KABARLAH.COM – Ada kalimat bijak bilang: kemerdekaan adalah kebahagiaan. Namun lain kepala lain isi, lain orang lain pula pandangan. Apabila ditanya makna kemerdekaan pasti jawaban kita berbeda-beda.
Meski begitu, ada satu titik kesamaan bicara merdeka dalam konteks kebangsaan. Yakni tatkala manusia atau bangsa mampu lepas dari penindasan, penjajahan dan kezaliman. Bicara merdeka, transformasi tak tuntas manakala negara memperoleh kemerdekaan. 17 Agustus 1945 justru sebuah permulaan sekaligus momentum bersejarah untuk beranjak ke proses berikut mencapai negara bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kemerdekaan diperoleh Indonesia bukan hadiah.
Melainkan hasil perjuangan dan pengorbanan panjang penuh duka dan lara. Tanah kita pijak dan langit kita pandang jadi saksi perjuangan pendahulu. Bersimbah darah demi masa depan bangsa. Sekarang tugas kita mensyukurinya. Adapun bentuknya dengan menjaga dan mempertahankan warisan kemerdekaan. Karena, seperti telah disinggung tadi, proses belum selesai.
Tugas melanjutkan cita-cita kemerdekaan harus terus berlanjut. Sebagaimana telah dirumuskan bapak bangsa dalam filosofi bernegara Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Begitujuga spirit Proklamasi Kemerdekaan, sebagai bentuk pernyataan formal sebagai sebuah negara yang menegaskan bahwa sejak detik itu kita adalah bangsa merdeka yang berhak menentukan nasib dan arah bangsa serta tanah airnya sendiri.
Kalau kita kaji nilai-nilai warisan kemerdekaan secara mendalam, akan didapati bahwa esensi merdeka adalah kembali fitrah. Bicara fitrah, sunatullah sebagai manusia pasti anti penjajahan, penindasan, kezaliman dan pengekangan. Sudah sunatullah pula sewaktu kita melihat sesuatu yang salah pasti terbersit di hati nurani bisikan bahwa itu salah dan ini benar diiringi keinginan untuk memperingatkan atau meluruskan.
Inilah mendasari munculnya perjuangan melawan imprealisme dan kolonialisme di tanah air. Fitrah adalah sumber kebaikan. Anugerah terbesar dari Tuhan. Secara pribadi akan muncul rasa plong dalam diri saat kita menyampaikan kebenaran atau mengoreksi suatu kekeliruan.
Manfaatnya juga sangat besar dalam lingkup lebih luas, yakni komunitas bermasyarakat terlebih berbangsa dan bernegara. Moralitas jembatan bangsa menuju ke puncak.
Seorang cendekiawan Amerika Serikat John Gardner (1933-1922) pernah berkata, “Sebuah bangsa atau negara hanya dapat mencapai puncaknya ketika mereka mempercayai sebuah nilai dan dimensi moralitas.
Bagi kita perkara moralitas tentu tak asing. Riau dengan nilai Melayu yang bersumber dari ajaran Islam sudah mengenal aspek dimaksud.
Dalam kehidupan berbangsa bernegara, Pancasila dan UUD 1945 juga diintisarikan dari norma dan agama.
Saat peringatan Isra Mikraj 7 Februari 1959, Presiden Soekarno dalam pidato mengatakan bahwa “Tidak ada suatu bangsa dapat berhebat, jikalau batinnya tidak terbuat dari nur iman yang sekuat-kuatnya. Jikalau kita bangsa Indonesia ingin kekal, kuat, nomor satu jiwa kita harus selalu jiwa yang ingin Mikraj kenaikan ke atas, supaya kebudayaan kita naik ke atas, supaya negara kita naik ke atas. Bangsa yang tidak mempunyai adreng, adreng untuk naik ke atas, bangsa yang demikian itu, dengan sendirinya akan gugur pelan-pelan dari muka bumi (sirna ilang kertaning bumi).”
Filosofi ini juga dilestarikan dalam lagu kebangsaan “Indonesia Raya”: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!”. Mengacu dari pandangan barusan, manusia bangsa bukan hanya ditentukan pembangunan jasmani melainkan pembangunan kejiwaan Namun sayangnya sekarang penerapan moralitas langka.
Dalam konteks bernegara kita patut malu dengan negara lain. Tak perlu jauh-jauh, cukup Asia kayak Jepang dan Korsel. Kalau pejabat atau tokoh publik melakukan tindakan melanggar norma atau berbohong, mereka minta maaf dan memilih mundur karena malu. Bukan sibuk pikirkan tambah jabatan.
Pertahankan
Pancasila dan UUD 1945 telah mengurai secara eksplisit warisan kemerdekaan. Pancasila sebagai filosofi bangsa yang merangkum nilai dan norma yang dianut masyarakat, berorientasi kepada penguatan moral bangsa sebagai bekal berharga mencapai cita-cita. Oleh karena itu setiap kita berkewajiban mempertahankannya.
Dalam suasana merdeka, menjaga nilai Pancasila dengan menerapkan dalam lingkup terbatas hingga mengambil sikap dan bersuara manakala ada pihak berupaya merongrongnya.
Kembali mengulas fenomena bangsa. Tiap tahun Hari Kemerdekaan selalu diperingati secara kenegaraan. Namun ironisnya esensi sering dikhianati. Paling ketara soal hak bersuara dan berpendapat sebagai bagian mendasar dari fitrah manusia merdeka. Terungkap dari laporan Indeks Demokrasi Dunia tahun 2021 yang dirilis lembaga The Economist Intelligence Unit (EIU). Dalam indeks EIU, Indonesia menduduki peringkat ke-52 dunia dengan skor 6,71. EIU mengelompokkan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi cacat (flawed democracy).
Menurut laporan, negara dengan demokrasi cacat memang menganut sistem demokrasi pada umumnya. Namun memiliki masalah fundamental seperti rendahnya kebebasan pers, budaya politik antikritik, partisipasi politik warga yang lemah, serta kinerja pemerintah belum optimal.
Laporan tersebut bukan mengada-ngada. Sering kami mendengar warga menyampaikan uneg-uneg betapa takut menyampaikan sesuatu, terutama terkait kebijakan pemerintah. Harus diakui, banyak peraturan dibuat bukan memperkuat demokrasi dan reformasi, malah dipakai untuk melemahkan dan memperkuat hegemoni. Unsur negara yang idealnya menegakkan Pancasila dan UUD 1945, justru sebaliknya.
Contoh paling ketara UU Cipta Kerja yang divonis melanggar konstitusi oleh MK. Bagi kami kalangan legislatif daerah sadar betul berharganya aspirasi warga. Sudah dikritik saja masih kerap didapati jalan pembangunan di luar trek atau tak sesuai kebutuhan, apalagi sepi kritikan. Musuh terbesar negara bukan pendapat berseberangan atau kerasnya kritikan. Musuh terbesar adalah segala yang mengancam esensi kemerdekaan itu sendiri. Kisah Umar bin Khattab saat memimpin bisa jadi pembelajaran terbaik.
Walaupun wataknya keras dan tegas, namun terbuka dan demokratis. Di suatu kesempatan, seorang sahabat, Khudzaifah bin Al Yaman mendatangi sang Khalifah. Ia mendapati Umar dengan raut muka muram penuh kesedihan. Lantas bertanya, “apa yang engkau pikirkan wahai Amirul Mukminin?” Umar menjawab ia sedih dan galau bukan karena banyak masalah rakyat yang sudah pasti bikin letih. Tapi Umar khawatir memikirkan kondisi diri. “Aku sedang dihinggapi ketakutan, sekiranya aku melakukan kemunkaran lalu tak ada orang yang mengingatkan dan melarang sebab segan dan rasa hormat padaku,” ujar Umar pelan. Umar pun dikenal pernah menyampaikan pernyataan ekstrim dalam pidato di awal pemerintahan: “Jika kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam maka luruskan aku walaupun dengan pedang”.
Dan itu bukan sebatas retorika. Umar pernah dikritik keras soal kebijakan membatasi mahar nikah. Maksud sebenarnya baik, agar tak memberatkan.
Seorang wanita langsung menyanggah Umar yang baru selesai bicara seraya mengutip ayat Al Qur’an sebagai dalil meluruskan. Umar sadar akan khilaf tanpa malu membenarkan ucapan sang wanita dan mengakui kesalahan. Hebatnya peristiwa itu terjadi di depan banyak orang.
Sebagai penutup pada HUT RI ke 77 mari sama-sama refleksi: sudah sejauhmana kita berupaya menjaga warisan kemerdekaan. Boleh jadi kenapa kemerdekaan yang dirayakan setiap tahun terasa kurang bermakna diakibatkan kehidupan berbangsa dan bernegara semakin jauh dari fitrah merdeka. Begitu banyak paradoks. Pihak meluruskan dianggap musuh, sementara yang zalim dan mungkar dipuja; permainan hukum oleh elit dipertontonkan terang-terangan: tumpul ke atas tajam ke bawah.
Tak heran buah kemerdekaan jauh dari genggaman. Lihat saja, kekayaan alam di atas dan di bawah bumi tapi bukan kemakmuran, malah beban hidup dirasakan rakyat. Malah anugerah kemakmuran pemberian Tuhan seolah dikerdilkan.
Padahal banyak bangsa luar sana cemburu dan ingin memiliki apa yang kita miliki. SDA bertabur di setiap jengkal daratan dan perairan. Begitupula potensi SDM tak kalah dibanding negara lain. Cuman akibat salah kelola peluang membuat semua potensi sirna. Negara ini tak kekurangan orang pintar.
Hanya saja ketika dikelola dengan kemiskinan jiwa, sebanyak apapun kekayaan alam tak akan berdampak terhadap kesejahteraan warganya. Semoga di hari istimewa ini kita diberi kekuatan untuk menjawa warisan kemerdekaan. Jangan sampai di satu sisi memperingati kemerdekaan bangsa tapi di sisi lain kita membiarkan pihak yang mencoba merampas esensi kemerdekaan tersebut.
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU
Discussion about this post