin bahas kompetensi kalau jumlah tenaga pendidik kurang?
Ketiga, sarana dan prasarana pendidikan masih PR terbesar. Gap sarana sekolah perkotaan dan pedesaan; ibukota dan kabupaten/kota sangat terasa. Jangan dulu menyinggung sarana teknologi dan laboratorium atau olahraga, bangunan proses belajar mengajar saja banyak kondisinya tidak layak. Termasuk di Provinsi Riau sebagian besar didapati dalam keadaan rusak.
Selama tahun 2021 Pemprov Riau secara bertahap berupaya membangun ratusan Ruang Kelas Baru (RKB) di berbagai kabupaten/kota. Namun masih kurang dari kebutuhan. Saat penerimaan siswa didik baru berbasis zonasi masalah muncul. Kami selaku lembaga legislatif sangat mengharapkan agar Pemprov membenahi hal ini.
Cukup sudah mengalokasikan anggaran untuk pembangunan mercusuar atau belanja ke instansi yang sama sekali di luar kewenangan provinsi. Kepentingan daerah mesti lebih diutamakan. Sebab kualitas pendidikan berbanding lurus dengan kualitas sarana dan prasarana.
Keempat, arah kebijakan. Paling simpel soal kurikulum pendidikan yang sering gonta-ganti. Ini kerap dikeluhkan guru dan siswa.
Penerapan kurikulum tentunya perlu waktu untuk persiapan, pemahaman dan penerapan. Namun beberapa tahun belakangan, saat para guru dan siswa masih dalam tahap memahami kurikulum baru, eh berubah lagi. Begitujuga kebijakan anggaran pendidikan.
Walaupun di APBN dan APBD sudah memenuhi angka 20 persen, namun belum sepenuhnya sejalan amanat UU Sisdiknas yang menyebut dana pendidikan 20 persen adalah di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan.
Setakad ini alokasi pendidikan baik pusat dan daerah masih memasukkan gaji dan pendidikan kedinasan. Sehingga tidak fokus untuk belanja murni sektor pendidikan.
Disamping kebijakan pendidikan, aspek lain yang menentukan adalah status ekonomi yang turut menyumbang kesenjangan pendidikan.
Mengacu ke data BPS, rumah tangga berstatus ekonomi rendah umumnya akan berpikir dua kali menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Indikator lain yang dapat menggambarkan pembangunan pendidikan di Indonesia adalah Angka Partisipasi Kasar (APK).
Hasil Susenas menunjukkan terdapat kesenjangan pendidikan antar penduduk untuk mengenyam pendidikan. Semakin tinggi status ekonomi rumah tangga, semakin tinggi APK di setiap jenjang pendidikan.
Kesenjangan dengan gap paling besar terjadi di jenjang pendidikan perguruan tinggi. APK rumah tangga status ekonomi terendah hanya sebesar 13,38 persen. Sementara APK pada rumah tangga status ekonomi tertinggi mencapai 46,89 persen.
Pemaparan di atas tentu bukan untuk umbar permasalahan. Tapi keinginan dibalik itu semua agar menjadi perhatian kita bersama. Karena pendidikan tanggungjawab kolektif.
Terutama di pemangku kebijakan perlu pembenahan demi terwujudnya pendidikan nasional lebih baik lagi dan berdayasaing. Sebab faktor keberhasilan suatu negara di awali dari sektor pendidikan. Berbekal sistem pendidikan berkualitas akan menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas pula.
SDM inilah yang akan menggerakkan pembangunan dan memajukan semua sektor dan lini suatu negara untuk menghadapi kompetisi di lingkup dunia. Seperti kata Nelson Mandela, jika ada alat paling ampuh menaklukan dan mengubah dunia itu adalah pendidikan.
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI V DPRD PROVINSI RIAU
Discussion about this post